Netra
Sekali peristiwa, di sebuah desa, hidup seorang wanita. Dia mempunyai tiga orang anak perempuan. Anak pertama diberi nama Netrasatu, karena dia hanya mempunyai sebuah mata. Letak mata itu tepat di tengah-tengah dahinya.
Anak kedua diberi nama Netradua. Anak ini bermata dua, seperti orang-orang biasa.
Anak ketiga, diberi nama Netratiga, karena mempunyai tiga buah mata. Mata ketiga dari anak ini terletak di tengah-tengah dahinya.
Netradua tidak ubahnya seperti orang biasa. Karena itu baik ibunya mau pun kedua saudara perempuannya tidak menyukainya. Mereka bahkan membenci Netradua.
Kata mereka kepada Netradua, “Kau tidak lebih baik daripada kebanyakan orang, karena kau hanya bermata dua. Kau tidak sepantasnya berada bersama-sama kami.”
Mereka selalu mengganggu Netradua. Ia hanya diberi pakaian-pakaian yang telah usang. Makanan yang diberikan kepadanya hanya sisa-sisa makan mereka. Demikian mereka selalu mengusik dan membuatnya bersedih hati.
Seperti biasanya, Netradua pergi menggembalakan kambing di suatu padang rumput. Tetapi pada suatu pagi ia merasa lapar sekali. Karena kedua saudara perempuannya hanya memberinya makan pagi sedikit sekali.
Netradua duduk di tepi jalan ke padang rumput tersebut, sambil menangis. Ia menangis dengan sangat sedih, sampai air matanya bertetesan mengalir melalui lekuk-lekuk kedua pipinya. Ketika dia kebetulan menengadah, dilihatnya seorang wanita tua berdiri di hadapannya.
Wanita tua tadi bertanya kepadanya, “ Mengapa kau menangis, Netradua?”
Jawab Netradua, “Tidak bolehkah aku menangis? Di rumah aku dibenci oleh ibu dan saudara-saudara perempuanku. Tidak lain karena aku hanya mempunyai dua buah mata, seperti orang-orang lain. Mereka selalu menggangguku, dengan memberikan pakaian usang dan makanan yang mereka sisakan. Tadi pagi aku hanya diberi sisa makanan sedikit sekali, sehingga perutku sekarang melilit-lilit karena lapar.”
Wanita tua tadi sebenarnya seorang peri. Karena melihat netradua menangis tersedu-sedu, timbul belas kasihannya. Peri tua itu datang dengan maksud mau menolong.
Katanya kepada Netradua, “Keringkan air matamu, nak. Jangan menangis lagi. Dengar nasihatku ini. Perhatikan kambingmu. Itu sebenarnya kambing ajaib. Kamu tidak perlu kelaparan. Cukup kamu berkata kepada kambingmu itu,
“Kambing-kambing, kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Segera di depanmu akan berdiri sebuah meja, yang telah ditutup rapi. Di atasnya telah siap sedia segala macam makanan serta lauk-pauk yang serba lezat. Cukup untuk kamu makan sekali, sampai kau kenyang. Bila kau telah puas makan, katakan lagi kepada kambingmu,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,”
“Singkirkan meja seisinya, segera!”
Dan meja serta sisa-sisa makanan itu akan hilang tanpa bekas.”
Selesai memberi nasihat, peri tua lalu menghilan. Netradua berpikir, “Sebaiknya kucoba tentang kebenaran kata-kata nenek itu. Memang aku sedang sangat lapar sekarang ini.”
Kata Netradua kepada kambingnya,
“Kambing-kambing, kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Dan… heran bin ajaib! Segera setelah selesai berkata, di depan Netradua berdiri sebuah meja yang ditutup rapi. Taplaknya putih bersih, peralatan makannya lengkap.
Mangkuk-mangkuk, piring dan gelas, sendok, garpu, pisau, tempat mencuci tangan dan lap tangan, semua serba bersih dan mengkilat. Makanan yang dihidangkan kelihatan lezat dan masih mengepul-ngepul, seperti baru selesai dimasak.
Karena tidak ada yang ditunggu, Netradua segera mulai makan. Ia makan dengan tenang, sampai kenyang. Setelah puas, ia berkata kepada kambingnya, sesuai nasihat nenek peri,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,’
“Singkirkan meja seisinya, segera!”
Dan….. bersamaan dengan hilangnya kata terakhir, meja seisinya hilang juga. Sedikit pun tidak ada bekasnya. Netradua sangat bersukacita kegirangan.
“Sungguh-sungguh suatu hadiah yang tidak ternilai! Tidak tanggung-tanggung nenek tadi menolongku!”
Apabila senja tiba, Netradua menuntun kambingnya pulang ke rumah.
Dilihatnya piring berisi sisa-sisa makanan dari saudara-saudara perempuannya. Karena perutnya masih kenyang, Netradua tidak menyentuh makanan itu. Keesokan paginya ia pergi menggembalakan kambingnya, seperti biasa. Tetapi sisa-sisa makanan yang disediakan untuknya, tidak disentuhnya sama sekali.
Sekali dan dua kali perbuatannya ini tidak diketahui oleh Netrasatu dan Netratiga. Tapi lama kelamaan, mereka menjadi curiga.
Mereka saling bertanya, “Mengapa Netradua sekarang tidak mau makan? Makanan yang kita tinggalkan untuknya selalu utuh. Padahal badannya menjadi gemuk. Tentu dia mendapat makan di tempat lain!”
Dan mereka lalu bersepakat untuk menyelidiki. Mereka akan memperhatikan gerak-gerik Netradua selama sehari menggembalakan kambing. Pagi-pagi ketika Netradua akan berangkat menggembalakan kambing. Netrasatu datang kepadanya.
Katanya, “Netradua, aku ingin ikut menggembalakan kambing. Aku ingin tahu, apakah kambing kita kaucarikan tempat yang rumbutnya gemuk dan baik? Dan apakah dia makannya cukup?”
Netradua setuju saja diikuti kakaknya. Tapi dia merasa, bahwa kakaknya mempunyai niat lain. Netradua menuntun kambingnya ke padang yang lebat rumput-rumputnya. Kakaknya berjalan mengiringi. Sepanjang jalan Netradua berpikir. Bagaimana caranya supaya kakaknya jangan sampai tahu tentang rahasianya.
Setelah sampai, Netradua berkata, “Mari kak, duduk di sini. Di bawah satu-satunya pohon yang ada di padang ini. Kalau sian, di sini tetap enak teduh. Biasanya aku bernyanyi, untuk menghabiskan waktu. Sudah banyak lagu yang kukarang sendiri. Mari kunyanyikan untukmu sekarang.”
Netrasatu duduk di dekat adiknya. Dia merasa lelah karena habis berjalan jauh. Dia memang tidak biasa berjalan jauh. Dirasakannya angin bertiup sepoi-sepoi. Didengarnya adiknya menyanyi dengan suara yang merdu. Satu lagu terus menerus dengan kata-kata yang diulang-ulang.
“Netrasatu, kakakku,”
“Kau akan tetap berjagakah?”
“Lekas pejamkan matamu”
“Dan cepat lelap tidurlah.”
Akhirnya Netrasatu mengantuk. Sambil bersandar di pohon, satu-satunya mata dari anak ini terpejam. Netradua baru berhenti menyanyi, setelah dilihatnya kakaknya tidur nyenyak. Segera ia pindah ke balik pohon dan di situ ia menyapa kambingnya,
“Kambing-kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Netradua buru-buru makan dan minum sampai kenyang. Dan setelah puas, ia berkata lagi kepada kambingnya,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,”
“Singkirkan meja seisinya, segera!”
Dan seperti biasanya, serta-merta meja seisinya hilang tanpa bekas. Lega hati Netradua karena rahasianya tidak ketahuan. Dia lalu pindah duduk di dekat kakaknya kembali.
Sesudah kambingnya cukup kenyang makan rumput, Netradua membangunkan kakaknya, “Netrasatu, kau kemari akan menggembalakan kambing atau mau tidur? Kambing kita telah kian kemari di padang ini. Dia telah makan rumput dengan puas. Mari kita pulang sekarang.”
Mereka lalu berjalan pulang beriringan, seperti waktu berangkatnya. Dan malamnya, sisa makanan yang disediakan untuk Netradua tidak disentuh lagi.
Ibu mereka lalu bertanya kepada Netrasatu, “Apa yang kausaksikan di padang rumput tadi nak? Darimana adikmu mendapat makanan? Makanan yang kita sisakan untuknya malam ini, tidak disentuhnya sama sekali.”
“aku tadi tertidur di padang rumput itu, bu. Aku capai berjalan, angin meniup sepoi-sepoi. Aku menjadi ngantuk. Lalu tanpa kusadari, aku tidur nyenyak. Sampai aku dibangunkan, sesudah waktunya pulang.”
Ibu mereka lalu berkata kepada Netratiga, “Besok pagi kamu saja yang ikut Netradua menggembalakan kambing. Kamu awasi baik-baik, darimana dia mendapat makan dan minum. Tidak mungkin dia selama ini tidak makan tidak minum, karena badannya bertambah gemuk.”
Pagi-pagi, sebelum Netradua berangkat, netratiga berkata, “Kak, aku ingin ikut menggembalakan kambing. Aku ingin melihat kambing kita makan rumput yang gemuk dan menjadi kenyang.”
Seperti kemarinnya, Netradua dapat merasakan lagi, bahwa adiknya mempunyai niat lain. Mereka berjalan beriringan menuju ke padang yang rumputnya lebat.
Sampai di padang rumput, Netradua berkata lagi, “Duduk di sini dik, di bawah pohon ini. Kalau siang di sini tetap teduh. Karena selalu sendirian, aku banyak mengarang lagu. Kau ingin mendengarnya?”
Netratiga duduk di dekat kakaknya. Ia juga tidak biasa berjalan jauh. Tidak mengherankan, kalau ia menjadi lelah. Udaranya sangat panas, tapi secara bersamaan bertiuplah angin perlahan-lahan. Dan ini semua membuat mata mengantuk. Netradua sudah menyanyi lagu karangannya sendiri. Mendengar suara nyanyian kakaknya yang merdu, dengan kata-kata yang selalu diulangi, Netratiga menjadi ngantuk juga. Tapi sayang, Netradua salah menyanyi,
“Netratiga adikku,”
“Kau akan tetap berjagakah?”
“Pejamkan kedua belah matamu”
“Dan cepat lelap tidurlah!”
Karena salah menyanyi ini, mata Netratiga hanya dua buah saja yang terpejam. Yang sebuah lagi masih terbuka lebar. Tetapi Netratiga ingat tugasnya. Untuk mengelabui Netradua, mata yang masih berjaga ini dia pejamkan. Supaya dikira sudah tidur. Kadang-kadang mata ini dibuka sedikit untuk mengintip keadaan di situ.
Netradua mengira, bahwa adiknya sudah tidur pulas, seperti kakaknya kemarin. Kali ini dia memang kurang waspada. Ketika dia menyapa kambingnya, di tidak pindah ke balik pohon. Karena itu Netratiga dapat melihat dengan nyata perbuatan Netradua.
Netratiga mendengar dengan jelas, ketika kakaknya berkata kepada kambingnya,
“Kambing-kambing, kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Kedua kalimat ini diingat-ingat benar oleh Netra tiga. Dari celah mata ketiganya yang dipakai untuk mengintip, dia melihat meja yang tiba-tiba datang. Kemudian dia melihat kakaknya sibuk makan dan minum.
Akhirnya dia mendengar lagi Netradua berkata kepada kambingnya,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,”
“Singkirkan meja seisinya , segera!”
Kalimat-kalimat ini pun diingat-ingat betul oleh Netratiga. Dan ketika mata ketiganya dibuka sedikit, meja yang dilihatnya tadi, sudah hilang lagi. Seperti mimpi saja jadinya. Netradua masih menunggu sampai kambingnya makan kenyang. Selama itu Netratiga menghafalkan kalimat-kalimat yang dipakai kakaknya untuk menyapa kambing tadi.
Sesudah kambingnya kenyang, Netradua lalu membangunkan adiknya, katanya, “Netratiga, katamu tadi ingin melihat kambing kita makan rumput. Nyatanya kamu tidur saja, sampai kambing kenyang. Mari kita pulang sekarang!”
Sesampai di rumah, Netradua tidak mau makan sisa-sisa makanan yang ditinggalkan mereka.
Tapi kali ini Netratiga yang membuka rahasianya, “Aku sekarang tahu sebabnya, bu! Di padang rumput, tadi anak manja itu menyapa kambing kita dengan kata-kata demikian,
“Kambing-kambing, kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Maka tiba-tiba di depannya berdiri sebuah meja penuh makanan. Setelah dia makan kenyang, kambing disapanya lagi dengan kata-kata,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,”
“Singkirkan meja seisinya , segera!”
Dan meja dengan semua isinya cepat hilang tanpa bekas. Semua itu dapat saya lihat dengan nyata. Memang kedua mataku tertidur dengan pulas, tapi mata ketiga yang di tengah-tengah dahi, tetap berjaga.”
Ibunya menjadi sangat iri hati. Katanya dengan dengan marah, “Engkau selalu mau yang lebih baik dari kita di sini, ya? Rasakan akibatnya sekarang!”
Ibu itu segera mengambil pisau besar dan kambingnya, lalu kambing itu dibunuhnya. Melihat perbuatan kejam dari ibunya itu, Netradua tidak sampai hati. Dia lari ke luar rumah dan sambil duduk di tepi jalan, dia menangis sangat sedih.
Tiba-tiba datang lagi peri tua itu dan berdiri di depan Netradua.
Katanya, “Netradua, mengapa kamu menangis lagi, nak?”
Jawab Netradua, “Tidak bolehkan aku menangis? Dulu pernah kau ajarkan kepadaku uantuk menyapa kambingku. Sejak itu aku dapat makan dan mium sampai perutku kenyang. Tapi baru saja ibuku membunuh kambingku. Sejak sekarang tentu aku akan menderita lapar dan kekurangan lagi.”
Kata peri tua tadi dengan ramah, “Dengar nasihatku ini, Netradua. Mintalah dari saudara-saudara perempuanmu isi perut kambing yang telah mati itu. Lalu tanamlah isi perut kambing tadi di halaman rumah, di muka pintu rumahmu. Akan terjadi sesuatu yang baik, yang akan membawa kebahagiaan bagimu.”
Selesai berkata, peri tua itu menghilang lagi. Dan Netradua lalu pulang ke rumah.
Katanya kepada saudara-saudara perempuannya, “Kakak dan adik yang baik hati, boleh aku minta sedikit saja dari kambing kita? Aku tidak akan minta yang enak atau yang baik dari daging kambing itu. Berikan saja isi perut kambing kita kepadaku.”
Saudara-saudaranya perempuan menertawakan Netradua tidak habis-habisnya.
Kata Netrasatu kepadanya, “ Baik, akan kuberikan isi perut kambing itu kepadamu. Tapi awas! Jangan minta yang lain lagi!”
Malam itu, Netradua mematuhi nasihat peri tua tadi. Isi perut kambing ditanam di halaman, di muka pintu rumahnya. Keesokan paginya, ibu dan saudara-saudara perempuan Netradua heran sekali, karena tiba-tiba saja di halaman, di muka pintu rumah mereka, berdiri sebuah pohon yang indah sekali. Pohon yang rindang itu berdaun perak dan berbuah emas. Di dunia ini tidak ada yang melebihi keindahannya dan berharganya.
Mereka tidak tahu, bahwa pohon itu sebenarnya tumbuh dengan cepat sekali. Hanya dalam waktu satu malam. Netradua sendiri yang tahu asal mulanya. Dia tahu, bahwa pohon itu berasal dari isi perut kambing, karena memang berdirinya tepat di tempat ia menanamnya. Ibu mereka sangat senang, karena tiba-tiba saja mereka menjadi kaya raya.
Katanya kepada Netrasatu, “Tolong panjatkan pohon itu, Netrasatu dan petikkan buah-buahnya untukku.”
Netrasatu segera memanjat pohon itu, tapi sayang…. buah-buah itu tidak ada yang mau dipetik. Setiap kali Netrasatu memegang buah, siap untuk dipetik, setiap kali pula buah itu lepas lagi. Seperti ada yang menariknya. Netrasatu berusaha keras sekali untuk memenuhi permintaan ibunya. Sampai peluhnya bertetesan. Tapi pekerjaannya sia-sia saja, tidak satu buah pun dapat dipetiknya.
Kemudian ibu itu menyuruh Netratiga, “Coba kamu saja yang memanjat pohon itu, Netratiga. Dan petikkan buah-buahnya untukku. Tentunya dengan ketiga buah matamu, kamu dapat melihat lebih jelas daripada Netrasatu.”
Netrasatu lalu turun dari pohon perak itu, digantikan oleh Netratiga. Tapi usaha si bungsu ini pun sia-sia juga. Tidak sebuah pun yang dapat dipetiknya. Akhirnya si ibu hilang kesabarannya. Ia memanjat sendiri pohon itu dan berusaha memetik buah-buahnya. Tidak beda dengan Netrasatu dan Netratiga, ia pun tidak berhasil. Setiap kali, ia hanya dapat menangkap angin.
Netradua melihat semua itu dengan heran.
Maka katanya, “Biarkan aku memanjat pohon itu dan memetik buah-buahnya. Barangkali aku dapat berhasil.”
Kedua saudara perempuannya mencemooh, “Kamu, dengan kedua matamu? Kamu kira akan dapat berhasil.”
Netradua segera memanjat pohon dan ternyata…. Hasilnya sangat berlawanan. Buah-buahnya tidak menghindar daripadanya. Cabang-cabang pohon itu bahkan merunduk kepadanya. Seolah-olah minta dipetik buah-buahnya. Karena itu sebentar saja Netradua sudah mendapat buah emas satu kantung penuh.
Meski pun Netradua dapat berhasil memetik buah-buah emas itu, mereka bukannya memuji atau menyayangi Netradua. Sebaliknya mereka bahkan berbuat lebih kasar dan lebih kejam lagi terhadap Netradua. Setelah Netradua turun dari pohon, ibunya segera merampas kantung buah-buah itu dari tangan Netradua. Mereka bertiga lalu bersukacita dengan buah-buah tadi. Netradua tidak diberi sebuah pun.
Untuk selanjutnya, mereka selalu berbuat demikian. Netradua yang disuruh memetik buah-buah emas itu. Yang lain mengawasi, supaya semua buah itu masuk ke dalam kantung. Dan sesudah penuh, kantung dirampas oelh ibunya. Dan Netradua tidak diberi sebuah pun.
Pada suatu hari, mereka sedang memetik buah-buah emas lagi. Kantung buah sudah mereka terima, Netradua juga sudah turun. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda.
Kata Netrasatu dan Netratiga kepada Netradua, “ Cepat kau enyah dari sini! Jangan membuat kami malu!”
Segera mereka menyembunyikan Netradua ke dalam tong kosong yang kebetulan ada di dekat mereka. Buah-buah yang baru dipetik dimasukkan juga ke dalam tong tadi.
Benar-benar kuda dengan penunggangnya datang mendekat. Dia datang karena tertarik oleh pohon perak yang kelihatan berkilau dari jauh. Ternyata ia seorang pangeran yang masih muda dan berwajah tampan sekali. Ia berhenti dan mengagumi pohon tersebut.
Dia bertanya kepada kedua gadis kakak beradik itu, “Milik siapakah pohon indah ini? Saya ingin mempunyai sebuah cabang saja dari pohon ini. Berapapun juga harga batang itu, akan kubayar.”
Kedua gadis tadi mengaku, pohon perak itu milik mereka. Dengan senang hati, mereka akan memotongkan sebuah cabang dari pohon perak mereka untuk sang pangeran. Berdua mereka lalu memanjat pohon untuk mematahkan sebuah cabang. Tapi betapa pun mereka berusaha, hasilnya hanya sia-sia saja. Baik cabang mau pun buah-buahnya selalu menghindar dari tangan mereka.
Kata sang pangeran keheranan, “Aneh benar…. Kalian beruda mengaku sebagai pemiliknya. Tapi, sebatang cabang pun tidak dapat kalian patahkan.”
Kedua gadis tadi terus berusaha keras. Mereka pun menyatakan, bahwa pohon perak itu benar-benar milik mereka.
Di dalam tempat persembunyiannya, Netradua mendengar semua pembicaraan mereka. Dia menjadi marah, karena kedua saudara perempuannya suka berbohong. Sambil masih bersembunyi, dia melemparkan sebuah buah emas. Buah tadi menggelinding dan berhenti di dekat kaki sang pangeran.
Melihat buah emas yang tiba-tiba ada di dekat kakainya, sang pangeran heran.
Katanya, “Darimana datangnya buah emas ini? Saya tidak melihatnya jatuh dari pohon. Tapi tiba-tiba sudah ada di dekat kaki saya.”
Netrasatu dan Netratiga mengarang sebuah jawaban. Katanya, bahwa mereka mempunyai seorang saudara perempuan lagi. Matanya hanya dua buah, seperti kebanyakan manusia. Karena itu dia tidak berani menampakkan diri.
Tetapi sang pangeran ingin melihatnya, serunya, “Kau keluar saja dari tempat persembunyianmu, Netradua, dan kemarilah!”
Netradua lalu keluar dari dalam tong itu. Sang pangeran tercengang ketika melihat kecantikan Netradua.
Katanya, “Dapatkah kau memberikan setangkai cabang dari pohon indah ini?
Jawab Netradua, “Tentu saya dapat memberikan cabang pohon yang anda inginkan pangeran, karena pohon ini memang milikku.”
Netradua segera memanjat pohon peraknya. Dengan mudah dipatahkannya sebatang tangkai cabang, lengkap dengan daun-daun perak serta buah-buah emasnya. Cabang tadi kemudian diberikannya kepada sang pangeran.
Sang pangeran bertanya, “Apa yang harus saya berikan kepadamu sebagai gantinya Netradua?”
Netradua menjawab, “Saya menderita lapar dan dahaga, pangeran. Sejak pagi sampai malam, saya sengsara. Saya akan bahagia sekali, apabila boleh ikut mengabdi pada pangeran.”
Demikianlah, Netradua lalu diangkat naik ke atas kuda sang pangeran dan dibawa pulang ke istananya.
Di istana sang pangeran, Netradua mendapat perlakuan yang baik sekali. Dia mendapat pakaian yang indah-indah, mendapat makan dan minum yang serba lezat. Semuanya dalam jumlah yang cukup dan memuaskan.
Semakin hari, Netradua bertambah cantik. Karena itu sang pangeran lalu mencintainya dan akhirnya mempersuntingnya sebagai isterinya. Pesta pernikahan mereka dirayakan dengan meriah sekali.
Ketika Netradua dibawa ke istana oleh sang pangeran, kedua saudara perempuannya menjadi iri hati sekali. Akhirnya mereka menghibur diri, pikir mereka, “Kita toh masih memiliki pohon indah ini. Walau pun tidak dapat memetik buah-buahnya, pohon itu masih dapat memberikan kebahagiaan kepada kita. Banyak orang akan datang kemari untuk melihat dan menikmati keindahan pohon tersebut.”
Tetapi harapan mereka ternyata hampa belaka. Sebab keesokan harinya pohon indah itu hilang lenyap, tidak berbekas. Yang sebenarnya, pada malam hari pohon indah itu hilang dari tempatnya semula, dia muncul di tempat lain.
Ketika Netradua baru satu malam menginap di istana, keesokan paginya dia bangun dan menengok ke luar jendela, dia sangat heran dan bercampur bahagia, karena pohon peraknya telah mengikuti jejaknya ke istana. Di halaman istana, di depan jendela kamarnya, paohon tadi tumbuh dengan suburnya.
Netradua hidup senang dan bahagia di istana sebagai isteri sang pangeran. Pada suatu hari datang dua orang wanita peminta-minta ke istana Netradua. Dengan segera Netradua dapat mengenali mereka sebagai kakak dan adiknya. Tidak lain karena mata mereka yang di dahi itulah.
Sepeninggal Netradua, mereka jatuh miskin, sampai mereka terpaksa pergi meminta-minta dari rumah ke rumah, supaya dapat hidup. Mereka yang biasa berlaku sombong, ternyata harus bertekuk lutut dan hidup dari belas kasihan orang lain.
Netradua yang memang berbudi luhur, menyambut mereka dengan ramah. Netrasatu dan Neratiga dirawat dan dipelihara dnegan baik, sehingga mereka menyesali perbuatan mereka dahulu terhadap Netradua.
Sekali peristiwa, di sebuah desa, hidup seorang wanita. Dia mempunyai tiga orang anak perempuan. Anak pertama diberi nama Netrasatu, karena dia hanya mempunyai sebuah mata. Letak mata itu tepat di tengah-tengah dahinya.
Anak kedua diberi nama Netradua. Anak ini bermata dua, seperti orang-orang biasa.
Anak ketiga, diberi nama Netratiga, karena mempunyai tiga buah mata. Mata ketiga dari anak ini terletak di tengah-tengah dahinya.
Netradua tidak ubahnya seperti orang biasa. Karena itu baik ibunya mau pun kedua saudara perempuannya tidak menyukainya. Mereka bahkan membenci Netradua.
Kata mereka kepada Netradua, “Kau tidak lebih baik daripada kebanyakan orang, karena kau hanya bermata dua. Kau tidak sepantasnya berada bersama-sama kami.”
Mereka selalu mengganggu Netradua. Ia hanya diberi pakaian-pakaian yang telah usang. Makanan yang diberikan kepadanya hanya sisa-sisa makan mereka. Demikian mereka selalu mengusik dan membuatnya bersedih hati.
Seperti biasanya, Netradua pergi menggembalakan kambing di suatu padang rumput. Tetapi pada suatu pagi ia merasa lapar sekali. Karena kedua saudara perempuannya hanya memberinya makan pagi sedikit sekali.
Netradua duduk di tepi jalan ke padang rumput tersebut, sambil menangis. Ia menangis dengan sangat sedih, sampai air matanya bertetesan mengalir melalui lekuk-lekuk kedua pipinya. Ketika dia kebetulan menengadah, dilihatnya seorang wanita tua berdiri di hadapannya.
Wanita tua tadi bertanya kepadanya, “ Mengapa kau menangis, Netradua?”
Jawab Netradua, “Tidak bolehkah aku menangis? Di rumah aku dibenci oleh ibu dan saudara-saudara perempuanku. Tidak lain karena aku hanya mempunyai dua buah mata, seperti orang-orang lain. Mereka selalu menggangguku, dengan memberikan pakaian usang dan makanan yang mereka sisakan. Tadi pagi aku hanya diberi sisa makanan sedikit sekali, sehingga perutku sekarang melilit-lilit karena lapar.”
Wanita tua tadi sebenarnya seorang peri. Karena melihat netradua menangis tersedu-sedu, timbul belas kasihannya. Peri tua itu datang dengan maksud mau menolong.
Katanya kepada Netradua, “Keringkan air matamu, nak. Jangan menangis lagi. Dengar nasihatku ini. Perhatikan kambingmu. Itu sebenarnya kambing ajaib. Kamu tidak perlu kelaparan. Cukup kamu berkata kepada kambingmu itu,
“Kambing-kambing, kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Segera di depanmu akan berdiri sebuah meja, yang telah ditutup rapi. Di atasnya telah siap sedia segala macam makanan serta lauk-pauk yang serba lezat. Cukup untuk kamu makan sekali, sampai kau kenyang. Bila kau telah puas makan, katakan lagi kepada kambingmu,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,”
“Singkirkan meja seisinya, segera!”
Dan meja serta sisa-sisa makanan itu akan hilang tanpa bekas.”
Selesai memberi nasihat, peri tua lalu menghilan. Netradua berpikir, “Sebaiknya kucoba tentang kebenaran kata-kata nenek itu. Memang aku sedang sangat lapar sekarang ini.”
Kata Netradua kepada kambingnya,
“Kambing-kambing, kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Dan… heran bin ajaib! Segera setelah selesai berkata, di depan Netradua berdiri sebuah meja yang ditutup rapi. Taplaknya putih bersih, peralatan makannya lengkap.
Mangkuk-mangkuk, piring dan gelas, sendok, garpu, pisau, tempat mencuci tangan dan lap tangan, semua serba bersih dan mengkilat. Makanan yang dihidangkan kelihatan lezat dan masih mengepul-ngepul, seperti baru selesai dimasak.
Karena tidak ada yang ditunggu, Netradua segera mulai makan. Ia makan dengan tenang, sampai kenyang. Setelah puas, ia berkata kepada kambingnya, sesuai nasihat nenek peri,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,’
“Singkirkan meja seisinya, segera!”
Dan….. bersamaan dengan hilangnya kata terakhir, meja seisinya hilang juga. Sedikit pun tidak ada bekasnya. Netradua sangat bersukacita kegirangan.
“Sungguh-sungguh suatu hadiah yang tidak ternilai! Tidak tanggung-tanggung nenek tadi menolongku!”
Apabila senja tiba, Netradua menuntun kambingnya pulang ke rumah.
Dilihatnya piring berisi sisa-sisa makanan dari saudara-saudara perempuannya. Karena perutnya masih kenyang, Netradua tidak menyentuh makanan itu. Keesokan paginya ia pergi menggembalakan kambingnya, seperti biasa. Tetapi sisa-sisa makanan yang disediakan untuknya, tidak disentuhnya sama sekali.
Sekali dan dua kali perbuatannya ini tidak diketahui oleh Netrasatu dan Netratiga. Tapi lama kelamaan, mereka menjadi curiga.
Mereka saling bertanya, “Mengapa Netradua sekarang tidak mau makan? Makanan yang kita tinggalkan untuknya selalu utuh. Padahal badannya menjadi gemuk. Tentu dia mendapat makan di tempat lain!”
Dan mereka lalu bersepakat untuk menyelidiki. Mereka akan memperhatikan gerak-gerik Netradua selama sehari menggembalakan kambing. Pagi-pagi ketika Netradua akan berangkat menggembalakan kambing. Netrasatu datang kepadanya.
Katanya, “Netradua, aku ingin ikut menggembalakan kambing. Aku ingin tahu, apakah kambing kita kaucarikan tempat yang rumbutnya gemuk dan baik? Dan apakah dia makannya cukup?”
Netradua setuju saja diikuti kakaknya. Tapi dia merasa, bahwa kakaknya mempunyai niat lain. Netradua menuntun kambingnya ke padang yang lebat rumput-rumputnya. Kakaknya berjalan mengiringi. Sepanjang jalan Netradua berpikir. Bagaimana caranya supaya kakaknya jangan sampai tahu tentang rahasianya.
Setelah sampai, Netradua berkata, “Mari kak, duduk di sini. Di bawah satu-satunya pohon yang ada di padang ini. Kalau sian, di sini tetap enak teduh. Biasanya aku bernyanyi, untuk menghabiskan waktu. Sudah banyak lagu yang kukarang sendiri. Mari kunyanyikan untukmu sekarang.”
Netrasatu duduk di dekat adiknya. Dia merasa lelah karena habis berjalan jauh. Dia memang tidak biasa berjalan jauh. Dirasakannya angin bertiup sepoi-sepoi. Didengarnya adiknya menyanyi dengan suara yang merdu. Satu lagu terus menerus dengan kata-kata yang diulang-ulang.
“Netrasatu, kakakku,”
“Kau akan tetap berjagakah?”
“Lekas pejamkan matamu”
“Dan cepat lelap tidurlah.”
Akhirnya Netrasatu mengantuk. Sambil bersandar di pohon, satu-satunya mata dari anak ini terpejam. Netradua baru berhenti menyanyi, setelah dilihatnya kakaknya tidur nyenyak. Segera ia pindah ke balik pohon dan di situ ia menyapa kambingnya,
“Kambing-kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Netradua buru-buru makan dan minum sampai kenyang. Dan setelah puas, ia berkata lagi kepada kambingnya,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,”
“Singkirkan meja seisinya, segera!”
Dan seperti biasanya, serta-merta meja seisinya hilang tanpa bekas. Lega hati Netradua karena rahasianya tidak ketahuan. Dia lalu pindah duduk di dekat kakaknya kembali.
Sesudah kambingnya cukup kenyang makan rumput, Netradua membangunkan kakaknya, “Netrasatu, kau kemari akan menggembalakan kambing atau mau tidur? Kambing kita telah kian kemari di padang ini. Dia telah makan rumput dengan puas. Mari kita pulang sekarang.”
Mereka lalu berjalan pulang beriringan, seperti waktu berangkatnya. Dan malamnya, sisa makanan yang disediakan untuk Netradua tidak disentuh lagi.
Ibu mereka lalu bertanya kepada Netrasatu, “Apa yang kausaksikan di padang rumput tadi nak? Darimana adikmu mendapat makanan? Makanan yang kita sisakan untuknya malam ini, tidak disentuhnya sama sekali.”
“aku tadi tertidur di padang rumput itu, bu. Aku capai berjalan, angin meniup sepoi-sepoi. Aku menjadi ngantuk. Lalu tanpa kusadari, aku tidur nyenyak. Sampai aku dibangunkan, sesudah waktunya pulang.”
Ibu mereka lalu berkata kepada Netratiga, “Besok pagi kamu saja yang ikut Netradua menggembalakan kambing. Kamu awasi baik-baik, darimana dia mendapat makan dan minum. Tidak mungkin dia selama ini tidak makan tidak minum, karena badannya bertambah gemuk.”
Pagi-pagi, sebelum Netradua berangkat, netratiga berkata, “Kak, aku ingin ikut menggembalakan kambing. Aku ingin melihat kambing kita makan rumput yang gemuk dan menjadi kenyang.”
Seperti kemarinnya, Netradua dapat merasakan lagi, bahwa adiknya mempunyai niat lain. Mereka berjalan beriringan menuju ke padang yang rumputnya lebat.
Sampai di padang rumput, Netradua berkata lagi, “Duduk di sini dik, di bawah pohon ini. Kalau siang di sini tetap teduh. Karena selalu sendirian, aku banyak mengarang lagu. Kau ingin mendengarnya?”
Netratiga duduk di dekat kakaknya. Ia juga tidak biasa berjalan jauh. Tidak mengherankan, kalau ia menjadi lelah. Udaranya sangat panas, tapi secara bersamaan bertiuplah angin perlahan-lahan. Dan ini semua membuat mata mengantuk. Netradua sudah menyanyi lagu karangannya sendiri. Mendengar suara nyanyian kakaknya yang merdu, dengan kata-kata yang selalu diulangi, Netratiga menjadi ngantuk juga. Tapi sayang, Netradua salah menyanyi,
“Netratiga adikku,”
“Kau akan tetap berjagakah?”
“Pejamkan kedua belah matamu”
“Dan cepat lelap tidurlah!”
Karena salah menyanyi ini, mata Netratiga hanya dua buah saja yang terpejam. Yang sebuah lagi masih terbuka lebar. Tetapi Netratiga ingat tugasnya. Untuk mengelabui Netradua, mata yang masih berjaga ini dia pejamkan. Supaya dikira sudah tidur. Kadang-kadang mata ini dibuka sedikit untuk mengintip keadaan di situ.
Netradua mengira, bahwa adiknya sudah tidur pulas, seperti kakaknya kemarin. Kali ini dia memang kurang waspada. Ketika dia menyapa kambingnya, di tidak pindah ke balik pohon. Karena itu Netratiga dapat melihat dengan nyata perbuatan Netradua.
Netratiga mendengar dengan jelas, ketika kakaknya berkata kepada kambingnya,
“Kambing-kambing, kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Kedua kalimat ini diingat-ingat benar oleh Netra tiga. Dari celah mata ketiganya yang dipakai untuk mengintip, dia melihat meja yang tiba-tiba datang. Kemudian dia melihat kakaknya sibuk makan dan minum.
Akhirnya dia mendengar lagi Netradua berkata kepada kambingnya,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,”
“Singkirkan meja seisinya , segera!”
Kalimat-kalimat ini pun diingat-ingat betul oleh Netratiga. Dan ketika mata ketiganya dibuka sedikit, meja yang dilihatnya tadi, sudah hilang lagi. Seperti mimpi saja jadinya. Netradua masih menunggu sampai kambingnya makan kenyang. Selama itu Netratiga menghafalkan kalimat-kalimat yang dipakai kakaknya untuk menyapa kambing tadi.
Sesudah kambingnya kenyang, Netradua lalu membangunkan adiknya, katanya, “Netratiga, katamu tadi ingin melihat kambing kita makan rumput. Nyatanya kamu tidur saja, sampai kambing kenyang. Mari kita pulang sekarang!”
Sesampai di rumah, Netradua tidak mau makan sisa-sisa makanan yang ditinggalkan mereka.
Tapi kali ini Netratiga yang membuka rahasianya, “Aku sekarang tahu sebabnya, bu! Di padang rumput, tadi anak manja itu menyapa kambing kita dengan kata-kata demikian,
“Kambing-kambing, kambingku sayang,”
“Tutupkan meja untukku sekarang!”
Maka tiba-tiba di depannya berdiri sebuah meja penuh makanan. Setelah dia makan kenyang, kambing disapanya lagi dengan kata-kata,
“Kambing-kambing, kambingku berjasa,”
“Singkirkan meja seisinya , segera!”
Dan meja dengan semua isinya cepat hilang tanpa bekas. Semua itu dapat saya lihat dengan nyata. Memang kedua mataku tertidur dengan pulas, tapi mata ketiga yang di tengah-tengah dahi, tetap berjaga.”
Ibunya menjadi sangat iri hati. Katanya dengan dengan marah, “Engkau selalu mau yang lebih baik dari kita di sini, ya? Rasakan akibatnya sekarang!”
Ibu itu segera mengambil pisau besar dan kambingnya, lalu kambing itu dibunuhnya. Melihat perbuatan kejam dari ibunya itu, Netradua tidak sampai hati. Dia lari ke luar rumah dan sambil duduk di tepi jalan, dia menangis sangat sedih.
Tiba-tiba datang lagi peri tua itu dan berdiri di depan Netradua.
Katanya, “Netradua, mengapa kamu menangis lagi, nak?”
Jawab Netradua, “Tidak bolehkan aku menangis? Dulu pernah kau ajarkan kepadaku uantuk menyapa kambingku. Sejak itu aku dapat makan dan mium sampai perutku kenyang. Tapi baru saja ibuku membunuh kambingku. Sejak sekarang tentu aku akan menderita lapar dan kekurangan lagi.”
Kata peri tua tadi dengan ramah, “Dengar nasihatku ini, Netradua. Mintalah dari saudara-saudara perempuanmu isi perut kambing yang telah mati itu. Lalu tanamlah isi perut kambing tadi di halaman rumah, di muka pintu rumahmu. Akan terjadi sesuatu yang baik, yang akan membawa kebahagiaan bagimu.”
Selesai berkata, peri tua itu menghilang lagi. Dan Netradua lalu pulang ke rumah.
Katanya kepada saudara-saudara perempuannya, “Kakak dan adik yang baik hati, boleh aku minta sedikit saja dari kambing kita? Aku tidak akan minta yang enak atau yang baik dari daging kambing itu. Berikan saja isi perut kambing kita kepadaku.”
Saudara-saudaranya perempuan menertawakan Netradua tidak habis-habisnya.
Kata Netrasatu kepadanya, “ Baik, akan kuberikan isi perut kambing itu kepadamu. Tapi awas! Jangan minta yang lain lagi!”
Malam itu, Netradua mematuhi nasihat peri tua tadi. Isi perut kambing ditanam di halaman, di muka pintu rumahnya. Keesokan paginya, ibu dan saudara-saudara perempuan Netradua heran sekali, karena tiba-tiba saja di halaman, di muka pintu rumah mereka, berdiri sebuah pohon yang indah sekali. Pohon yang rindang itu berdaun perak dan berbuah emas. Di dunia ini tidak ada yang melebihi keindahannya dan berharganya.
Mereka tidak tahu, bahwa pohon itu sebenarnya tumbuh dengan cepat sekali. Hanya dalam waktu satu malam. Netradua sendiri yang tahu asal mulanya. Dia tahu, bahwa pohon itu berasal dari isi perut kambing, karena memang berdirinya tepat di tempat ia menanamnya. Ibu mereka sangat senang, karena tiba-tiba saja mereka menjadi kaya raya.
Katanya kepada Netrasatu, “Tolong panjatkan pohon itu, Netrasatu dan petikkan buah-buahnya untukku.”
Netrasatu segera memanjat pohon itu, tapi sayang…. buah-buah itu tidak ada yang mau dipetik. Setiap kali Netrasatu memegang buah, siap untuk dipetik, setiap kali pula buah itu lepas lagi. Seperti ada yang menariknya. Netrasatu berusaha keras sekali untuk memenuhi permintaan ibunya. Sampai peluhnya bertetesan. Tapi pekerjaannya sia-sia saja, tidak satu buah pun dapat dipetiknya.
Kemudian ibu itu menyuruh Netratiga, “Coba kamu saja yang memanjat pohon itu, Netratiga. Dan petikkan buah-buahnya untukku. Tentunya dengan ketiga buah matamu, kamu dapat melihat lebih jelas daripada Netrasatu.”
Netrasatu lalu turun dari pohon perak itu, digantikan oleh Netratiga. Tapi usaha si bungsu ini pun sia-sia juga. Tidak sebuah pun yang dapat dipetiknya. Akhirnya si ibu hilang kesabarannya. Ia memanjat sendiri pohon itu dan berusaha memetik buah-buahnya. Tidak beda dengan Netrasatu dan Netratiga, ia pun tidak berhasil. Setiap kali, ia hanya dapat menangkap angin.
Netradua melihat semua itu dengan heran.
Maka katanya, “Biarkan aku memanjat pohon itu dan memetik buah-buahnya. Barangkali aku dapat berhasil.”
Kedua saudara perempuannya mencemooh, “Kamu, dengan kedua matamu? Kamu kira akan dapat berhasil.”
Netradua segera memanjat pohon dan ternyata…. Hasilnya sangat berlawanan. Buah-buahnya tidak menghindar daripadanya. Cabang-cabang pohon itu bahkan merunduk kepadanya. Seolah-olah minta dipetik buah-buahnya. Karena itu sebentar saja Netradua sudah mendapat buah emas satu kantung penuh.
Meski pun Netradua dapat berhasil memetik buah-buah emas itu, mereka bukannya memuji atau menyayangi Netradua. Sebaliknya mereka bahkan berbuat lebih kasar dan lebih kejam lagi terhadap Netradua. Setelah Netradua turun dari pohon, ibunya segera merampas kantung buah-buah itu dari tangan Netradua. Mereka bertiga lalu bersukacita dengan buah-buah tadi. Netradua tidak diberi sebuah pun.
Untuk selanjutnya, mereka selalu berbuat demikian. Netradua yang disuruh memetik buah-buah emas itu. Yang lain mengawasi, supaya semua buah itu masuk ke dalam kantung. Dan sesudah penuh, kantung dirampas oelh ibunya. Dan Netradua tidak diberi sebuah pun.
Pada suatu hari, mereka sedang memetik buah-buah emas lagi. Kantung buah sudah mereka terima, Netradua juga sudah turun. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda.
Kata Netrasatu dan Netratiga kepada Netradua, “ Cepat kau enyah dari sini! Jangan membuat kami malu!”
Segera mereka menyembunyikan Netradua ke dalam tong kosong yang kebetulan ada di dekat mereka. Buah-buah yang baru dipetik dimasukkan juga ke dalam tong tadi.
Benar-benar kuda dengan penunggangnya datang mendekat. Dia datang karena tertarik oleh pohon perak yang kelihatan berkilau dari jauh. Ternyata ia seorang pangeran yang masih muda dan berwajah tampan sekali. Ia berhenti dan mengagumi pohon tersebut.
Dia bertanya kepada kedua gadis kakak beradik itu, “Milik siapakah pohon indah ini? Saya ingin mempunyai sebuah cabang saja dari pohon ini. Berapapun juga harga batang itu, akan kubayar.”
Kedua gadis tadi mengaku, pohon perak itu milik mereka. Dengan senang hati, mereka akan memotongkan sebuah cabang dari pohon perak mereka untuk sang pangeran. Berdua mereka lalu memanjat pohon untuk mematahkan sebuah cabang. Tapi betapa pun mereka berusaha, hasilnya hanya sia-sia saja. Baik cabang mau pun buah-buahnya selalu menghindar dari tangan mereka.
Kata sang pangeran keheranan, “Aneh benar…. Kalian beruda mengaku sebagai pemiliknya. Tapi, sebatang cabang pun tidak dapat kalian patahkan.”
Kedua gadis tadi terus berusaha keras. Mereka pun menyatakan, bahwa pohon perak itu benar-benar milik mereka.
Di dalam tempat persembunyiannya, Netradua mendengar semua pembicaraan mereka. Dia menjadi marah, karena kedua saudara perempuannya suka berbohong. Sambil masih bersembunyi, dia melemparkan sebuah buah emas. Buah tadi menggelinding dan berhenti di dekat kaki sang pangeran.
Melihat buah emas yang tiba-tiba ada di dekat kakainya, sang pangeran heran.
Katanya, “Darimana datangnya buah emas ini? Saya tidak melihatnya jatuh dari pohon. Tapi tiba-tiba sudah ada di dekat kaki saya.”
Netrasatu dan Netratiga mengarang sebuah jawaban. Katanya, bahwa mereka mempunyai seorang saudara perempuan lagi. Matanya hanya dua buah, seperti kebanyakan manusia. Karena itu dia tidak berani menampakkan diri.
Tetapi sang pangeran ingin melihatnya, serunya, “Kau keluar saja dari tempat persembunyianmu, Netradua, dan kemarilah!”
Netradua lalu keluar dari dalam tong itu. Sang pangeran tercengang ketika melihat kecantikan Netradua.
Katanya, “Dapatkah kau memberikan setangkai cabang dari pohon indah ini?
Jawab Netradua, “Tentu saya dapat memberikan cabang pohon yang anda inginkan pangeran, karena pohon ini memang milikku.”
Netradua segera memanjat pohon peraknya. Dengan mudah dipatahkannya sebatang tangkai cabang, lengkap dengan daun-daun perak serta buah-buah emasnya. Cabang tadi kemudian diberikannya kepada sang pangeran.
Sang pangeran bertanya, “Apa yang harus saya berikan kepadamu sebagai gantinya Netradua?”
Netradua menjawab, “Saya menderita lapar dan dahaga, pangeran. Sejak pagi sampai malam, saya sengsara. Saya akan bahagia sekali, apabila boleh ikut mengabdi pada pangeran.”
Demikianlah, Netradua lalu diangkat naik ke atas kuda sang pangeran dan dibawa pulang ke istananya.
Di istana sang pangeran, Netradua mendapat perlakuan yang baik sekali. Dia mendapat pakaian yang indah-indah, mendapat makan dan minum yang serba lezat. Semuanya dalam jumlah yang cukup dan memuaskan.
Semakin hari, Netradua bertambah cantik. Karena itu sang pangeran lalu mencintainya dan akhirnya mempersuntingnya sebagai isterinya. Pesta pernikahan mereka dirayakan dengan meriah sekali.
Ketika Netradua dibawa ke istana oleh sang pangeran, kedua saudara perempuannya menjadi iri hati sekali. Akhirnya mereka menghibur diri, pikir mereka, “Kita toh masih memiliki pohon indah ini. Walau pun tidak dapat memetik buah-buahnya, pohon itu masih dapat memberikan kebahagiaan kepada kita. Banyak orang akan datang kemari untuk melihat dan menikmati keindahan pohon tersebut.”
Tetapi harapan mereka ternyata hampa belaka. Sebab keesokan harinya pohon indah itu hilang lenyap, tidak berbekas. Yang sebenarnya, pada malam hari pohon indah itu hilang dari tempatnya semula, dia muncul di tempat lain.
Ketika Netradua baru satu malam menginap di istana, keesokan paginya dia bangun dan menengok ke luar jendela, dia sangat heran dan bercampur bahagia, karena pohon peraknya telah mengikuti jejaknya ke istana. Di halaman istana, di depan jendela kamarnya, paohon tadi tumbuh dengan suburnya.
Netradua hidup senang dan bahagia di istana sebagai isteri sang pangeran. Pada suatu hari datang dua orang wanita peminta-minta ke istana Netradua. Dengan segera Netradua dapat mengenali mereka sebagai kakak dan adiknya. Tidak lain karena mata mereka yang di dahi itulah.
Sepeninggal Netradua, mereka jatuh miskin, sampai mereka terpaksa pergi meminta-minta dari rumah ke rumah, supaya dapat hidup. Mereka yang biasa berlaku sombong, ternyata harus bertekuk lutut dan hidup dari belas kasihan orang lain.
Netradua yang memang berbudi luhur, menyambut mereka dengan ramah. Netrasatu dan Neratiga dirawat dan dipelihara dnegan baik, sehingga mereka menyesali perbuatan mereka dahulu terhadap Netradua.
No comments:
Post a Comment