Tuesday, December 31, 2013

Pelanduk Mengalahkan Naga Yang Rakus



Pelanduk Mengalahkan Naga Yang Rakus


Pada suatu hari, ketika burung-burung sedang memancing ikan, burung Raja Udang berkata, “Lihat awan yang begitu rendah dan tebal itu. Sebentar lagi tentu ada badai. Lebih baik kukumpulkan saja ikan-ikan ini bersama-sama.”

Burung-burung lainnya setuju, lalu mengumpulkan ikan-ikan mereka pada suatu tempat.

Tapi sewaktu mereka pergi, muncullah Naga Besar. Matanya bercahaya dan pada mulutnya mencuat dua buah taring yang besar.

“Inilah santapanku,” kata Naga ketika melihat setumpuk ikan.


Dengan rakus Naga memakan ikan-ikan itu. Kerbau melihat kejadian itu, lalu bercerita kepada burung-burung.

“Tapi jangan khawatir, aku akan menjaga ikan-ikanmu selama kalian pergi,” kata Kerbau.

Kemudian burung-burung mengumpulkan ikan lagi. Sebentar kemudian, Naga Besar datang lagi.

“Ha! Ha! Kau kira kau bisa menghalangi aku?” kata Naga sambil tertawa.

Sebelum kerbau sempat menanduk, Naga Besar sudah memegang tanduknya dengan satu tangan. Sedang tangan yang satunya lagi memasukkan ikan ke dalam mulutnya.

Setelah selesai makan, Naga Besar melemparkan kerbau itu ke udara dan dibiarkan jatuh ke tanah lagi.

“Nah!” katanya.

“Itulah pelajaran untukmu, supaya kau tidak mencoba menghalangi Naga Besar lagi.”

“Apa gunanya memancing, kalau semua ikan hanya menjadi makanan Naga Besar?” kata burung Elang ketika melihat burung-burung pulang dari memancing.

“Jangan putus asa,” sahut Kerbau dengan marah.

“Akan kupanggilkan kawanku Gajah supaya menjaga ikan-ikanmu. la dapat menghukum Naga keparat itu.”

Tetapi Gajah menolak. “Aku benci pada Naga. Ia kotor, makhluk busuk.”

Lalu Kerbau minta tolong Badak. Badak mau.

“Jangan khawatir, akan kuhalau Naga itu dengan dua kali seruduk saja,” katanya dengan congkak.


Tapi ketika Naga Besar datang, ia langsung memegang tanduk Badak dengan satu tangan. Tangan yang satunya lagi memasukkan ikan-ikan itu ke dalam mulutnya. “Enak sekali. Sekarang kau akan kuajar supaya tidak mengganggu aku makan,” kata Naga sambil melemparkan Badak itu ke udara.

Ketika burung-burung pulang, Burung Raja Udang berkata, “Aku tak mau lagi menyimpan ikan.”

Burung-burung lainnya setuju.

Waktu itu lewatlah seekor Pelanduk. Pelanduk juga mendengar percakapan burung-burung itu.

“Coba kumpulkan ikan sekali lagi, aku akan menjaga ikan-ikanmu,” kata Pelanduk berjanji.

Burung-burung hanya menertawakannya, “Sombong!” kata mereka.

“Binatang sekecil engkau berani melawan Naga? Sudah dua ekor bina­tang hutan ini yang besar dan gagah dikalahkan! Apalagi kau!”

“Lihat saja nanti,” kata Pelanduk.

Karena pandainya Pelanduk membujuk, maka burung-bu­rung mau mengumpulkan ikan sekali lagi.

Setelah mengumpulkan setumpuk ikan, burung-burung menyerahkannya kepada Pelanduk supaya dijaga. Mula-mula Pelanduk menutupi ikan-ikan itu dengan lumut laut. Kemudian Pelanduk mencari dua gulung tali rotan yang panjang, lalu menunggu di situ.

Sebentar kemudian, terdengar suara yang menakutkan dan muncullah Naga Besar. “Hai bina­tang kecil. Kau kira kau dapat menghalangi aku? Ayo tunjukkan di mana ikan itu!” kata Naga dengan tidak sabar.

Pelanduk pura-pura mencari di sekelilingnya.

Lalu ia bertanya dengan heran, “Ikan apa? Jangan ganggu aku. Nyawaku hanya tergantung dari pekerjaan ini.”

Ia pun melilitkan tali rotan itu ke kakinya.

“Pekerjaan apa?” tanya Naga dengan perasaan ingin tahu.

“Apa kamu belum tahu kalau langit akan runtuh dan membinasakan kita semua?” tanya Pelanduk keheranan.

“Lihatlah sendiri, betapa rendahnya langit itu. Aku bersiap-siap untuk menyelamatkan diri.”

Naga Besar memandang ke langit. “Ya, kelihatannya rendah sekali. Rasanya memang langit sudah akan runtuh,” kata Naga dengan cemas.

“Ajarilah aku bagaimana caranya menyelamatkan diri,” kata Naga tidak sabar.

Tetapi Pelanduk pura-pura tidak mendengar. la terus melilit-lilitkan tali di kakinya.

Tulikah kau?” teriak Naga.

“Jawab pertanyaanku. Kalau tidak, kubunuh kau!”

“Dasar Naga bodoh,” jawab Pelanduk.

“Kalau aku kau bunuh, bagaimana kau akan menyelamatkan diri?”

Naga itu sadar, ia pun tenang. Tetapi tiap kali memandang ke langit, hatinya bertambah gelisah.

“Cepatlah,” Naga itu merengek dengan suara yang memelas.

“Terangkan bagaimana caranya menyelamatkan diri.”

“Di sana ada sebuah sumur yang dalam. Aku akan terjun ke dalamnya, sehingga kalau langit runtuh, aku tidak akan kejatuhan. Pertama kali, kakiku harus kuikat dengan tali rotan yang berguna ini,” kata Pelanduk menjelaskan.

“Apa gunanya tali rotan itu?” tanya Naga Besar.

“Karena sumur itu sangat dalam, kalau aku terjun bebas pasti mati. Oleh karena itu, kuikat kakiku dengan tali rotan yang berguna ini. Tali rotan ini akan menjadi sayap, kalau aku terjun ke sumur nanti,” kata Pelanduk.

“Sekarang, aku jangan kau ganggu.”

“Tolong, ikat juga kakiku dengan tali rotan yang berguna itu,” perintah Naga.

“Tali rotan ini akan kupakai sendiri,” jawab Pelanduk.

“Laksanakan perintahku! Kalau tidak, …. kucungkil matamu!” bentak Naga Besar itu.

Pelanduk pura-pura tidak mau melepas tali rotan yang melilit kakinya.

“Pergilah sendiri ke sumur itu. Badanmu besar dan kuat, jadi kau tidak perlu sayap lagi. Tetapi aku memerlukannya.”

Naga Besar pergi ke sumur.

“Aku juga memerlukan sayap. Cepat, ikatlah kakiku,” perintah Na­ga.

Keduanya mendekati sumur, Akhirnya Pelan­duk mau mengikat kaki Naga dengan tali rotan itu.

Setelah selesai, Pelanduk berkata, “Badanmu sangat besar. Aku takut kalau kau tidak dapat terbang, karena sayapmu hanya sepasang. Sebaiknya kau memakai dua pasang sayap.”

“Kalau memang harus dua pasang, aku pun mau,” kata Naga tidak sabar.

“Baiklah. Kau pantas mendapat sepasang sayap lagi di tanganmu, seperti sayap yang ada di kakimu.” Pelanduk menjelaskan.

“Tapi sayang, tali yang tersisa ini akan kupakai sendiri.”

Naga itu menyeringai, menunjukkan giginya yang tajam kepada Pelanduk.

“Kalau kau tidak mau mengikat tanganku dengan tali rotan itu, kau akan kukoyak-koyak.”

“Tetapi aku akan kejatuhan langit kalau tetap duduk di sini. Oh Naga yang berbudi dan baik hati, jangan bunuh aku,” Pelanduk merayu.

“Tak usah banyak ngomong, ikatlah tanganku!” kata Naga tanpa mempedulikan kata-kata Pelanduk.

Pelanduk pun cepat-cepat mengikat tangan Naga.

Naga adalah binatang yang besar dan kuat, tetapi sangat bodoh. Sekarang ia sadar kalau tidak berdaya lagi.

“Mengapa ikatanmu kuat sekali?” katanya dengan cemas.

“Supaya aku dapat mencampakkan kau ke dalam sumur,” teriak Pelanduk kegirangan. Lalu Pelanduk mendorong Naga Besar itu hingga masuk ke dalam sumur.

Waktu burung-burung pulang, mereka mendapati ikan-ikan mereka dalam keadaan utuh.

“Dimanakah Naga itu? Apakah ia tidak datang kemari?” mereka bertanya kepada Pelanduk.

“Tadi memang Naga itu datang ke sini. Tapi, dia sudah kucampakkan ke dalam sumur, karena dia selalu mengacau,” Pelanduk menjelaskan.

Semua burung tertawa mendengarnya.

“Kalau kalian tidak percaya, mari kutunjukkan,” kata Pelanduk.

Mereka pergi ke sumur. Dari dalam sumur, mereka mendengar suara Naga yang mengerikan.

Burung-burung kagum.

“Bagaimana mungkin. Kau sangat kecil sedang Naga besar sekali. Kami hampir-hampir tidak percaya!” kata mereka.

“Kalian akan senang, bila tahu caranya,” jawab Pelanduk dengan bangga.

Sejak saat itu kalau burung-burung mengalami kesulitan, mereka minta tolong pada Pelanduk.

Mereka berkata, “Pelanduk adalah binatang yang paling cerdik dan paling bijaksana di dunia ini.”

Pelanduk Mengalahkan Raja Buaya



Pelanduk Mengalahkan Raja Buaya 





Pelanduk melompat-lompat di tebing sungai sambil membuat suara gaduh sekali. la sedang memperhatikan lumpur di pantai yang menandakan air akan surut.

“Mengapa kau terlalu gembira?” tegur Raja Buaya yang sedang berendam dan dengan pandainya menyembunyikan tubuhnya dalam lumpur. Hanya mata dan moncongnya saja yang kelihatan.

“Apakah kau tidak takut kepadaku lagi?”

“Sahabatku, Buaya,” kata Pelanduk dengan riang.

“Apa yang hendak kutakutkan? Walaupun kau besar dan gagah, kau seperti katak di bawah tempurung jika dibandingkan dengan rakyatku yang sebanyak pasir di pantai.”

Raja Buaya keluar dari kubangnya.

“Apa katamu?” katanya dengan garang.

“Rakyatmu hanya sebanyak ayam yang mencari makan di kaki harimau!”

“Janganlah marah,” bujuk Pelanduk.

“Mari kita adakan pertandingan untuk menyelesaikan perkara ini. Sehingga semua orang akan tahu siapa kuat dan siapa yang lemah.”

“Itu usul yang baik,” jawab Raja Buaya menyetujui.

la gembira sekali membayangkan hidangan yang mungkin dinikmatinya.

“Besok aku akan datang dengan rakyatku untuk bertanding dengan rakyatmu.”

Raja Buaya pun pergi mengumpulkan rakyatnya untuk pertandingan itu. Tetapi Pelanduk lari ke sana ke mari di tebing sungai tidak henti-hentinya hingga matahari terbenam. Pada waktu subuh ia mulai lari ke sana ke mari di tebing itu lagi.

Ketika matahari tinggi di atas kepala, Raja Buaya pun datang dengan seluruh rakyatnya. Sejauh mata memandang hanya tampak buaya yang berjajar di sepanjang sungai.

“Kenapa kau sangat lambat, Buaya?” tanya Pelanduk dari tebing sungai.

“Apakah pahlawanmu berjalan pelan-pelan karena takut? Rakyatku datang pagi-pagi sekali untuk menunggu rakyatmu supaya mereka dapat mengoyak-ngoyak rakyat­mu, lalu menimbunnya di atas kotoran.”

“Karena sudah lama menunggu dan rakyatmu belum datang juga, mereka berkata kepadaku.

“Mungkin mereka bersembunyi karena takut! lalu rakyatku pulang ke rumahnya masing-masing.”

“Akan kurobek lidahmu yang lancang dan pembohong itu,” teriak Buaya karena terlalu marah.

“Rakyatmu takut kepada rakyatku, seperti ayam yang takut kepada elang, oleh karena itu, mereka tidak datang!”

“Sabarlah Buaya, jangan cepat marah,” Pelanduk membujuk.

“Lihatlah tebing ini. Banyak sekali tapak kaki mereka, bukan? Apakah rakyatku tidak sebanyak pasir di pantai?”

Raja Buaya naik ke tebing yang berlumpur itu. la melihat banyak sekali tapak kaki kancil di tebing itu. Keberaniannya surut seperti air di dalam tempayan yang berlubang.

“Rakyatmu memang datang ke sini,” Raja Buaya mengakui dengan suara lemah. “Kami tidak akan mengganggu mereka lagi.”

“Aku belum puas, Buaya,” kata Pelanduk tidak setuju.

“Sebaiknya perkara ini diselesaikan dengan suatu pertandingan. Setujukah kau kalau kita adakan pertandingan tarik tambang, satu lawan satu?”

Raja Buaya gembira sekali mendapat kesempatan untuk membalas kekalahannya dengan mudah.

“Kau memang binatang yang bijaksana,” katanya.

Pertandingan akan dimulai.

“Tunggu sebentar,” kata Pelanduk.

“Aku akan mencari tali rotan yang kuat, supaya tidak putus kalau ditarik.”

Pelanduk pergi mencari Raja Beruk, sahabatnya.

Setelah bertemu, Pelanduk berkata, “Semua orang sudah tahu kalau rakyatmu bermusuhan dengan Raja Buaya beserta seluruh rakyatnya. Tolonglah aku, supaya aku dapat memalukannya.”

Mendengar kata-kata itu, Raja Beruk senang sekali. Lalu ia mendengarkan rencana Pelanduk dengan perasaan gembira.

Pelanduk kembali ke sungai dengan membawa tali rotan yang panjang.

“Sahabatku,” serunya.

Aku membawa tali rotan yang kuat sekali, seperti urat gajah. Peganglah ujung tali rotan ini, sedang aku memegang ujung yang satunya. Tetapi aku harus berdiri jauh dari sini, supaya aku tidak terpeleset lumpur di atas tebing ini.”

Mereka membuat persetujuan. Seandainya Raja Buaya berhasil menarik Pelanduk masuk ke dalam sungai, Raja Buaya yang menang.

“Dengan ditarik sekali saja, kau akan terjerumus,” kata Raja Buaya dengan congkak. “Tapi jangan khawatir. Aku akan menyuruh rakyatku supaya menolongmu, sehingga kau tidak akan cedera.”

“Kalau hanya berkata memang mudah,” Pelanduk mengejek.

“Ingat, harimau yang mengaum selalu kehilangan mangsanya.”

Pertandingan dimulai.

Pelanduk berada di tanah kering, sementara Raja Buaya siap menarik talinya.

Ketika Pelanduk berteriak, “Tarik!”

Raja Buaya menarik tali rotan itu dengan sekuat tenaganya. Raja Buaya mengira dengan ditarik sekali saja, Pelanduk akan terjerumus ke dalam sungai. la terkejut sekali sewaktu talinya menjadi tegang.

Pertandingan tarik tambang itu terus berlangsung, sementara Pelanduk terus berteriak, “Tarik! Sahabatku Buaya. Tarik! Tarik! Kau itu tidur atau sudah letih?”

“Binatang jahanam itu tenaganya seperti kerbau,” Raja Buaya mengeluh sambil menarik tali rotan itu dengan sekuat-kuatnya.

Akhirnya Raja Buaya tidak kuat lagi menarik tali rotan itu. Napasnya sesak dan tenaganya hilang.

Pelanduk kembali ke tebing. “Mengapa tidak di­tarik?” tanyanya dengan suara terkejut.

Raja Buaya terengah-engah.

“Apakah kau mau istirahat dulu sebelum per­tandingan kita teruskan?” tanya Pelanduk.

Raja Buaya tetap membisu.

“Mengapa kau diam saja? Apakah kau sudah tuli?” Pelanduk bertanya dengan tidak sabar.

“Atau kau menyerah dan mengakui kalau rakyatku yang lebih banyak dan lebih kuat? Kalau begitu, tenggelamlah, supaya kau tidak merasa malu.”

Perlahan-lahan Raja Buaya menenggelamkan dirinya ke dalam air, lalu lenyap dari pandangan.
Karena sudah berhasil mengalahkan Raja Buaya, Pelanduk menemui Raja Beruk. Raja Beruk melompat-lompat kegirangan karena musuhnya kalah, sambil melepas ujung tali rotan yang diikatkan di batang pohon kelapa.