Penjahit Dan Tukang Sepatu
Gunung dan jurang tak mungkin bertemu. Tapi manusia selalu saling berjumpa. Dengan yang baik, mau pun dengan yang jahat. Sekali peristiwa seorang penjahit bertemu dengan tukang sepatu. Mereka datang dari arah yang berlawanan. Keduanya sedang mencari pekerjaan. Tukang sepatu membawa peralatan tukang sepatu. Jadi penjahit tahu, orang yang ia hadapi adalah tukang sepatu. Penjahit bertubuh kecil. Sifatnya ramah dan gembira. la suka menyanyi dan bersenandung. Waktu berhadapan dengan tukang sepatu, penjahit menyindir. Sindiran digubah dalam lagu.
Bunyinya, “Jahit baju rapat-rapat, pakai benang kekar kuat, pakulah telapak sepatuku, semirlah hitam sesudah itu.”
Tukang sepatu tersinggung. Mukanya jadi masam, seperti orang baru minum cuka. Sikapnya menantang. Matanya bernyala-nyala. Rasanya seperti ingin menggigit penjahit. Tapi penjahit bahkan tertawa terbahak-bahak.
Gunung dan jurang tak mungkin bertemu. Tapi manusia selalu saling berjumpa. Dengan yang baik, mau pun dengan yang jahat. Sekali peristiwa seorang penjahit bertemu dengan tukang sepatu. Mereka datang dari arah yang berlawanan. Keduanya sedang mencari pekerjaan. Tukang sepatu membawa peralatan tukang sepatu. Jadi penjahit tahu, orang yang ia hadapi adalah tukang sepatu. Penjahit bertubuh kecil. Sifatnya ramah dan gembira. la suka menyanyi dan bersenandung. Waktu berhadapan dengan tukang sepatu, penjahit menyindir. Sindiran digubah dalam lagu.
Bunyinya, “Jahit baju rapat-rapat, pakai benang kekar kuat, pakulah telapak sepatuku, semirlah hitam sesudah itu.”
Tukang sepatu tersinggung. Mukanya jadi masam, seperti orang baru minum cuka. Sikapnya menantang. Matanya bernyala-nyala. Rasanya seperti ingin menggigit penjahit. Tapi penjahit bahkan tertawa terbahak-bahak.
Dengan tenang penjahit mengeluarkan botol minumnya, dan berkata, “Hai bung! Aku tak bermaksud buruk. Minumlah barang seteguk. Redakan marahmu!”
Tukang sepatu minum. Awan gelap di wajahnya lenyap.
Botol dikembalikan sambil menjawab, “Terima kasih. Kau baik hati. Saya merasa mendapat kehormatan. Kau mau ke mana?”
“Cari kerja,” kata penjahit.
“Saya juga. Kalau begitu kita pergi bersama saja. Kau akan mencari pekerjaan di mana?” tanya tukang sepatu.
“Ke kota besar. Kalau bisa, ke ibu kota! Di kota kecil sukar mendapat pekerjaan. Orang desa lebih suka telanjang kaki.”
Maka berangkatlah mereka bersama-sama. Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah kota. Pada siang hari mereka berpisah. Pada petang hari mereka bertemu lagi. Nasib penjahit lebih baik. Sebab ia periang. la mudah mendapat pekerjaan dan kenalan. Pada petang hari sakunya selalu penuh uang. Sebaliknya tukang sepatu. Nasibnya selalu buruk.
Sebab mukanya masam, cemberut. la jarang mendapat pekerjaan. la sering menganggur dan kelaparan.
“Dasar manusia! Yang licik untung, yang jujur buntung!” gerutunya.
Tukang sepatu tak tahu, kalau nasib buruk disebabkan salah sendiri! Untunglah ia punya sahabat penjahit. Penjahit selalu membagi rata rejekinya. Jadi tukang sepatu pada petang hari mendapat makanan.
Penjahit punya sifat yang kurang baik. la menganggap hidup ini mudah. Terhadap uang pun begitu.
“Mudah dicari, mudah dibuang,” katanya.
la tidak suka menabung. la juga tak suka berpikir masak-masak.
“Ada hari, ada rejeki,” pikirnya.
Penjahit dan tukang sepatu tidak tinggal di kota itu. Mereka meneruskan perjalanan. Dan mereka tiba di sebuah hutan lebat.
Di seberang hutan ada kota tempat tinggal raja. Tapi jalan ke kota raja ada dua macam. Yang satu jauhnya tujuh hari perjalanan. Yang satunya lagi dua hari perjalanan. Mereka tidak tahu mana yang tujuh hari, mana yang dua hari perjalanan. Penjahit dan tukang sepatu lalu duduk di bawah pohon. Mereka berunding.
“Kita harus berpikir masak-masak. Semua harus diperhitungkan dengan teliti. Saya akan membawa bekal untuk tujuh hari,” kata tukang sepatu.
“Membawa bekal untuk tujuh hari? Alangkah beratnya! Dan lagi makanan akan jadi basi. Aku tak suka mempersulit diri. Untung-untungan saja. Aku akan membawa bekal untuk dua hari, dan uang. Uang tak dapat basi, ringan dan dapat dipergunakan setiap waktu,” jawab penjahit.
Mereka segera berangkat. Karena tidak tahu mereka memilih jalan yang keliru. Jalan yang tujuh hari perjalanan jauhnya! Tukang sepatu membawa bekal untuk tujuh hari. Penjahit membawa bekal hanya cukup untuk dua hari, dan uang. la tidak berpikir teliti. Di hutan tak ada warung, tak ada orang berjualan! Di hutan sangat sunyi. Tak ada burung berkicau. Tak ada angin menghembus. Tak ada air mendesir. Sinar matahari tak dapat menembus rimbunnya daun-daun.
Wajah tukang sepatu makin cemberut. Sebab ia membawa beban berat. Sebaliknya penjahit berjalan dengan melompat-lompat. Sepanjang jalan menyanyi dan bersiul-siul. Suaranya menggema di hutan yang sunyi.
Pada hari kedua, makanan penjahit sudah habis. Hutan belum berakhir. Dan pada hari ketiga penjahit tak makan sesuatu pun. la merasa lemah dan letih. Suaranya lemah, dan nyanyiannya tidak semerdu semula. Perutnya keroncongan. Jalannya terhuyung-huyung.
“Tuhan murah hati”, pikimya.
“Aku masih dapat berjalan.”
Pada hari keempat penjahit masih dapat berjalan. la berjalan dengan susah payah. Tapi pada hari kelima, ia rebah ke tanah. Tenaganya sudah habis. Pipinya cekung, mulutnya kering, mukanya pucat.
Tukang sepatu makan dengan lahap, sambil mengejek, “Mengapa kau tidak menyanyi lagi? Hilang ke mana hatimu yang riang? Nah, kau tahu rasa sekarang! Hidup tak boleh dipandang enteng. Sekarang kau terpaksa belajar menderita. Seharusnya kau tahu pepatah ini ‘Burung yang berkicau terlalu pagi. lekas diterkam kucing!’
Penjahit tidak menjawab. la sudah tidak dapat berbicara lagi. la hanya memandang kepada tukang sepatu. Tangannya diulurkan kepadanya. la minta makan!
“Saya juga bisa baik hati,” kata tukang sepatu.
“Kau akan saya beri makan. Tapi harus kau beli. Tidak dengan uang, tahu? Makanan ini harus kau beli dengan mata kananmu!”
Penjahit mengangguk.
“Daripada jadi mayat, lebih baik hidup dengan mata satu,” pikirnya.
Penjahit lalu makan. Makanan yang sangat mahal harganya. Sesudah makan, mata kanannya diberikan kepada tukang sepatu, Mereka lalu meianjutkan perjalanan. Dengan segera penjahit lupa akan penderitaannya. la berjalan sambii menyanyi lagi.
“Dengan mata sebelah pun aku masih dapat menikmati hidup,” pikirnya.
Pada hari keenam penjahit rebah lagi. Keadaannya lebih parah. Karena kelaparan, ia merasa ajal sudah dekat.
la menyesal dan berdoa, “0 Tuhan, ampunilah hambamu ini. Hamba yang selalu menganggap hidup ini mudah.”
Penjahit minta makan lagi pada tukang sepatu.
“Kau kuberi makan. Tapi mata kirimu harus kau berikan kepadaku!”
“Daripada jadi mayat, lebih baik hidup tanpa mata,” pikir penjahit.
la lalu makan.
Sesudah makan, ia berkata, “Dulu kau sering kelaparan. Kalau kelaparan, kau selalu kuberi makan. Dengan cuma-cuma! Namun sekarang kau minta bayaran yang sangat mahal. Aku tukang jahit. Kalau aku buta, bagaimana aku dapat menjahit?”
“Kau bisa mengemis!” jawab tukang sepatu.
“Sekarang berikan mata kirimu! Jangan banyak mulut!”
Penjahit terpaksa memberikan mata kirinya. Sekarang ia buta.
la menangis dan berkata, “Aku buta. Aku jangan kautinggalkan sendirian di hutan ini. Tanpa kau, aku akan mati kelaparan.”
“Mengapa kau tidak menyanyi saja? Tidakkah saya murah hati? Tanpa aku, kau sudah mati! Busuk di hutan jadi makanan belatung!”
Tukang sepatu memang kejam. la tidak punya rasa perikemanusiaan. Dalam hati ia gembira, karena penjahit jadi buta. Mereka melanjutkan perjalanan. Tukang sepatu mencari tongkat. Tongkat diberikan kepada penjahit. Penjahit dituntun meretas hutan.
Pada hari ketujuh mereka tiba di luar hutan. Mereka tiba di suatu padang rumput. Di situ ada tiang penggantungan. Penjahit ditinggal di situ. Tukang sepatu melanjutkan perjalanan ke kota raja. Penjahit merasa lelah sekali la jatuh tertidur hingga pagi berikutnya. Waktu bangun, penjahit tak tahu ada di mana. la mendengar suara yang sedang bercakap-cakap.
Suara pertama berkata, “Kakak, sudah bangunkah kakak?”
“Sudah, ada apa?” jawab suara kedua.
“Lihat ke bawah. Banyak embun di atas rumput. Embun ini berkhasiat besar. Obat sakit buta yang paling mujarab. Bila embun digosokkan pada mata yang buta, mata dapat melihat lagi! Sayang, manusia tak tahu akan hal ini.”
Mendengar suara tersebut, penjahit segera mengambil saputangan. Saputangan dibasahi dengan embun rumput. Kemudian digosokkan pada matanya. Lambat laun matanya sembuh. la mulai dapat melihat dengan samar-samar. Lama kelamaan makin jelas. Akhirnya sembuh sama sekali!
Penjahit melihat tiang penggantungan. Pada tiang tergantung mayat dua orang penjahat. Di atas kepala mereka bertengger dua ekor burung gagak. Burung gagak itulah yang bercakap-cakap.
“Mukjijat besar!” teriak penjahit.
“Terima kasih, burung gagak!”
Suara penjahit terlalu keras. Burung gagak terkejut.
Mereka terbang pergi, sambil berbunyi, “Kaaak, kaaaak, kaaaak.”
Penjahit segera bekerja. Mayat penjahat diturunkan. Mereka dibaringkan di tanah. Lalu dikubur di lekukan tanah. Tubuhnya ditimbuni daun-daun.
Kemudian ia berlutut dan berdoa, “Tuhan, hamba mengucapkan beribu-ribu terima kasih. Mata hamba sudah sembuh. Ampunilah dosa penjahat ini. Berilah mereka hidup kekal di sorga.”
Penjahit bangkit, dan melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan menari-nari dan menyanyi. Kadang-kadang melompat-lompat kegirangan. Rasa lapar dan letih tak terasa sama sekali. Tapi hal ini tak berlangsung lama. Kegirangan segera mereda. Rasa lapar, haus, dan letih menyerang kembali.
Di tengah jalan penjahit melihat anak kuda. Anak kuda sedang melompat-lompat riang. Dengan cepat anak kuda ditangkap.
“Aku lelah sekali. Kau harus jadi kuda tunggang. Antarkan aku ke kota, naik punggungmu!” kata penjahit.
“Ampun, pak!” jawab anak kuda, sambil menangis.
“Aku masih kecil. Aku belum kuat. Bapak terlalu berat. Lepaskan aku. Kelak jika aku sudah besar, bapak boleh naik ke atas punggungku!”
Penjahit merasa kasihan. Anak kuda dilepaskan. Bukan main gembiranya! la segera meiompat-lompat di atas rumput. Dan penjahit melanjutkan perjalanannya. Sekarang ia melalui rawa. Rasa lapar tak mau hilang. Apa yang harus dimakan? Tiba-tiba ia melihat seekor burung bangau. Penjahit mengendap-endap mendekatinya. Lagaknya seperti kucing akan menerkam tikus. Sungguh seperti kucing dia! Dengan tangkas kaki burung bangau ditangkapnya.
“Ini dia! Makanan lezat!” teriaknya.
“Aku sangat lapar. Kau akan kumakan. Kau akan kuanggap ayam panggang. Hai, diam, jangan meronta-ronta!”
“Ampun, pak. Minta beribu-ribu ampun,” kata burung bangau sambil menangis.
“Aku tak enak dimakan. Dagingku amis. Aku burung keramat. Aku tak pernah berbuat jahat kepada manusia. Lepaskan aku. Mungkin kelak ada gunanya. Mungkin aku dapat berjasa kepada bapak!”
Burung bangau dilepaskan. la segera membubung tinggi ke langit. Penjahit berjalan terus. Rasa lapar makin menjadi-jadi. Tak lama kemudian ia sampai di sebuah kubangan besar. Seekor anak itik sedang asyik berenang. Penjahit berlagak seperti seekor harimau kelaparan. Anak itik diterkamnya.
“Nah, tertangkap kau! Dagingmu pasti sangat lezat. Aku malaikat maut akan segera mencabut nyawamu!” ancam penjahit.
la baru akan mencekik leher anak itik.
Tiba-tiba ada itik besar keluar dari antara rumpun gelagah, dan berseru, “Jangan! Jangan dibunuh anakku. Masih kecil! Aku induknya. Bagaimana perasaan ibumu, kalau ia melihat kau akan dibunuh orang? Lepaskan anakku!”
“Sudah, sudah, jangan banyak kuliah!” jawab penjahit.
“Anakmu kulepaskan, dan jangan cemas lagi. Hiduplah dengan tenang!”
Anak itik dilepaskan. Tak lama kemudian penjahit sampai pada sebuah batang pohon. Batang pohon berlubang. Dari dalam lubang keluar berpuluh-puluh lebah madu. Air liur penjahit menetes. Berkali-kali ia menelan ludah.
“Nah, ini dia makanan dewa-dewa. Madu lezat pantas disantap. Hadiah cuma-cuma dari langit,” kata penjahit.
Tangannya akan dimasukkan ke dalam lubang.
Tapi segera terdengar suara, “Awas, jangan mencuri maduku. Aku ratu lebah. Kalau kau merampas maduku, rakyatku akan mengamuk. Kau akan ditusuk dengan ribuan sengat. Tubuhmu akan menggembung bengkak-bengkak.”
“Aku kelaparan!” kata penjahit.
“Cari makanan lain. Jangan mengganggu maduku. Siapa tahu, kelak rakyatku berguna bagimu!” jawab ratu lebah.
Penjahit berjalan terus. Perut terasa pedih. Kakinya diseret-seret. la sudah loyo. Jalannya mulai terhuyung-huyung. Lapar, letih, pusing dan kehabisan tenaga. Untunglah tak lama kemudian ia sampai di sebuah kedai. la menepuk-nepuk sakunya. Uangnya masih utuh. Sekarang ia dapat berpesta pora sepuas-puasnya.
Di warung ia memesan sate, dan kopi susu. la makan dan minum sekenyang-kenyangnya. Tenaganya pulih kembali. la mulai menyanyi lagi, dan bergegas ke kota. Kota kerajaan tempat istana raja.
Di kota ia segera mendapat pekerjaan dan tempat tinggal. la membuka perusahaan jahit menjahit. Pe-kerjaannya rapi, cepat, dan bagus. Makin lama langganannya makin banyak. Namanya makin terkenal Bahkan para pejabat tinggi menjahitkan pakaian padanya. Akhirnya penjahit diangkat jadi penjahit istana!
Di istana ia bertemu dengan tukang sepatu. Ternyata tukang sepatu telah jadi pegawai istana juga. Penjahit gembira sekali bertemu dengan kawan lama. Tapi tukang sepatu merasa sebaliknya. la merasa risau dan gelisah. la bersalah, sebab itu ia merasa takut. la bersalah, telah mengambil mata penjahit.
“Sebelum saya dibalas, lebih baik dia kufitnah!” kata tukang sepatu.
la mengira, penjahit akan membalas dendam. la heran, penjahit punya mata lagi. la ingin mencelakakan penjahit. Sebab itu tukang sepatu menghadap raja.
Katanya, “Baginda, penjahit itu orang sombong. la besar mulut. la berkata, dapat menemukan kembali mahkota baginda. Mahkota yang sudah lama hilang itu!”
Raja percaya saja pada kata tukang sepatu. Penjahit segera dipanggil.
Raja marah dan berkata, “Beberapa tahun yang lalu, aku kehilangan mahkota. Mahkota itu harus kaucari. Harus kaucari hingga ketemu. Jangan menginjak kotaku, tanpa membawa mahkota!”
Penjahit berangkat. Sungguh sedih hatinya.
Dalam hati ia berkata, “Sungguh celaka nasibku. Tak mungkin mahkota ketemu. Lebih baik aku tak kembali ke kota raja. Biarlah aku kehilangan pekerjaan dan kedudukan.”
Penjahit berjalan tak menentu. la tak dapat menyanyi. Sebab kepalanya penuh bermacam-macam pikiran. Di mana mahkota harus dicari? Kerajaan seluas itu harus dijelajahi? Tak mungkin! Tanpa disadari, penjahit sampai di kubangan besar. la bertemu dengan induk itik.
“Mengapa wajahmu sesedih itu?” tanya induk itik.
“Aku disuruh raja mencari mahkota. Kalau tidak dapat, aku tak boleh menginjak kota. Aku kehilangan pekerjaan dan kedudukan!” jawab penjahit dengan sedih.
“Hanya itu yang kau sedihkan? Jangan mudah putus asa! Saya dapat menolongmu. Mahkota raja ada di dasar kolam ini!”
Induk itik, dengan dibantu anak-anaknya, menyelam. Tak lama kemudian timbul kembali. Mereka mendukung mahkota. Mahkota ada di punggung induk itik. Anak-anaknya memeganginya. Mahkota lalu diberikan kepada penjahit. Mahkota dibungkus saputangan. Penjahit kagum bukan buatan. la belum pernah melihat mahkota seindah itu. Kerangkanya emas. Hiasannya batu permata berwarna beraneka-ragam.
Penjahit lalu kembali ke istana. Mahkota diserahkan raja. Raja sangat gembira dan berterima kasih. Penjahit diberi hadiah kalung berbintang emas. Tapi yang paling menggembirakan, penjahit boleh bekerja lagi di istana. Alangkah kecewanya tukang sepatu! Niat jahatnya gagal. la harus mencari akal. Berhari-hari ia ber-pikir keras. Akhirnya mendapatkan yang ia cari.
Tukang sepatu menghadap raja, dan berkata, “Baginda, penjahit sekarang makin congkak. Katanya, ia dapat membuat istana mini. Bahannya lilin. Istana mini itu penuh dengan segala peralatannya. Bahkan ia berkata, dapat menyelesaikannya dalam waktu sehari semalam!”
Raja tak curiga akan laporan bohong tukang sepatu.
Penjahit segera dipanggil dan diberi perintah, “Penjahit, kau harus membuat istana mini, lengkap dengan seluruh isinya. Istana mini harus terbuat dari lilin. Dalam waktu sehari semalam harus selesai. Kalau tidak berhasil, kau kupenjarakan di kamar bawah tanah!”
Penjahit hanya menjawab, “Ya, baginda.”
Lalu berangkat. la berjalan sepembawa kakinya. Pada sangkanya, perintah semacam itu tak dapat dilaksanakan. Raja bertindak semaunya sendiri, pikirnya. Penjahit berusaha melarikan diri. la berjalan tak menentu. Waktu lelah ia beristirahat di bawah pohon. Pohon itu berlubang. Tiba-tiba penjahit terkejut.
la mendengar suara memanggil, “Hai penjahit! Mengapa kau duduk termenung. Mengapa wajahmu cemberut? Hai bangun, saya ratu lebah!”
“Kau suka mengejek! Aku sedang menderita. Menderita batin. Raja menyuruh aku membuat istana mini. Istana mini lengkap dengan isinya. Harus terbuat dari lilin. Harus selesai dalam waktu sehari semalam. Kalau tidak, aku akan dipenjara di kamar bawah tanah! Rasanya, aku lebih baik melarikan diri saja!”
“Sudah, jangan cemberut. Lebih baik kau sekarang pulang saja ke istana. Besok pagi kembalilah ke sini lagi. Pasti beres. Percayalah kepada saya!”
Penjahit berjalan pulang ke istana. Sementara itu, ratu lebah beserta ribuan rakyatnya terbang ke istana raja. Mereka masuk ke dalam istana. Bentuk istana diperiksa dengan teliti. Semua benda diukur dengan cermat. Segala sudut dan tempat diselidiki. Penghuni istana heran, mengapa banyak lebah di dalam istana. Tak lama kemudian lebah-lebah itu kembali ke pohon berlubang. Mereka segera membuat istana mini.
Pagi berikutnya penjahit datang ke pohon berlubang. Istana mini dari lilin sudah jadi. Ratu lebah menyerahkan istana mini kepada penjahit. Dan penjahit membawanya ke istana. Istana mini diserahkan kepada raja. Bukan main kagum raja!, Istana lilin tepat seperti istana raja. Area, hiasan, tiang-tiang, bahkan paku-paku, tepat seperti istana aslinya! Sebagai hadiah, penjahit diberi rumah megah.
Hati tukang sepatu makin panas. Rasa dengki dan bencinya makin berkobar. Rencana jahatnya gagal lagi. Giginya digertak-gertakkan. Kakinya dihentak-hentakkan. Meja dipukulnya dengan keras. la merasa geram dan jengkel. Tapi beberapa hari kemudian ia mendapat akal untuk memfitnah lagi.
“Baginda,” kata tukang sepatu.
“Penjahit makin angkuh. Katanya, ia dapat membuat air mancur di pusat alun-alun. Air tersebut dapat menyemprot ke atas tinggi sekali. Airnya sejernih kristal!”
Raja segera memanggil penjahit. Penjahit datang menghadap.
Kata raja, “Hai penjahit! Kau harus membuat air mancur di pusat alun-alun! Air harus menyemprot setinggi-tingginya. Airnya harus jernih seperti kristal. Ayo, lekas kerjakan!”
Kepala penjahit mendadak menjadi pusing.
la menjawab, “Ya.”
Dan meninggalkan istana. la merasa sedih, bingung, putus asa dan jengkel. Mengapa ia selalu diberi tugas yang aneh-aneh? Bukankah ia penjahit, dan bukan seorang insinyur!? Dalam keadaan begini, penjahit selalu berjalan-jalan.
la mengembara sambil berdoa, “Tuhan, tolonglah hamba. LepaskanLah hamba dari kesulitan ini.”
Pada saat ini penjahit tiba di padang rumput. la berjumpa dengan anak kuda. Tapi anak kuda sudah besar.
Anak kuda menyapa lebih dulu, “Halo, bapak penjahit! Apa kabar? Mengapa berjalan dengan lesu? Habis kalah lotre?”
“Kuda celaka kau! Aku dalam kesulitan. Raja menyuruh aku membuat air mancur. Air mancur di pusat alun-alun. Kalau aku tidak bisa, kepalaku mungkin dipancung!” jawab penjahit.
“Bapak orang baik hati. Dulu saya dilepaskan. Saya sekarang ingin membalas budi. Silahkan bapak naik ke atas punggungku. Mari kubuatkan airmancur!”
Penjahit naik ke atas punggung kuda. Mereka berdua segera menuju alun-alun. Setiba di alun-alun, kuda lari mengelilinginya. Tiga kali kuda mengelilingi alun-alun. Kemudian kuda roboh tersungkur ke tanah. Kuda hilang dari pandangan. Kemudian terdengar ledakan hebat. Suaranya menggelegar menggetarkan kota. Sebungkah tanah terlempar ke angkasa. Pusat alun-alun terbuka. Air mancur menyembur ke langit. Airnya jernih seperti kristal. Butir-butir air yang berjatuhan gemerlapan seperti mutiara. Karena ada sinar matahari, pelangi indah tampak di ujung semburan air.
Raja tercengang-cengang melihat kejadian terse-but. la sangat terharu. Penjahit dipeluknya di depan mata rakyat. Hati penjahit gembira bukan buatan.
Tapi kegembiraannya tak berlangsung lama. Sebab selama tukang sepatu hidup, rupanya akan selalu ada gangguan.
Raja mempunyai beberapa orang puteri. Yang satu lebih molek daripada lainnya. Tapi raja tak mempunyai seorang putera. Hal ini oleh tukang sepatu dijadikan alat pemfitnah. la ingin mencelakakan penjahit.
Sebab itu ia menghadap raja dan berkata, “Baginda, penjahit sekarang sangat angkuh. Lebih angkuh dari dulu. Mulutnya semakin besar. Katanya, ia dapat mempersembahkan seorang putera kepada baginda. Bahkan, ia menyombongkan diri, dapat mengerjakannya dalam sembilan hari!”
Mendengar hal ini, raja gembira sekali. Sudah lama ia menginginkan seorang putera. Penjahit dipanggil.
Katanya, “Penjahit, aku membutuhkan seorang putera. Aku tidak mempunyai anak laki-laki. Jika aku mati, harus ada pengganti. Kau kuberi waktu sembilan hari. Hadiahnya seorang puteri. Kau kuangkat jadi menantuku. Kau akan kunikahkan dengan puteri sulungku!”
Seperti yang sudah-sudah, penjahit hanya menjawab, “Ya.”
Tapi hatinya hancur luluh. Badannya terasa lemahlunglai.
“Aku tukang jahit, mengapa diberi tugas yang aneh-aneh?” pikirnya.
Kali ini ia benar-benar putus asa. la ingin meninggalkan istana. Hidup di istana tidak tenteram. Sebab itu ia berkemas-kemas. Pada hari itu ia berangkat. la bermaksud pindah ke kota lain.
la berjalan sendiri sambil termenung. Tak sadar ke mana kaki membawanya. Lama-kelamaan ia tiba di rawa. la duduk di atas gundukan tanah, di antara rumpun gelagah. Air matanya menetes berderai-derai. Tentu saja ia tidak sedang menyanyi.
“Bapak penjahit, bapak kena apa?” tanya burung bangau keramat.
“Mengapa mata bapak berkeringat? Baru sekali ini saya melihat mata keluar keringat!”
Penjahit terkejut. la tidak tahu harus marah atau tertawa?
la lalu memaki, “Kurang ajar! Apa kau tak tahu perasaanku? Raja menyuruh aku mencari seorang putera. Pengganti raja kalau raja meninggal. Aku hanya diberi waktu sembilan hari. Di mana aku harus mencari bayi? Aku tukang jahit, bukan pencuri bayi!”
“Ah, bapak mudah kehilangan akal. Saya bangau keramat. Tugas saya mengirimkan bayi. Bapak lebih baik mencari pondokan di luar istana. Pada hari kesembilan, bayi akan saya antarkan ke istana.”
Penjahit patuh pada perintah bangau keramat. la tinggal di sebuah pondok di luar istana. Tiap hari menghitung waktu. Pada hari kesembilan, ia menghadap raja. Hari masih pagi. Raja dan permaisuri duduk di ruang istana. Penjahit segera menghadap raja.
“Mana puteraku? Ini hari yang kesembilan. Mengapa kau datang ke sini dengan tangan hampa?”
Sebelum penjahit sempat menjawab, kaca jendela dipatuk burung bangau. Penjahit segera membuka jendela. Burung bangau melayang masuk ruang. Lalu berjalan di atas lantai. Langkahnya agung dan megah. Pada paruh tergantung selendang. Pada selendang terayun-ayun bayi. Bayi kecil mungil baru lahir. Sangat rupawan parasnya. Bayi laki-laki yang mempesonakan. Bayi diletakkan di pangkuan permaisuri.
Raja dan permaisuri sangat tercengang. Bayi dibelai-belai dan diciumi. Kecuali membawa bayi, bangau membawa kado. Kado dibagi-bagikan kepada puteri-puteri raja. Tapi puteri sulung tidak mendapat bagian. Kado bagi puteri sulung adalah si penjahit itu sendiri!
Sebelum terbang pergi, bangau keramat berkata, “Baginda, tukang sepatu sangat benci kepada penjahit. Dialah yang memfitnah penjahit. la berusaha mencelakakan penjahit. la harus mendapat hukuman yang setimpal!”
Pesta perkawinan segera dilangsungkan. Penjahit jadi menantu raja. Puteri sulung jadi isteri penjahit. Tukang sepatu diusir raja, la mengembara hingga ke hutan. la tiba di tempat tiang penggantungan. Waktu ia tertidur di situ, kedua belah matanya dipatuk burung gagak. Matanya jadi buta. la meraung-raung lari masuk hutan. Sejak itu tak ada kabar tentang tukang sepatu.
Penjahit sekarang hidup bahagia. la dapat hidup tenang dan tenteram. la selalu riang dan menyanyi.
Kalau ditanya, mengapa demikian bahagia. penjahit selalu menjawab, “Karena aku menyerahkan nasibku kepada Tuhan.”
No comments:
Post a Comment