Wednesday, January 1, 2014

Hadiah Dari Manusia Kerdil



Hadiah Dari Manusia Kerdil 



Sekali peristiwa, seorang penjahit dan seorang tukang emas berjalan bersama berkelana. Pada suatu senja, ketika matahari bersembunyi di balik gunung, mereka mendengar suara musik di kejauhan. Suara itu makin lama makin menjadi nyata. Lagunya bernada agak aneh.

Tetapi, nada-nada itu begitu mempesonakan. Mereka berdua menjadi lupa akan kelelahan. Keduanya lalu mempercepat jalannya.

Ketika mereka tiba di sebuah bukit, rembulan telah timbul. Tiba-tiba mata mereka terbelalak. Mereka menyaksikan sesuatu yang ganjil. Sejumlah besar orang kerdil, menari-nari berpegangan tangan. Baik yang laki-laki maupun perempuan. Mereka berputar-putar dengan gembira, sambil bernyanyi-nyanyi. Nyanyian itulah yang terdengar aneh oleh kedua kelana.


Di tengah-tengah lingkaran manusia kerdil, duduk seorang kerdil yang telah tua. Tubuhnya agak lebih besar daripada yang lain-lain. Bajunya berwarna-warni, janggutnya putih mengombak di dadanya.

Kedua kelana itu berdiri terpesona melihat tarian itu. Kakek yang duduk di tengah itu lalu memberi isyarat. Maksudnya agar kedua kelana itu mendekat. Rombongan penari itu lalu membuka lingkarannya.

Tukang emas itu memang bukan penakut. Ia segera maju memasuki lingkaran penari. Si Penjahit pada mulanya merasa takut. Tapi ia melihat bahwa wajah-wajah itu gembira saja tampaknya. Iapun lalu mendekat.

Kakek kerdil menghunus sebuah pisau besar yang tergantung pada pinggangnya. Ia mengasah pisau itu. Setelah tajam, lalu mendekati kedua orang asing itu.

Kedua kelana itu menjadi takut. Tetapi mereka tak punya waktu untuk berpikir. Kakek kerdil itu menangkap si tukang emas. Dengan cekatan ia mencukur rambut dan janggutnya. Hal yang sama juga terjadi pada si penjahit.

Rasa takut kedua orang itu segera lenyap. Si kakek setelah mencukur, lalu menepuk-nepuk bahu kedua kelana. Seolah-olah hendak mengatakan, bahwa mereka bertindak bijaksana karena tidak melawan.

Kakek itu menunjuk ke sebuah tumpukan arang. Ia memberikan perintah dengan isyarat-isyarat, agar kedua tamu itu mau mengisi saku-sakunya dengan arang. Kedua tamu itu menurut. Dalam hati mereka tak mengerti, mengapa mereka harus mengisi sakuya dengan arang.

Setelah itu, kedua orang itu melanjutkan perjalanan. Ketika mereka sampai di lembah, lonceng gereja berbunyi dua belas kali. Seketika nyanyian berhenti. Seluruh rombongan manusia kerdil menghilang. Bukit itu menjadi sunyi ditimpa cahaya rembulan.

Kedua kelana mendapatkan penginapan. Karena lelah, segera saja mereka merebahkan diri di pembaringan. Mereka berselimut dengan bajunya. Karena lelah dan mengantuk, mereka lupa mengeluarkan isi sakunya.

Rasa berat yang menindih dadanyaa, membuat mereka bangun lebih cepat dari biasanya. Mereka merogoh isi sakunya, ingin tahu, apakah yang terasa berat itu.

Alangkah kagetnya mereka itu. Isi sakunya ternyata bukan arang. Tetapi emas murni. Mereka garuk-garuk kepala tak mengerti. Untuk kedua kalinya mereka kaget lagi. Rambutnya telah tumbuh. Betul, mereka tidak gundul lagi. Begitu juga janggutnya.

Mereka kini telah menjadi kaya. Tukang emas itu memang bersifat tamak. Ia mempunyai emas dua kali lipat dari si penjahit. Ia memang mengambil arang dua kali lipat.

Orang yang tamak selalu ingin memiliki lebih banyak lagi. Tukang emas itu lalu mengusulkan, untuk menanti malam di penginapan saja. Malam itu, mereka bisa mengambil arang lebih banyak lagi.

Tetap si penjahit tidak menyetujui. Ia berkata, "Aku rasa sudah cukup. Akupun sudah puas. Aku sudah merasa bahagia, dapat mendirikan perusahaan sendiri."

Untuk menyenangkan si tukang emas, ia setuju untuk tinggal semalam lagi di penginapan itu.

Sore harinya, tukang emas menyediakan beberapa kantong besar. Setelah hari menjadi gelap, ia pergi ke bukit.

Seperti yang terjadi pada kemarin malam, ia pun menemui rombongan manusia kerdil. Tentu saja ia menunggu, hingga manusia kerdil itu telah menari dan menyanyi.

Sekali lagi ia dicukur rambut dan janggutnya. Sekali lagi ia disuruh mengisi sakunya dengan arang. Inilah perintah yang ditunggu-tunggu. Tukang emas itu tanpa ragu-ragu mengisi kantong-kantongnya. Semuanya penuh dengan arang.

Ia pulang ke penginapan dengan hati gembira. Pikirnya, "Meskipun dadaku tertindih sangat berat nanti malam, akan kutahan juga."

Ia berkhayal bagaimana kayanya ia besok pagi, sewaktu bangun dari tidur.

Ketika ia bangun pagi-pagi, ia segera merogoh isi kantong-kantongnya. Tetapi ia amat kecewa. Arang itu masih tetap arang juga.

Ia menghibur diri, "Bagaimanapun aku masih mempunyai emas yang kemarin."

Alangkah kagetnya ia. Emas yang kemarin, ternyata kembali ke asalnya menjadi arang kembali.

Dengan rasa putus asa, didekapkan kedua tangannya ke wajahnya. Segera pula ia sadar, bahwa janggutnya telah hilang. Bahkan kepalanya juga gundul kelimis.

Sekarang ia sadar, bahwa ia telah mendapat hukuman untuk ketamakannya. Ia menangis karena rasa sesalnya.

Penjahit terbangun karena mendengar tangisan itu.

Ia lalu menghibur, "Engkau adalah temanku seperjalanan. Tetaplah tinggal denganku, dan ikut menikmati kekayaanku."

Tukang emas menurut. Tetapi untuk seumur hidup, ia harus tetap memakai topi.

No comments:

Post a Comment