Tuesday, December 31, 2013

Dedi Dan Malaikat



Dedi Dan Malaikat

Kamu tentu pernah melihat atau mendengar ada anak kecil meninggal dunia. Tahukah kamu apa yang terjadi pada waktu itu?

Apabila seorang anak kecil meninggal dan anak itu baik, maka seorang malaikat turun dari surga. Ia datang untuk menjemput anak itu. Malaikat memapahnya dan membawanya ke tempat-tempat yang menyenangkan.

Anak itu diajaknya ke taman untuk memetik bunga. Lalu bunga itu dibawa ke surga, ke tempat Allah Bapa. Allah Bapa adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang.


Bunga yang dibawa anak itu, ditanam di surga. Di sana tumbuh lebih subur dan berbau lebih harum. Tuhan Maha Pengasih menerima bunga, menekankan pada dada dan menciumnya. Bunga diberi tangkai baru, supaya dapat ikut memeriahkan kegembiraan di surga. Kegembiraan abadi, tanpa akhir!

Anak-anak kecil yang baik, bernyanyi bersama-sama dengan para malaikat dan orang-orang suci di surga.

Cerita di bawah ini mengisahkan seorng malaikat menjemput anak kecil yang baru saja meninggal. Anak itu merasa seperti sedang mimpi.

Anak itu bernama Dedi. Setelah meninggal, jiwa Dedi dibawa malaikat ke tempat anak itu biasa bermain. Mereka berdua tiba di taman bunga.

“Kau akan memetik bunga apa Dedi?” tanya malaikat.

Di taman ada bunga mawar besar-besar. Pohonnya rimbun. Bau mawar semerbak harum ditiup angin. Tetapi sungguh sayang! Tangkai mawar dipatahkan tangan jahil. Bunga mawar terkulai layu, menunduk hampir menyentuh tanah. Untung belum mati dan belum kering.

“Kuambil saja bunga mawar ini. Di surga akan tumbuh lebih subur lagi. Dan baunya akan harum semerbak, jauh lebih wangi. Akan kutanam di taman Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang”, kata Dedi.

Semak bunga mawar dibawa Dedi ke surga. Malaikat gembira dan Dedi diciumnya. Mata Dedi dibukanya agak lebar. Dan Dedi melihat bunga-bunga lain. Ada yang merah, ada yang biru. Bunga-bunga ini tidak pernah diperhatikan manusia. Dedi memetiknya dan membawanya pula.

Dedi dan malaikat masih terbang agak rendah. Mereka melayang di atas kota. Malam hari pun tiba. Dedi dan malaikat sampai di tempat pembuangan sampah. Di situ tanahnya miring ke bawah. Apa yang terlihat? Tentu saja sampah, daun-daun busuk, kertas-kertas bekas, pecahan-pecahan piring dan berbagai kotoran.

“Lihat pot bunga itu”, kata malaikat kepada Dedi.

Memang, di tengah gundukan sampah terserak pot bunga yang sudah pecah. Masih kelihatan ada tanamannya. Akarnya masih berbelit-belit memegang tanah. Bunga apa yang tumbuh di pot itu? Mengapa terbuang di antara sampah?

“Dedi, kita bawa saja pot pecah ini!” kata malaikat dengan ramah.

“Pot ini mempunyai riwayat. Sambil terbang, aku akan menceritakan kisah pot pecah ini. Itu pot bunga melati yang wangi dan sangat menarik hati. Beginilah kisahnya”.

“Di lereng sebuah gunung ada kamar”, begitu malaikat memulai ceritanya.

“Letaknya di bawah tanah. Di dalam kamar itu tinggal seorang anak kecil bernama Rudi. Ia miskin sekali. Sejak kecil selalu sakit-sakitan. Hampir seluruh hidupnya harus berbaring di ranjang. Berjalan, hampir-hampir tak bisa. Kalau hendak berjalan, Rudi menggunakan dua batang kayu sebagai penopang. Penopang itu, ujungnya yang satu diapit ketiak, ujung yang lain menjejak tanah, membantu kaki Rudi.”

“Pada musim kemarau, sinar matahari masuk kamar lewat jendela. Rudi dapat berjemur, memanaskan diri sambil tiduran. Kadang-kadang Rudi mengangkat tangannya dan mengacungkannya ke arah jendela. Ia memperhatikan sinar matahari menerangi jari-jarinya. Tangannya kelihatan merah menyala.”

“Rudi tidak dapat bermain-main seperti anak-anak lain. Untung ia mempunyai teman, namanya Susi. Kadang-kadang Susi datang membawa dahan patah yang masih berdaun. Rudi gembira sekali menerima pemberian ini.

Dahan digantungkannya di atas kepala. Ditatapnya beberapa daun yang masih segar hijau. Rudi mengkhayal, seolah-olah ia sedang duduk di bawah pohon beringin yang rindang.

Rudi membayangkan diri sedang berada di tengah hutan. Matahari bersinar di sela-sela pohon dan burung-burung berkicau di antara daun-daun.

Pada musim hujan, Susi datang membawa pot bunga melati. Pot ditaruh di jendela, di samping ranjang Rudi. Apabila Rudi sudah terlalu lelah berbaring, ia bangkit. Lalu berjalan dengan susah payah, mengambil air untuk menyiram bunga kesayangannya.”

“Tak lama kemudian Rudi dipanggil Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Sesaat sebelum meninggal, Rudi mengedipkan mata kepada bunga melati, buah hatinya.

Kini sudah setahun Rudi di surga, tempat Allah Bapa. Pot bunga tidak dilupakannya. Akan tetapi pot bunga itu dibuang orang di tempat sampah yang baru saja kita lalui tadi.”

“Nah, kuharap, kau sekarang tahu, mengapa pot bunga ini kita bawa ke surga. Pot bunga ini dan bunganya, akan lebih bahagia daripada bunga mawar di taman raja!”

‘Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu?” tanya Dedi kepada malaikat.

“Akulah Rudi! Anak yang sakit-saktian yang dulu berjalan dengan tongkat penopang. Tentu saja aku tidak lupa bunga kesayanganku”, jawab malaikat sambil mendekap Dedi.

Dedi memandang wajah malaikat yang berseri-seri. Pada saat itu mereka berdua sudah sampai di surga. Dedi diterima Allah Bapa, Tuhan yang Pengasih dan Penyayang. Ia didekap dan diciumNya.

Kini anak itu berubah pula menjadi malaikat bersayap. Ia bergandengan tangan dengan malaikat-malaikat lain, bersukaria dan bergembira abadi. Dedi dapat terbang ke mana-mana sesuka hati. Tak ada kegembiraan dan kebahagiaan seperti itu di dunia.

Bunga-bunga yang dibawa Dedi dan malaikat, juga diterima Tuhan. Bunga didekapkan pada dada dan diciumNya. Lalu bunga itu berdaun dan bertangkai lagi. Bunga melati yang tadi dipungut dari tempat sampah, sekarang tumbuh sangat subur. Melati dan mawar, serta bunga-bunga lain yang dibawa Dedi dari bumi, semerbak wangi. Cerah, meriah, ikut bernyanyi, menyemarakkan kegembiraan di surga.



H. C. Andersen

Kaisar Dan Pakaian Ajaib



Kaisar Dan Pakaian Ajaib




Pada jaman dahulu kala, ada seorang kaisar yang suka sekali berpakaian baru. Setiap jam ia selalu berganti pakaian. Semua uang negara dihamburkan untuk membeli pakaian. Pegawai-pegawai negara tidak diperhatikan. Tentara juga tidak diperhatikan. Rakyatnya tidak diperhatikan sama sekali.

Dari pagi hingga petang, kaisar hanya berpikir tentang pakaian. Dari petang hingga pagi, kaisar juga hanya berpikir tentang pakaian. Kaisar tidak pernah meninjau daerahnya. Apabila ia keluar istana, ia hanya ingin memamerkan pakaiannya. Tukang-tukang tenun dan para penjahit sangat sibuk. Sebab kaisar selalu ganti pakaian setiap jam. Jadi setiap jam harus ada pakaian baru.

Biasanya orang berkata: ‘Raja sedang ada di istana.’

Atau ‘Raja sedang berunding dengan para menteri.’

Tetapi tentang kaisar ini, orang berkata: ‘Raja sedang berada di kamar pakaian.’

Banyak orang asing datang di kota kaisar. Pada suatu hari, dua orang penipu menghadap kaisar.

Penipu ini berkata, “Baginda, kami berdua ahli tenun dan ahli pakaian. Kami berdua dapat membuat pakaian ajaib. Hanya orang pandai dan orang yang menjalankan kewajibannya dengan baik, dapat melihat pakaian ajaib itu.”

Kaisar percaya kepada ke dua penipu tersebut. Kaisar menyuruh segera dibuatkan pakaian ajaib. Kedua penipu diberi uang, emas dan bahan pakaian yang sangat mahal harganya.

“Apabila pakaian ajaib jadi, saya dapat tahu siapa bodoh, siapa pandai. Saya dapat tahu siapa tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.” demikian pikiran kaisar.

Kedua penipu segera mulai bekerja. Mereka duduk di depan alat tenun kosong. Tangannya bergerak-gerak, seolah-olah mereka sedang menenun. Mereka bekerja giat hingga larut malam.

Setiap hari mereak meminta uang, emas dan bahan pembuat pakaian kepada kaisar. Kaisar mengabulkannya dan tidak curiga sama sekali.

Sebenarnya kaisar ingin sekali melihat kedua penipu bekerja. Tetapi ia agak takut, sebab, menurut kata penipu, hanya orang pandai dan orang yang menjalankan kewajibannya dengan baik dapat melihat pakaian ajaib.

Berita tentang pakaian ajaib tersebar ke seluruh negara dengan cepat sekali. Orang kelihatannya tak sabar menunggu pakaian selesai. Masing-masing orang ingin tahu, siapa tidak dapat melihat pakaian ajaib itu.

Masing-masing orang mengira, hanya dia sendiri dapat melihat pakaian ajaib itu.

Kaisar pun tak sabar menunggu lama. Ia segera menyuruh seorang menteri. Tentu saja yang diutus menteri yang pandai, jujur dan menjalankan kewajibannya dengan baik.

Menteri masuk ke dalam kamar, tempat kedua peninpu menenun.

Alangkah tercengangnya dia! Menteri tidak melihat apa-apa. Ia hanya melihat alat tenun kosong. Ia mulai ragu-ragu tentang dirinya.

“Orang bodohkah aku ini?” pikir menteri.

“Apakah aku seorang menteri yang tak cakap dan tak menjalankan kewajiban dengan baik?”

Menteri berdiri termangu dan tak mengucapkan kata sepatah pun.

Kedua penipu bekerja terus di udara kosong, sambil menerangkan, “Bapak Menteri, kain ini akan menjadi kain terindah di dunia. Perhatikan pola-polanya. Kecuali kain terindah, juga kain termahal di dunia.

Bahkan lebih dari itu, Bapak Menteri. Kain ini sangat ajaib. Sebab orang-orang bodoh tak akan dapat melihatnya. Orang-orang yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, juga tidak akan dapat melihat kain ini. Bapak seorang menteri yang cakap, bukan? Bapak pasti melihat kain ajaib ini!”

Menteri diam saja, sebab ia hanya melihat alat tenun kosong.

“Mengapa Bapak Menteri tidak berbicara? Bagaimana pendapat Bapak tentang kain ajaib ini?” tanya kedua penipu.

“O, mengagumkan sekali!” jawab menteri, meski pun tidak melihat seutas benang pun.

“Belum pernah aku melihat kain seindah ini! Sungguh pandai anda menciptakan pola-pola paling baru! Kaisar pasti bangga dan gembira!”

Kedua penipu menerangkan panjang lebar tentang benang, tentang sutera, tentang pola dan warna kain. Mereka menceritakan bagaimana cara membuat pola dan warna terindah. Menteri mendengarkan dengan penuh perhatian. Tangan menteri memegang dan meraba-raba kain, yang sebenarnya tidak ada.

Menteri takut, kalau ada orang tahu, menteri tidak dapat melihat kain ajaib.

Menteri segera kembali ke istana dan lapor kepada kaisar. Ia memuji-muji kedua penenun dan kain ajaib. Ia mengatakan bahwa kain itu sangat indah dan bagus.

Kaisar percaya dan mengangguk-anggukkan kepala. Sebentar kemudian kaisar menyuruh seorang pegawai tinggi ke tempat kedua penipu. Pegawai tinggi ini harus menyelidiki, apakah benar kata menteri.

Pegawai tinggi pergi ke tempat kedua penipu menenun. Seperti menteri, pegawai tinggi terbelalak matanya. Sebab, ia hanya melihat alat tenun kosong belaka.

“Bodohkah aku ini? Apakah aku pegawai tak cakap yang tidak menjalankan tugas dengan baik? Aku harus hati-hati, jangan sampai ada orang tahu, bahwa aku tak dapat melihat kain ajaib!” pikir pegawai tinggi.

“Bagaimana pendapat Bapak, sangat indah bukan kain ini?” tanya kedua penipu.

“Benar, sangat indah dan mengagumkan! Baru sekali ini, saya melihat kain yang sungguh-sungguh ajaib!” jawab pegawai tinggi.

Pegawai tinggi segera melapor kepada kaisar.

Kata pegawai tinggi, “Kaisar, kain itu sungguh ajaib dan mengagumkan!”

Sekarang kaisar sendiri ingin melihat kain tersebut. Kaisar memilih beberapa orang tertentu dan diajak ke tempat kedua penipu bekerja. Pegawai tinggi juga menyertai kaisar.

Alangkah terkejutnya kaisar! Ia tidak melihat kain. Jangankan kain, seutas benang pun tidak! Kaisar hanya melihat alat tenun kosong, dan kedua penipu licik menggerak-gerakkan tangannya seperti orang sedang menenun! Tapi kaisar diam saja.

“Kaisar bodohkah saya ini? Tak cakapkah saya jadi kaisar? Apakah saya kaisar yang tak menjalankan tugas dengan baik?” tanya kaisar di dalam hati.

“Orang lain tidak boleh tahu, bahwa saya tidak dapat melihat kain ajaib.” pikir kaisar.

Pengikut-pengikut kaisar saling berpandangan. Mereka sebenarnya juga tidak melihat sesuatu, kecuali alat tenun kosong.

Kedua penipu tiba-tiba berkata: “Bagaimana pendapat kaisar tentang kain ini?”

“O, bagus sekali. Indah luar biasa! Tak kuduga sama sekali, ada kain seindah ini! Pola dan warnanya mengagumkan bukan main! Saya ingin sekali segera mencobanya. Harap segera diselesaikan.” Jawab kaisar.

“Bagaimana pendapat bapak-bapak?” tanya kedua penipu.

“Ya, ya, ya, memang, memang, memang begitulah! Benar kata kaisar. Kain itu luar biasa indahnya!” jawab pengikut-pengikut kaisar.

Berita tentang kain ajaib tersebar luas di kalangan rakyat. Setiap orang, besar kecil, tua muda, laki-laki dan perempuan, semua ribut membicarakan kain ajaib. Setiap orang yakin, dapat melihat kain tersebut.

Sekarang kaisar akan mengadakan pawai besar, dengan berpakaian kain ajaib. Kaisar ingin memamerkan kain ajaib kepada rakyat. Kaisar ingin dipuji dan dikagumi. Semua orang pasti akan terpesona, melihat kaisar mengenakan pakaian paling indah di dunia. Jalan-jalan dibersihkan, diperbaiki, dan dihias. Semua orang sibuk mempersiapkan pawai besar.

Lebih sibuk lagi kedua penipu licik. Pada malam menjelang pawai besar, kamar kerjanya diterangi enam belas buah lampu. Semalam suntuk mereka bekerja. Kedua penipu, pura-pura menggunting kain dengan gunting besar. Yang digunting, tentu saja udara! Mereka pura-pura menjahit kain dengan jarum. Yang dijahit tentu saja udara!

Keesokan harinya kaisar datang ke kamar kerja penipu. Kaisar diiringkan pegawai-pegawai istana. Pakaian ajaib sudah selesai., kaisar akan segera mengenakannya.

“Kami memohon, kaisar melepaskan pakaian seluruhnya. Sebab, kami akan segera mengenakan pakaian ajaib pada kaisar.” kata kedua penipu.

Kaisar melepaskan semua pakaian. Sekarang kaisar hanya bercelana dalam. Kedua penipu sibuk mengenakan pakaian ajaib pada kaisar. Pakaian ajaib itu tak kelihatan! Kedua penipu pura-pura memasang baju, celana, mahkota dan selempang pada kaisar.

“Kaisar, ini mantelnya. Mantel ini pola warnanya meriah sekali.” Kata penipu, sambil pura-pura memasang mantel pada tubuh kaisar.

Kaisar berdiri di depan kaca besar. Ia sebenarnya sangat gelisah, sebab ia telanjang. Sedang pakaian ajaib tidak kelihatan.

Pengikut-pengikut kaisar berseru, “Indah sekali! Mengagumkan! Sungguh indah pakaian itu!”

Semua pengiring kaisar bersikap seolah-olah benar-benar melihat pakaian ajaib itu. Dua pengiring memegang mantel kaisar dengan bangganya. Tentu saja yang dipegang udara, sebab mantel tidak kelihatan! Empat orang memegang payung kerajaan. Kaisar berjalan di tengah dengan megahnya.

Sekarang pawai besar dimulai. Terompet dibunyikan orang dengan lantangnya. Lonceng-lonceng berdengungan menyambut pawai besar. Meriam dan senapan berdentuman memeriahkan pawai besar. Bendera berkibaran di sepanjang jalan. Polisi dan tentara dengan ketat menjaga keamanan. Orang-orang berjejal-jejal ingin meilihat kaisar berpakaian ajaib.

Kaisar berjalan kaki, supaya tampak megah dan mempesonakan.

“Hanya orang pandai yang dapat melihat pakaian ajaib. Hanya orang yang menjalankan kewajibannya, yang dapat melihat pakaian kaisar,” kata kedua penipu.

Kaisar berjalan dengan megahnya.

Orang-orang yang melihatnya berteriak-teriak, “Mengagumkan! Hidup kaisar! Sungguh indah pakaian kaisar!”

Mereka bersorak-sorak gemuruh memekikkan telinga. Tak seorang pun mau dikatakan bodoh. Tak seorang pun ingin ketahuan tak menjalankan kewajiban dengan baik.

Pawai besar berjalan terus. Semua orang memang kagum dan tercengang. Semua orang sungguh tertarik dan terpesona, melihat kaisar berpakaian ajaib.

Sebab, pakaian ajaib itu tak kelihatan oleh siapa pun juga!

Tiba-tiba pawai besar melewati seorang anak kecil.

Anak kecil itu berteriak keras kepada ayahnya, “Ayah, ayah, lihat itu, kaisar tak berpakaian sama sekali! Ayah, mengapa kaisar berjalan telanjang???!”

Orang-orang yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak.

Sekarang semua orang berteriak, “Hidup kaisar telanjang!”

Teriak dan sorak rakyat lebih hebat lagi.

Kaisar berkeringat dingin. Tapi kaisar berkata dalam hati, “Itu pasti orang-orang bodoh yang tak menjalankan kewajiban dengan baik. Pawai ini harus selesai dengan berhasil.”

Dan kaisar berjalan dengan lebih megah lagi. Akhirnya kaisar sadar bahwa ia kena tipu. Sejak itu ia tidak lagi tergila-gila dengan pakaian baru.

Kisah Sebuah Batu Pemantik



Kisah Sebuah Batu Pemantik 


Satu, dua! Satu, dua! Satu, dua! Seorang prajurit berbaris seorang diri di jalan. Ia menyandang ransel di punggungnya. Di pinggang tergantung pedang. Ia baru saja dari berperang. Sekarang ia akan pulang. Ia telah berbuat jasa. Oleh karena itu ia dinamakan pak Bintang.

Jalanan amat sunyi. Tiba-tiba ia berjumpa dengan nenek tukang sihir. Nenek itu rupanya amat buruk. Mulutnya lebar. Bibirnya panjang tergantung sampai ke dagu. Ia amat kurus. Badannya bergontai bagaikan daun tertiup angin.

“Selamat malam, Bintang!” tegur tukang sihir itu.

“Ransel dan pedangmu bagus benar. Engkau benar-benar seperti prajurit. Bintang, engkau dapat memperoleh uang yang amat banyak. Jika engkau mau.”

“Terima kasih banyak, “jawab pak Bintang setengah percaya.

“Siapa tidak mau uang.”

Tukang sihir itu menunjuk sebatang pohon yang amat besar.

Ia berkata, “Aku berkata sungguh-sungguh. Pohon ini, seluruh batangnya berlubang di dalamnya. Panjatlah hingga ke puncak. Kemudian masuklah ke dalam lubang itu. Aku akan mengikat pinggangmu dengan seutas tali. Turunlah dengan tali itu hingga sampai ke bawah. Jika engkau akan naik ke atas lagi, berteriaklah. Aku akan menarikmu ke luar.”

“Tetapi, untuk apa aku harus masuk ke dalam lubang segala?” tanya pak Bintang.

“Mengambil uang!” jawab nenek itu.

“Bila engkau sudah sampai di bawah, lubang itu menjadi amat luas. Seperti sebuah ruangan yang besar saja. Ada tiga ratus batang lilin yang meneranginaya. Di dalam ruangan itu ada tiga buah kamar. Masing-masing berpintu. Kalau engkau memasuki kamar pertama, di tengah kamar itu ada sebuah peti besar.


Di atas peti duduk seekor anjing yang menunggui. Matanya sebesar cawan. Engkau tidak usah takut. Hamparkan saja selendangku ini. Dudukkan anjing itu di atasnya. Engkau boleh mengambil uang sebanyak-banyaknya. Peti pertama ini berisi uang tembaga.

Bila engkau lebih suka akan uang perak, masuk saja ke kamar kedua. Di sana anjingnya lebih besar. Matanya sebesar bola. Tetapi engkau tak perlu takut. Perbuatlah seperti tadi. Hamparkan selendangku, lalu dudukkan anjing itu di atas selendang. Ambillah uang sebanyak engkau kuat membawanya.

Kalau engkau lebih suka akan uang emas, engkau harus masuk ke kamar ketiga. Di sini anjingnya luar biasa. Matanya sebesar jam kota! Percayalah, ia adalah anjing yang paling jahat! Tetapi jangan takut. Dudukkanlah ia ke atas selendangku. Ia akan menjadi anjing yang paling jinak. Ambillah uang emas sesukamu!”

Bukan main! Semuanya serba baik.

“Tetapi Nenek, apa yang harus kuberikan kepadamu?”

“Aku tidak minta apa,” jawab nenek sihir itu.

“Sepeser pun aku tak mau menerima darimu. Hanya ada satu permintaanku. Ambilkan untukku sebuah batu pemantik. Batu itu peninggalan nenekku. Ia lupa membawanya, ketika keluar dari lubang itu.”

“Baik,” kata pak Bintang.

“Aku terima permintaanmu. Ikat saja segera pinggangku.”

Nenek segera mengikat pinggang pak Bintang. Diberikannya pula selendangnya. Pak Bintang segera memanjat pohon. Talinya diulurkan oleh si nenek. Sampai di puncak, pak Bintang segera masuk ke dalam lubang. Dengan bergantung kepada tali, ia turun hingga ke bawah. Tepat perkataan nenek sihir. Ruangan di bawah amat luas. Tiga ratus batang lilin menyala menerangi. Dengan segera ia masuk ke pintu pertama. Di atas sebuah peti duduk seekor anjing

Ia selalu memandangi segala gerak gerik pak Bintang. Benar, matanya sebesar cawan.

“Haa,” kata pak Bintang,

“Anjing yang baik.”

Ia segera menghamparkan selendang di atas lantai

“Duduklah baik-baik,” katanya lagi.

Anjing itu diangkatnya, lalu didudukkan ke atas selendang. Setelah itu ia lalu mengambil uang sebanyak-banyaknya. Anjing itu dikembalikan ke atas peti. Selendang nenek dibawa lagi.

Kemudian ia memasuki kamar kedua. Anjing yang menjaga di sini lebih besar lagi. Dengan mata bolanya, ia memandangai pak Bintang!

“Jangan memandang saja!” kata pak Bintang.

“Nanti matamu meloncat ke luar!”

Seperti tadi, anjing itu didudukkan ke atas selendang nenek. Ketika ia melihat uang perak, dibuangnya segala uang tembaganya. Ranselnya dipenuhi dengan uang perak. Demikian juga saku baju dan celananya!

Kemudian ia masuk ke kamar yang ketiga. Luar biasa. Pemandangannya sungguh mengerikan. Di sana duduklah seekor anjing raksasa! Matanya sebesar jam kota. Kedua mata jam kota itu selalu berputar. Mengikuti segala gerak gerik pak Bintang.

“Selamat malam!” kata pak Bintang.

Mau tak mau ia harus menghormati anjing istimewa ini! Belum pernah ia melihat anjing sebesar itu. Ia memang seorang militer tulen. Sedang anjing itu pantas mendapat hormat. Maka segera ia mengangkat tangan menghormat secara militer! Tetapi, hormat atau tidak, anjing itu didudukkan ke atas selendang. Bukan main! Belum pernah ia melihat uang emas sebanyak itu!

‘Wah! Banyak amat!” kata pak Bintang.

Ranselnya segera dijungkirkan. Saku baju dan celana dibalikkan. Berhamburan uang perak itu di lantai. Kemudian ranselnya dipenuhi dengan uang emas. Demikian juga saku-sakunya. Bahkan sepatunya diisi dengan uang emas!

Sambil menghormat lagi, anjing itu didudukkan lagi ke atas peti. Pintu kamar ditutup lalu keluar.

Ia berteriak, “Sudah, Nek! Tarik aku ke luar!”

“Engkau tidak lupa batu pemantik?” seru nenek dari luar.

“Wah, hampir lupa!” kata pak Bintang.

Ia kembali sebentar mengambil batu itu. Ia lalu ditarik ke atas. Setelah turun, ia berjalan dengan langkah berat. Ransel, saku baju dan celana penuh semua. Bahkan topi dan sepatunya!

Ia menghampiri nenek sihir.

“Untuk apakah sebenarnya batu ini?” tanyanya kepada nenek sihir.

Tetapi nenek itu menjawab, “Itu bukan urusanmu! Engkau harus sudah puas dengan uang emas!”

“Kau licik!” hardik pak Bintang.

“Itu bukan jawaban! Kalau engkau tak mau mengatakan, kubunuh engkau!”

“Jangan”, teriak nenek sihir, tetapi ia sudah mati.

Semua uang emasnya, lalu dibungkus dengan selendang si nenek. Setelah itu, bungkusan itu lalu dipanggulnya di pundak. Kemudian ia pergi berjalan ke arah kota.

Kota itu sungguh bagus. Besar dan ramai Ia memilih sebuah penginapan yang paling mahal. Kamarnya yang paling mewah. Setelah itu ia memesan makanan kegemarannya. Ia makan sekenyang-kenyangnya.

Hatinya puas. Bukankah kini ia kaya raya?

Hanya pelayan penggosok sepatu yang agak kurang ajar. Ia berkata, bahwa sepatu pak Bintang sudah lusuh!

Esok harinya, pak Bintang segera membeli sepatu baru. Juga pakaian yang paling bagus. Sekarang ia benar-benar seperti orang terkemuka!

Ia mulai bergaul mencari teman. Dari mereka ia banyak mendengar sesuatu yang bagus di kota itu. Ia juga mendengar, tentang puteri raja yang terkenal amat cantik.

“Apakah aku boleh melihatnya?” tanya pak Bintang.

Tak seorang pun diperbolehkan melihat. Puteri itu tinggal di dalam istana terbuat dari tembaga. Dikelilingi tembok yang tinggi dan tebal. Menaranya pun tinggi-tinggi. Tak seorang pun diperkenankan masuk. Kecuali raja dan permaisuri tentu saja.

Semua itu sebabnya ialah, dulu pernah diramalkan, bahwa puteri itu kelak akan kawin dengan seorang prajurit. Bahkan seorang prajurit rendahan biasa.

“Ah, aku ingin melihat semua itu!” pikir pak Bintang.

Tetapi bagaimana pun, ia tak diijinkan masuk ke dalam istana tembaga.

Pak Bintang hidup menuruti kesenangannya. Ia selalu berkeliling kota. Kemana-mana selalu naik kereta. Tiap malam, ia nonton wayang atau sandiwara. Ia makan di restoran yang paling mahal. Tetapi ia juga banyak memberi uang kepada oran miskin. Sebab ia pernah merasakan sendiri, bagaimana pedih rasanya perut yang lapar.

Karena ia kaya dan selalu berpakaian bagus, dengan cepat ia mendapat banyak teman. Mereka selalu memuji. Mereka berkata, bahwa ia gagah dan tampan. Seperti seorang ksatria! Tentu saja, karena ia banyak uangnya! Tetapi uang itu cepat berkurang.

Pak Bintang hanya tahu mengeluarkan uang. Ia tak pernah berhemat. Ia pun tak mengerti untuk mencari. Apalagi bekerja mencari upah!

Pada suatu haru uangnya tinggal dua keping. Itulah akibatnya kalau terlalu boros!

Ia terpaksa berpindah. Meninggalkan kamarnya yang mewah. Tinggal menumpang di kamar loteng. Sekarang ia harus menggosok sepatunya sendiri. Teman-temannya tak ada yang mengunjunginya lagi. Siapa mau bersusah-susah naik tangga ke kamar loteng?

Pada suatu senja, ia duduk di depan kamar. Ia merenung di dalam kegelapan. Uang untuk membeli lilin pun ia tak punya. Tiba-tiba saja ia teringat batu pemantik.

Ia segera masuk ke dalam kamar. Setelah dapat, ia lalu memantik. Maksudnya mau membuat api. Tetapi begitu api meletik, seketika itu juga pintu kamar terbuka lebar. Seekor anjing bermata sebesar cawan melompat masuk ke dalam.

Si mata cawan segera bertanya, “Tuan menginginkan apa?”

Pak Bintang terkejut juga.

Pikirnya, “Apakah ini artinya?”

Ternyata batu pemantik itu ajaib luar biasa. Jika dipantik sekali, si mata cawan segera datang. Jika dipantik dua kali, si mata bola yang datang. Jika dipantik tiga kali, si mata jam kota yang datang. Mereka selalu dapat membawakan apa yang dikehendaki pak Bintang.

Dalam sekejab, ia menjadi kaya lagi! Ia kembali menempati kamarnya yang mewah. Pakaiannya bagus-bagus. Teman-temannya datang lagi. Sekarang mereka tak perlu lagi naik tangga!

Pada suatu hari pak Bintang berpikir. Mengapa puteri raja itu tinggal di istana tembaga? Tak seorang pun boleh melihatnya? Apa gunanya ia begitu cantik, jika tinggal terasing di tempat tertutup?

Malam itu ia memantik batu pemantiknya. Dengan segera datang si mata cawan.

Pak Bintang berkata, “Sekarang memang tengah malam, tetapi aku ingin sekali melihat tuan puteri. Biar pun hanya sedetik.”

Anjing itu segera melompat pergi. Sebelum pak Bintang menyadari, si mata cawan telah kembali. Di punggungnya, tuan puteri sedang tidur nyenyak! Benar, puteri itu sungguh cantik. Sekilas orang memandangnya, segera ia akan mengaku, itulah puteri sejati!

Pak Bintang tersentak, ia segera berdiri tegak.

“Bersi-ap! Beri Horr-mat!” katanya di dalam hati.

Ia memang prajurit sejati.

Anjing itu segera pula balik kanan. Dalam sekejab, puteri telah sampai di istana.

Puteri itu merasa seperti mimpi. Keesokan harinya, ketika ia bersantap bersama kedua orang tuanya, ia bercerita. Ia berkata, tadi malam ia bermimpi: seekor anjing ajaib telah datang, ia di bawa oleh anjing itu ke suatu tempat, di sana ia dihormat oleh seorang prajurit.

Permaisuri berkata, “Aneh benar. Aku heran sekali!” Tetapi permaisuri memang amat cerdik. Pada malam berikutnya, ia memerintahkan seorang dayang. Dayang itu harus berjaga di kamar tidur tuan puteri. Dayang itu harus membuktikan, apakah puteri itu betul-betul hanya mimpi.

Pak Bintang benar-benar rindu kepada puteri. Malam itu, sekali lagi ia memanggil si mata cawan. Disuruhnya membawa tuan puteri.

Nah, itulah dia, si mata cawan datang lagi membawa tuan puteri. Tetapi dayang tua itu lari mengikuti. Ia melihat anjing itu memasuki sebuah rumah besar.

Dengan hati-hati, pintu rumah itu diberi tanda dengan kapur. Pikirnya, esok pagi ia akan mudah menemukan rumah itu kembali. Dengan diam-diam dayang itu kembali ke istana.

Tetapi si mata cawan melihat tanda pada pintu itu. Ia pun membuat tanda-tanda yang sama pada setiap pintu di kota itu! Sekarang dayang itu boleh mencari rumah pak Bintang!

Keesokan harinya, raja dan permaisuri pergi mencari. Mereka diiringkan segenap perwira pengawalnya. Ditelitinya setiap pintu rumah, mencari tanda dengan kapur.

Dengan segera sang raja menemukan sebuah tanda pada sebuah pintu. Ia berseru: “Ini dia, rumah itu!”

“Bukan yang itu,” kata permaisuri.

“Lihat ini, di seberang ini. Inilah tandanya”.

Tetapi para perwira pun semua melihat tanda-tanda di banyak pintu. Akhirnya mereka menghentikan pencarian itu. Mereka menjadi bingung. Tetapi Permaisuri memang cerdik. Kecuali pandai naik kereta, ia pun bisa segala hal.

Permaisuri itu mengambil gunting emasnya. Sehelai kain sutera dipotongnya menjadi dua. Lalu dijahitnya menjadi sebuah kantong. Salah satu sudutnya diberi lubang kecil. Kemudian kantong itu diisi dengan gabah. Setelah itu lalu dijahitkan pada baju tuan puteri.

Malam itu si mata cawan datang lagi. Ia tak tahu akal permaisuri. Ketika ia membawa tuan puteri, gabah itu berjatuhan sepanjang jalan.

Sementara itu pak Bintang melamun. Seandainya saja ia seorang pangeran. Atau seorang ksatria. Tentu ia diperkenankan melamar tuan puteri.

Pagi harinya, raja dan permaisuri mengetahui ke mana tuan puteri malam tadi dibawa. Ia segera memerintahkan untuk menangkap pak Bintang.

Pak Bintang terpaksa mendekam di dalam penjara. Ia merasa bosan dan kesal sekali. Pada suatu hari, seorang penjaga berkata: “Besok pagi engkau akan digantung!”

Pak Bintang menyesal, bahwa batu pemantiknya tertinggal di kamarnya. Pagi harinya, pagi-pagi benar, ia melihat ke luar melalui jendela kamar tahanannya.

Orang-orang berbondong-bondong pergi ke luar kota. Mereka ingin menyaksikan pak Bintang akan digantung. Ia pun mendengar suara genderang. Terdengar pula langkah-langkah para prajurit. Semua penghuni kota rupanya tertumpah di jalanan.

Begitu pula seorang pembantu tukang sepatu. Pembantu itu berlari-lari cepat. Karena cepatnya, sebelah sandalnya terlepas. Sandal itu terpental jatuh tepat di bawah jendela kamar tahanan. Pembantu itu segera lari berbalik untuk mengambilnya.

Pak Bintang berkata: “He, Bung! Engkau tak perlu tergesa-gesa. Engkau tak akan terlambat. Upacara tak dapat dimulai, sebelum aku datang. Kalau engkau ingin hadiah empat keping uang emas, ambilkan batu pemantikku. Aku terlupa, tertinggal di atas meja penginapanku. Larilah secepat kilat!”

Tentu saja pembantu tukang sepatu itu mau. Siapa yang tidak ingin empat keping uang emas?

Di luar kota ada sebuah lapangan tempat penggantungan. Beribu-ribu penduduk berdesak-desakan. Bercampur baur dengan para prajurit. Semua ingin melihat penggantungan.

Raja dan permaisuri duduk di sebuah panggung. Di hadapannya duduk para hakim pengadilan.

Saat penggantungan telah tiba. Pak Bintang dibawa maju ke hadapan raja. Pak Bintang mengajukan sebuah permohonan.

“Paduka,” katanya.

“Ijinkanlah aku merokok dulu. Aku ingin sekali menghisap pipaku. Inilah terakhir kali aku merokok.”

Untuk permohonan yang sederhana itu, raja tak dapat menolak. Pak Bintang segera mengambil pipanya. Ia memantik batu pemantiknya.

Satu, dua, tiga. Ia memantik tiga kali. Seketika itu juga datanglah tiga ekor anjing. Si mata cawan, si mata bola dan si mata jam kota.

Pak Bintang berkata, “Bebaskanlah aku. Aku tak mau digantung.”

Anjing-anjing itu segera bertindak. Mula-mula mereka melompat ke arah para hakim. Hakim-hakim itu digigit kaki, tangan, baju dan sebagainya. Kemudian dilemparkan ke atas, jatuh berdebum ke tanah.

“Jangan ganggu aku,” teriak raja ketakutan.

Tetapi si mata jam kota segera menerkamnya. Raja dan permaisuri pun terpelanting ke tanah.

Para penonton berteriak, “Bagus, bagus! Hee, Pak Bintang! Engkaulah yang harus menjadi raja. Menikahlah dengan tuan puteri.”

Para penduduk segera mengelu-elukannya. Mereka mendudukkan pak Bintang ke atas kereta kerajaan. Ketiga ekor anjing menjadi pengawal depan. Semua bersorak kegirangan.

Para prajurit pengawal segera berbaris menghormat, “Hormat senjataaa….. ! Geraaak!”

Puteri raja keluar dari istana tembaga. Ia kini menjadi permaisuri. Mereka merasa amat berbahagia.

Pesta pernikahan berlangsung delapan hari delapan malam. Ketiga ekor anjing ikut duduk di meja perjamuan.

Peti Terbang



Peti Terbang



Sekali peristiwa, ada seorang pedagang. Ia kaya sekali. Begitu kayanya, hingga uang peraknya cukup untuk mengaspal jalan di depan rumahnya. Bahkan jalan di sampingnya! Tentu saja ia tidak berbuat begitu.

Ia terlalu cerdik untuk berbuat seperti itu. Ia lebih tahu untuk apa uang itu. Jika ia mengeluarkan satu sen, ia harus mendapat sepuluh sen kembali! Ia amat pandai dan cerdik. Meski pun demikian, ia harus mati juga.

Segala kekayaan itu diwarisi anak laki-lakinya. Tetapi ia hidup menuruti kesenangannya. Tiap malam ia pergi menonton wayang dan sandiwara. Atau pergi ke pesta dansa. Topi serta topengnya dibuat dari uang kertas.

Dengan cara begitu, tentu uangnya segera akan habis. Itu pun segera terjadi. Pada suatu hari, ia tinggal memiliki lima rupiah. Ditambah beberapa sen lagi. Pakaiannya tinggal sepasang yang usang, bersama sepasang sepatu sandal.

Teman-temannya tidak menghiraukan lagi. Ia telah tidak mempunyai uang. Untuk apa diajak menonton atau berjalan-jalan! Begitulah jika orang tidak mempunyai uang!

Tetapi ada juga seorang yang berhati baik. Teman itu memberinya sebuah peti. Ia berkata, “Masukkanlah!”

Teman itu memang bermaksud baik sekali. Tetapi apa lagi yang harus dimasukkan ke dalam peti? Hartanya telah habis sama sekali! Ia telah tak punya apa-apa. Oleh karena itu, ia sendiri yang masuk ke dalamnya!

Anehnya, jika kunci peti itu ditekan, ia bisa terbang!

Itulah yang telah dilakukan oleh anak pedagang itu. Hup, ia pun terbang dengan peti-petinya. Keluar dari rumah, melalui cerobong asapnya. Makin lama makin tinggi. Makin lama makin jauh. Jauh sekali.

Peti itu sudah tua. Segera juga dasarnya berbunyi berderak. Abu, anak pedagang itu menjadi takut. Khawatir kalau dasar peti itu patah. Tentu ia akan jatuh ke tanah. Kalau tak untung, tulangnya patah-patah. Ia segera mengambil keputusan, turun!

Ia lalu mendarat di hutan, di negeri orang Turki. Petinya disembunyikan di bawah daun-daun kering. Ia lalu masuk ke dalam kota.

Ia tidak menyolok menarik perhatian. Sebab sudah biasa, orang Turki hanya berpakaian sehelai kemeja dan sepatu sandal.

Ia berjumpa dengan seorang ibu yang menggendong bayi.

Ia bertanya, “Maaf, nyonya Turki, istana apakah itu, di dekat kota itu? Itu, yang jendelanya tinggi-tinggi?”

Nyonya itu menjawab, “Itulah istana puteri Sultan. Dulu pernah diramalkan, bahwa akan bersengsara karena kekasihnya. Oleh karena itu, tak seorang pun diperbolehkan menemuinya. Kecuali bersama Sultan dan permaisuri.”

“Terima kasih,” kata Abu. Ia pergi kembali ke dalam hutan.

Ia lalu masuk ke dalam petinya. Ia terbang dan mendarat di atap istana. Melalui jendela, ia merangkak ke kamar tuan puteri.

Puteri itu tergeletak di atas dipan. Ia sedang tidur. Ia amat cantik dan menarik. Di dahinya ada seekor nyamuk. Abu terpaksa memukulnya.

Puteri itu terbangun. Ia amat terkejut.

Tetapi Abu berkata, “Jangan terkejut. Aku adalah dewa bangsa Turki. Yang datang dari langit.”

Perkataan itu amat berkenan di hati puteri. Mereka lalu duduk berdampingan. Abu berkata, ia mengagumi mata tuan puteri.

Katanya, “Seperti danau yang jernih. Peri-peri mungil, berenang di dalamnya.”

Ia pun berceritera tentang dahi tuan puteri, “Serupa benar dengan istana salju. Penuh ruangan dan lukisan yang indah.”

Ya, ceritera-ceritera itu bagus sekali! Tuan puteri senang mendengarnya. Kemudian Abu mengajukan lamaran. Segera saja lamaran itu diterima.

“Tuan harus datang hari Sabtu,” kata tuan puteri.

“Pada hari Sabtu ayahanda sultan dan ibu permaisuri datang. Mereka akan minum teh bersamaku di sini. Tetapi tuan harus berceritera yang bagus-bagus. Orang tua saya suka akan dongeng-dongeng. Ibu suka yang berisi nasihat-nasihat. Ayah suka yang jenaka. Ia suka tertawa terbahak-bahak. Tentu kami akan bangga, saya bersuami dewa bangsa Turki!”

“Aku memang tak dapat memberikan mas kawin yang lain, kecuali sebuah dongeng!” kata Abu.

Ia lalu berpamitan. Tuan puteri memberikan sebilah pedang. Pedang itu bertatahkan ratna mutu manikam. Si Abu amat pandai mempergunakannya.

Ia lalu naik ke atap dan pergi terbang. Dibelinya sebuah baju baru. Ia lalu pergi ke hutan untuk mengarang sebuah dongeng. Sebab hari Sabtu harus sudah selesai. Itu bukan soal yang mudah!

Ketika ia selesai mengarang, hari Sabtu telah tiba.

Sultan dan permaisuri telah lama menanti di tempat tuan puteri. Mereka diiringkan segala pembesar dan menteri. Air teh telah lama disediakan. Begitu juga kue-kuenya. Pemuda itu disambut dengan penuh kehormatan.

“Dapatkah tuan menceriterakan sebuah dongeng?” tanya permaisuri.

“Yang dalam, berisi dan mengandung pelajaran?”

“Ya”, sambung sultan. “Tetapi kami harus juga dapat tertawa!”

Pemuda itu menjawab, “Dongeng semacam itu segera akan kuceritakan.

Dengarkanlah baik-baik. Semua hadirin lalu minum teh seteguk, kemudian siap untuk mendengarkan.

Abu mulai berceritera,

“Sekali peristiwa, ada sekelompok batang-batang korek api. Mereka amat bangga akan asal-usulnya. Mereka berasal dari sebatang pohon cemara yang amat tinggi. Tiap batang merupakan sebagian dari pohon tersebut. Pohon itu dulu telah tua sekali. Tinggi menjulang di dalam hutan.

Korek api itu duduk di antara sebuah pemantik dan sebuah periuk besi. Mereka berceritera kepada kedua benda itu. Ceritera tentang masa mudanya.”

Kata mereka, “Ketika kami masih muda, kita tinggal di antara kehijauan. Setiap pagi dan malam, kami selalu minum teh intan. Yaitu embun. Siangnya, kami bermalas-malasan di siniar matahari. Setidak-tidaknya, jika matahari bersinar.

Setiap burung berceritera dan mendongeng kepada kami. Kami tahu, bahwa kami kaya sekali. Pohon-pohon yang lain, hanya mampu berpakaian di musim panas. Tetapi kami, selalu berpakaian hijau sepanjang tahun Di musim panas maupun di musim dingin.

Pada suatu hari datanglah serombongan penebang kayu. Mulai saat itu, terjadilah perubahan besar pada keluarga kami. Kami ditebang dan dipotong-potong. Batang kami menjadi tiang utama sebuah kapal layar. Ia melayari tujuh lautan, jika ia mau!

Dahan-dahan pergi ke tempat lain. Sedangkan kami mendapat tugas membantu manusia. Memberikan api dan penerangan. Jadi, kami merupakan bangsa ternama di dapur ini.”

Kata periuk besi, “Riwayatku lain sekali, semenjak aku dilahirkan, aku selalu dicuci dan dibersihkan, tetapi yang lebih sering, aku dipakai untuk memasak. Aku yang menjaga kelangsungan hidup di keluarga ini. Aku paling utama di sini. Aku paling gembira jika aku dibersihkan. Kemudian biasanya aku diletakkan di papan.

Di sana aku dapat bercakat-cakap dengan siapa pun yang ternama. Tetapi sebenarnya kami memang agak terasing dari dunia luar. Untungnya ada si ember air. Ia sering bertugas di kebun. Jadi ia yang membawa khabar dari luar.

Tetapi sumber segala berita ialah si keranjang belanjaan. Setiap hari ia pergi ke pasar. Berdesak-desakan di antara manusia. Tetapi ia suka melebih-lebihkan. Ia pun kadang-kadang memburuk-burukkan, apa pun dan siapa pun. Baru-baru ini si periuk tua telah menjatuhkan diri. Hanya karena jengkel mendengarkan ocehannya. Ia jatuh berkeping-keping di lantai.”

“Ah, engkau terlalu banyak cakap”, kata si pemantik.

Ia berkata sambil menyemburkan bunga api, “Lebih baik kita menyelenggarakan malam gembira!”

“Ya, marilah kita tentukan”, kata korek api.

“Siapa dari kita ini yang paling ternama”.

“Jangan”, kata periuk besi.

“Aku selalu berendah diri menyebutkan asal usulku. Aku ada usul lain. Semua saja berceritera, mengenai pengalamannya. Aku dulu yang mulai. Makin tegang ceriteranya, makin asyik yang mendengar. Dengan demikian kita mendapat malam gembira! Sekarang dengarkan, aku mau mulai. Jauh dari sini, di tepi pantai……”

“Aduh”, sela piring-piring, “Permulaan yang menarik!”

“Jadi”, sambung periuk besi. “Di tempat itulah masa kecilku. Bersama-sama sebuah keluarga yang menyenangkan. Meja kursinya selalu dibersihkan. Lantai tak pernah lupa dipel. Dua minggu sekali gorden-gorden diganti.”

“Engkau mendongeng amat menarik”, kata sikat pengepel.

“Aku segera menjadi tahu, bahwa yang mendongeng suka kebersihan!”

“Ya”, kata si ember menyambung.

“Kita segera tahu mendengar dongeng itu.”

Ia berjingkrak-jingkrak, hingga airnya berguncang-guncang.

Periuk besi itu melanjutkan dongengnya. Datar tak bernada seperti semula. Tetapi piring-piring sangat terkesan. Sikat pengepel lalu membuat mahkota. Dibuat dari seikat daun seledri. Diletakan di atas kepala periuk besi.

Ia tahu dengan pasti, bahwa yang lain tentu menjadi iri. Mungkin menjadi jengkel.

Ia pun berpendapat, “Jika sekarang ia kuberi mahkota, nanti ia akan membuatkan untukku!”

“Sekarang aku mau menari”, kata si catut.

Ia mulai menari. Bukan main lucunya, Hampir saja semua tak percaya! Bagaimana ia dapat mengangkat kakinya sebelah-sebelah!

Kursi dapur melihat dengan tegang, sampai-sampai kain pelapisnya menjadi koyak!

“Dapatkah aku sebuah mahkota?” tanya si catut

Ya, ia berhak menerimanya.

“Ah, itu tidak luar biasa”, pikir korek api.

Tetapi untuk menjaga nama, mereka tidak mengatakannya.

Giliran jatuh pada si teko. Ia harus menyanyi. Tetapi ia sedang masuk angin.

“Lagi”, katanya. “Aku hanya menyanyi jika air mendidih”.

Ah, itu hanya alasan. Si teko hanya merasa terhormat, jika menyanyi di meja keluarga. Atau di meja perjamuan.

Pada papan di dekat jendela, berdiri si pena bulu angsa. Ia biasa dipergunakan untuk menulis oleh si pelayan dapur. Ia sebenarnya tak banyak menarik perhatian. Hanya saja ia berdiri terlalu dalam di dalam botol tinta. Tetapi ia malah merasa bangga.

Ia berkata, “Jika si teko tak mau menyanyi, biarkanlah! Di depan jendela ada si burung bulbul. Di dalam sangkarnya. Dialah baru, yang pandai menyanyi! Memang ia tak berpendidikan, tetapi, untuk waktu ini, janganlah kita menghiraukan hal demikian.”

“Aku kira itu kurang tepat”, kata si ketel air.

Ia sebenarnya mempunyai jabatan penyanyi dapur. Ia juga masih sekeluarga dengan si teko. Bahkan ia masih termasuk kakak tirinya.

“Ia adalah penyanyi asing”, katanya.

“Manakah rasa kebangsaan kita? Biarlah si keranjang belanjaan yang memutuskan!”

“Aku bosan”, kata keranjang belanjaan.

“Aku bosan dan jengkel setengah mati. Apakah begitu caranya memeriahkan malam gembira? Lebih baik kita bereskan rumah tangga kita. Masing-masing akan teratur di tempatnya. Aku bersedia menjadi pengatur. Bukankah itu sesuatu yang lain?”

“Bagus”, jawab semuanya.

“Marilah kita beramai-ramai sedikit. Tak mengapa gaduh sedikit”.

Tetapi, pada saat itu pintu dapur terbuka. Pelayan dapur masuk. Semua membungkam. Semua diam di tempat masing-masing. Rapih, teratur, seperti semula.

Pelayan itu mengambil korek api, Kemudian di gesekkannya, sehingga menyala. Cahanyanya bersinar menerangi ruang dapur.

“Lihatlah kepada kami!” pikir korek api.

“Betapa agungnya kami. Lihatlah sinar cahaya kami.”

Tetapi mereka segera padam. Habis terbakar.

“Dongeng yang menarik”, kata permaisuri.

“Aku merasa seolah-olah bersama mereka ada di dapur. Ya, aku mengizinkan puteriku kawin dengan engkau”.

“Begitulah hendaknya”, sambung sultan.

“Engkau akan kawin dengan puteriku”.

Sekarang mereka berkata dengan engkau dan aku. Tidak memakai sebutan tuan. Abu sudah dianggap anggauta keluarga! Tanggal pernikahan segera ditentukan.

Malam menjelang perkawinan, kota bermandi cahaya. Pada rakyat dibagikan roti mari dan kue donat.

Anak-anak berteriak sepanjang jalan, “Hidup! Hidup mereka, pengantin berdua!”

Suasana kota amat meriah.

“Aku akan ikut meramaikan!” pikir Abu.

Ia lalu memborong petasan dan kembang api. Dimasukkan semuanya ke dalam peti. Ia sendiri segera mengikuti. Kemudian ia terbang di atas kota.

Suara petasan riuh di udara. Kembang api berpancaran, menambah terangnya kota. Cahayanya berwarna-warni, hijau, kuning, merah seperti pelangi.

Rakyat Turki bersorak-sorak. Mereka menari-nari di sepanjang jalan. Mereka melompat-lompat, berjingkrak-jingkrak.

Sandal-sandal beterbangan di udara. Mental terlepas dari kaki mereka. Pertunjukan demikian, belum pernah mereka saksikan. Mereka merasa pasti, bahwa Abu memanglah dewa bangsa Turki.

Si Abu lalu turun ke hutan kembali. Ia ingin tahu, bagaimana pendapat rakyat. Diam-diam ia pergi ke kota. Ia menyelinap di antara rakyat.

Alangkah bangga hatinya! Di sana ia mendengar bermacam-macam hal. Masing-masing memuji menurut pendapatnya sendiri!

“Ia benar-benar dewa kami”, kata seorang.

“Matanya bersinar seperti bintang. Janggutnya bagus, seperti air mancur!”

Yang lain berkata lagi, “Ia terbang berkeliling. Mantelnya menyala-nyala! Dewa-dewa kecil mengintip dari lipatannya!”

Ya, itu semua pujian yang membanggakan. Semuanya benar-benar menyenangkan. Kedua telinganya tak bosan-bosan mendengarnya. Seperti dikilik-kilik saja rasanya!

Ia lalu kembali masuk ke dalam hutan. Hari berikutnya akan dilangsungkan perkawinan.

Ia ingin masuk ke dalam petinya. Tetapi, di mana peti itu? Dicarinya berkeliling. Segala semak-semak diintipnya. Sia-sia saja. Yang ditemukan hanya setumpuk abu!

Peti itu telah terbakar!

Rupa-rupanya, api kembang api ada yang tercecer. Ketika Abu mendarat, api lalu membesar. Peti itu habis terbakar. Tinggal abu sisa-sisanya saja.

Abu Tertegun. Ia tak dapat terbang lagi. Tak dapat mengunjungi tuan puteri. Tak dapat datang melangsungkan perkawinan!

Puteri sultan menunggu sepanjang hari di atas atap. Ia menunggu dengan setia. Sepanjang masa. Tetapi Abu tak kunjung datang. Barangkali, sekarang pun ia masih menunggu di atas atap. Tentu saja jika tidak hujan!

Bagaimana dengan si Abu?

Ia meneruskan menjelajah dunia. Tetapi hanya jalan kaki!

Di mana-mana ia selalu berceritera. Tentang apa saja. Yang nyata mau pun tidak. Tetapi dongeng sebagus dongeng ini, tak pernah ada lagi.

Si Timpang, Prajurit Laskar Timah Yang Gagah



Si Timpang, Prajurit Laskar Timah Yang Gagah


Suatu ketika, ada sepasukan laskar timah. Pasukan itu terdiri dari dua puluh lima prajurit. Semuanya serba sama. Seperti adik kakak saja. Mereka memang dituangkan ke dalam cetakan yang sama.

Seragamnya indah berwarna biru laut. Selempangnya merah cerah. Senapannya memakai bayonet, tersandang di pundak. Sikapnya tegap-tegap. Pandangannya selalu lurus ke depan.

Bahkan di dalam dus nya pun mereka bersikap gagah. Selalu rapi berbaris bersiap siaga. Ketika dus tempat mereka dibuka, perkataan yang pertama mereka dengar adalah “laskar timah”. Mulai saat itu mereka baru tahu, bahwa mereka adalah laskar timah.

Si Buyung menerima laskar itu sebagai hadiah ulang tahun. Ia segera membuka dus itu. Isinya segera dibariskan di atas meja. Mereka benar-benar serupa. Tak dapat dibedakan yang satu dengan lainnya.

Hanya satu yang agak berbeda. Kakinya hanya sebuah. Ketika ia masuk cetakan, timahnya habis. Tidak cukup untuk kaki yang sebelah. Karena kakinya hanya satu, ia lalu dinamakan si Timpang.

Tetapi ia sama tegapnya dengan anggota pasukan yang lain. Ia pun selalu berdiri tegap. Sebagai layaknya seorang prajurit yang baik. Si Timpang inilah yang memegang peranan dalam ceritera ini.

Si Buyung membariskan pasukan itu di antara mainan-mainan barunya. Semuanya hadiah ulang tahunnya. Tetapi yang paling disayang, ialah sebuah istana terbuat dari karton.

Pada halaman di sekitar istana itu ada beberapa pohon. Di sela-sela pohon ada sebuah telaga, terbuat dari sebuah cermin. Pada cermin atau telaga itu berenanglah beberapa burung undan dari lilin.

Lewat jendela-jendelanya, dapat dilihat ruangan-ruangannya yang indah. Bahkan jika kepala kita cukup dekat, suara angin pun dapat terdengar. Gemerisik di antara daun-daunan pohon kertas.

Pintu gerbangnya terbuka. Di dekatnya berdiri boneka kecil mungil dari kertas. Kedua tangannya terentang t inggi di atas kepala. Sebelah kakinya menjulur lurus ke belakang. Memang boneka itu sedang menari. Melihat hal itu, si Timpang berbesar hati. Ia mengira, bahwa penari itu juga hanya mempunyai sebelah kaki.

“Ia juga hanya mempunyai sebuah kaki”, pikirnya.

“Tentunya ia cocok untuk menjadi istriku. Tetapi ia tentu orang terkemuka! Ia tinggal di istana. Sedangkan aku, tinggal berdesakan di dalam sebuah dus. Hal ini kurang sesuai. Tetapi aku harus belajar kenal kepadanya”.

Ia lalu merebahkan diri di atas meja. Dengan demikian ia akan lebih puas melihat penari pujaannya. Lagi pula berdiri pada sebelah kaki juga melelahkan. Ia tergeletak di dekat sebuah kotak tembakau. Tak puas-puasnya ia memandangi wajah si penari. Penari itu sendiri, tidak capai-capainya menari. Sepanjang hari ia mengangkat sebuah kakinya. Kedua tangannya merentang tinggi di atas kepala.

Ketika malam tiba, si Buyung pergi tidur. Ketika hendak tidur, dimasuk-masukkan dahulu semua permainannya. Begitu pula psukan laskar timahnya. Hanya si Timpang yang tertinggal. Ia tetap tergeletak. Tersembunyi di belakang kotak tembakau. Semua orang telah tidur.

Kini waktunya semua permainan itu main sendiri. Mereka bermain dan bernyanyi. Jika orang mau memperhatikan benar-benar, tentu akan mendengarnya.

Pasukan laskar timah, bergelatak geletuk di dalam dusnya. Tetapi mereka tak dapat membuka dusnya. Si anak batu tulis berderit-derit, menari-nari di atas batu tulis. Burung kenari tersentak mendengarnya. Ia lalu ikut bernyanyi dan bersajak.

Hanya si Timpang yang tidak. Ia tetap tergeletak di tempatnya. Tak jemu-jemunya matanya menatap wajah si penari. Penari itu tetap berdiri pada sebuah kaki. Ia tetap menari.

Jam tembok berdentang dua belas kali. Tiba-tiba tutup kotak tembakau mental terbuka. Apa yang terjadi? Kotak itu sama sekali tak berisi tembakau!

Di dalam kotak itu ternyata tinggal si iblis kerdil. Ia melompat ke luar dari kotak.

“He, Timpang”, kata iblis itu.

“Jangan melihat saya yang bukan urusanmu!”

Tetapi si Timpang pura-pura tak mendengarnya.

Iblis kerdil menjadi marah sekali.

Ia berkata, “Kurang ajar! Tunggu saja besok. Lihat, apa yang akan terjadi!’

Pagi hari si Buyung bangun dari tidurnya. Dilihatnya si Timpang menggeletak, lalu diambilnya. Setelah diamati sebentar, lalu ditaruhnya di tepi jendela.

Entah karena angin, entah karena kutukan iblis, tiba-tiba saja jendela terbuka. Tanpa ampun lagi, si Timpang jatuh ke bawah. Ia jatuh dengan kepala di bawah dari tingkat tiga.

Bukan main pusingnya kepala si Timpang. Dihentak-hentakkannya kakinya di udara. Ia jatuh dengan bayonet tertancap di sela batu. Kepalanya tetap ke bawah!

Si Buyung berlari-lari ke bawah. Diikuti pengasuhnya. Ke sana ke mari mereka mencarinya. Sia-sia saja. Si Timpang tak ditemuinya. Jika boleh, tentu si Timpang akan berteriak.

Ia akan berteriak, “Sini! Aku ada di sini!”.

Tetapi itu tidak sopan! Seorang prajurit tidak boleh berteriak-teriak! Apalagi ia sedang berseragam!

Tak lama kemudian, hujan pun turun pula. Lebat benar! Si Buyung dan pengasuhnya bergegas kembali. Mereka berlari-lari masuk ke dalam rumah. Si Timpang tetap menancap di sela-sela batu.

Ketika hujan telah reda, datanglah dua orang anak.

“Lihat”, kata yang seorang.

“Ada sebuah boneka timah”.

“Bagus”, kata yang seorang lagi.

“Kita buatkan saja sebuah perahu kertas. Biar ia berlayar di dalamnya”.

Mereka membuat sebuah perahu dari kertas. Si Timpang diletakkan di dalamnya. Kemudian dihanyutkan ke dalam selokan. Kedua anak itu mengikuti sambil bertepuk-tepuk.

Air mengalir sangat derasnya. Ombak pun besar. Memang lebat benar hujan tadi. Perahu kertas itu bergoyang dan berputar.

Si Timpang gemetar ketakutan. Tetapi ia tetap bersikap gagah. Bagaimana pun takutnya, sebenarnya.

Ia berpikir, “Tak pantas seorang prajurit takut”.

Bagaimanan pun olengnya perahu itu, senapannya tetap ada di pundaknya!

Tiba-tiba perahu itu masuk ke dalam gorong-gorong. Segalanya menjadi gelap pekat. Seperti di dalam dusnya!

“Sampai di mana aku ini?” pikir si Timpang.

“Semua ini tentu ulah si iblis kerdil! Ah, jika aku masih dapat melihat si penari saja. Biarlah menjadi dua kali lebih gelap!”

Sekonyong-konyong menghadang seekor tikus air. Ia memang tinggal di dalam selokan itu.

“Stop!”, katanya.

“Mana kartu penduduk! Perlihatkan dulu kartu pendudukmu!”

Tetapi si Timpang diam saja. Senapannya dipegang erat-erat. Sebenarnya ia memang tak punya kartu penduduk. Perahu itu melaju terus. Si tikus berenang mengejarnya.

Dengan geramnya ia berteriak, “Tahan dia! Tahan dia! Ia belum membayar uang jalan! Ia juga tak mau menunjukkan kartu penduduk!”

Perahu melaju makin kencang. Tikus itu tak dapat mengerjarnya. Jauh di depan mulai tampak terang. Tetapi bersama dengan itu, terdengar pula suara menderu.

Orang tua pun akan ngeri mendengarnya! Air selokan itu menuju ke sebuah sungai. Bagi si Timpang, hal ini berbahaya sekali. Sama saja, seperti kita menghadapi jeram yang tinggi!

Sungai itu makin dekat. Laju perahu tak dapat di tahan lagi. Si Timpang tetap berdiri tegak. Disembunyikannya rasa takutnya. Dua kali perahu itu terguling berputar-putar. Air yang masuk bertambah banyak. Kertasnya makin menjadi lunak. Sebuah ombak menyiram kepala.

Si Timpang teringat akan si penari. Ia menjadi putus asa. Tak mungkin ia dapat melihatnya kembali. Di dalam telinganya terdengar lagu yang menyedihkan.

Jangan sangka bahwa ia tak dapat mendengar. Boneka atau patung dapat mendengar. Tentu saja dengan cara mereka sendiri!

Perahu itu telah menjadi hancur. Pecah tercerai berai. Si Timpang jatuh ke luar. Ia terjatuh ke dalam air yang melimpah berputar-putar. Tiba-tiba ia masuk ke dalam mulut ikan besar.

Bukan main gelapnya! Lebih gelap daripada waktu di dalam gorong-gorong. Sempitnya juga bukan main, lebih sempit daripada di dalam dus. Tetapi ia tetap bersikap seperti prajurit sejati. Senapannya pun tetap di pundak.

Ikan itu berenang kian ke mari. Kemudian ia meronta-ronta hebat. Tidak lama kemudian tenang kembali. Si Timpang dengan sabar tetap berjaga. Ia tetap bersiap siaga.

Tiba-tiba saja menjadi terang sekali. Bukan main silau mata si Timpang. Sinar matahari menerangi isi perut ikan itu, kemudian terdengar suara teriakan kaget, “He! Si Timpang!”

Ternyata ikan itu telah tertangkap. Ia lalu dijual ke pasar. Pembantu rumah tangga telah membelinya. Setelah ikan itu dipotong dan dibersihkan, isi perutnya tampaklah si Timpang di dalamnya.

“Haa! Si Buyung harus segera diberitahu!” pikir pembantu itu.

Ia lari masuk ke dalam kamar Buyung. Si Timpang diletakkan di atas meja.

Kembali si Timpang berdiri tegak di atas meja. Di dalam kamar yang dulu juga. Istana karton masih tetap di tempatnya. Si penari masih setia menari di tempat semula. Kedua tangannya tetap ke atas, berdiri pada sebuah kaki.

Si Timpang menjadi sangat terharu. Ia ingin sekali menangis. Ia ingin mencucurkan air mata dari timah! Tetapi itu tidak sopan! Seorang prajurit sama sekali tidak boleh menangis!

Mereka saling berpandangan. Si Timpang dan si penari. Tetapi mereka tetap membisu tak bercakap.

Tiba-tiba saja si Buyung menangkap si Timpang. Begitu saja, tanpa alasan. Kemudian dilemparkannya ke dalam perapian. Tanpa alasan sama sekali! Seperti biasa terjadi pada anak kecil lainnya. Tetapi mungkin juga karena kutukan si iblis kerdil. Tak seorang pun akan tahu.

Itulah si Timpang. Ia berdiri tegak di dalam api. Tubuhnya mengkilat cemerlang terkena cahaya api. Sudah tentu ia merasa panas! Tetapi ia teap tegak dalam sikap. Warna seragamnya mulai luntur.

Apakah itu karena lusuh selama perjalanan atau luntur karena kesedihan, tak seorang pun dapat mengatakan.

Si Timpang dan penari tetap saling berpandangan. Si Timpang merasa sedih sekali. Tubuhnya mulai meleleh karena sedihnya. Tetapi senapannya tetap tak diturunkan! Tetap ada di pundaknya.

Tiba-tiba pintu terbuka. Angin yang jahat meniup masuk. Si penari terbang tertiup. Akhirnya terhempas jatuh ke dalam perapian! Dengan segera penari itu meliuk-liuk. Tubuhnya hangus dimakan api. Bersama dengan itu, si Timpang meleleh hancur. Ia menetes ke dasar perapian.

Pagi harinya, perapian itu dibersihkan. Di dasar, di antar abu, terdapat segumpal timah. Tetapi dari tubuh si penari, tak ada bekasnya sama sekali.

Putri Sejati Dan Sebutir Kacang Hijau



Putri Sejati Dan Sebutir Kacang Hijau




Dahulu kala, ada seorang putera mahkota. Ia telah dewasa dan bermaksud mencari seorang puteri. Tetapi harus benar-benar puteri sejati! Sebab ia hanya mau menikah dengan puteri sejati.

Ia berkelana keliling dunia mencarinya. Tetapi ternyata, jauh lebih sukar dari yang diharapkannya. Memang, puteri ada banyak sekali. Tetapi apakah itu puteri sejati, ia tak tahu dengan pasti. Yang terang, selalu saja ada cacat kurangnya.

Ia pulang ke negerinya. Hatinya kesal. Ia menginginkan benar seorang isteri. Tetapi harus benar-benar puteri yang sejati.

Pada suatu senja, cuaca buruk sekali. Hujan lebat bagaikan dicurahkan. Guruh dan guntur bersahut-sahutan. Kilat dan petir sabung menyabung, menimbulkan suara geledek yang memekakkan telinga. Suatu senja yang benar-benar menyeramkan.

Tiba-tiba pintu kota diketuk orang. Raja tua sendiri yang keluar. Ia sendiri pula yang membukakan.

Di luar gerbang berdiri seorang puteri. Tetapi, ya Tuhan, menyedihkan benar rupanya! Air mengalir bercucuran dari bajunya. Sepatunya kotor penuh tanah. Kakinya berlumur lumpur hingga ke lutut. Tampaknya hujan dan angin telah menderanya tanpa kasihan!

Puteri itu memperkenalkan diri. Katanya ia adalah puteri sejati. Tetapi, siapa yang mau percaya?

Ibu suri memang baik hati. “Baiklah,” pikirnya.

“Kita segera akan tahu.”

Tetapi ia hanya berpikir. Ia tak berkata sepatah kata juga. Ia lalu masuk ke dalam istana. Diambilnya pakaian untuk pengganti baju puteri. Setelah itu, ibu suri menyiapkan tempat tidur. Semua kasur dan bantal diangkatnya. Begitu juga sprei serta selimutnya.

Pada papan ranjang itu lalu diletakkan sebutir kacang hijau. Betul! Hanya sebutir kacang hijau. Setelah itu, di atasnya lagi dialasi selusin kasur yang paling empuk. Di atasnya lagi dialasi selusin sprei yang paling halus. Guling dan bantal dipilihkan yang paling lunak. Itulah tempat tidur untuk puteri malam itu.

Pagi berikutnya, ibu suri bertanya, “Nyenyakkah tidurmu malam tadi?”

Puteri itu menjawab, “Mohon ampun, Ibu suri. Sulit sekali! Di bawah kasur tentu ada sesuatu seperti batu. Semalam suntuk aku tak dapat tidur. Seluruh tubuhku babak belur biru-biru. Keras benar rupanya benda itu!”

Ibu suri puas sekali! Ia tahu dengan pasti, puteri itu tentu puteri sejati. Seluruh isi istana juga bergembira. Sebab, hanya puteri sejati yang begitu halus perasaannya! Hanya puteri sejati yang amat peka. Hanya puteri sejati yang amat perasa akan sesuatu yang bersifat keras. Tentu hatinya juga perasa akan segala perbuatan kekerasan! Bayangkan saja! Puteri itu dapat merasakan sebutir kacang! Padahal diletakkan di bawah selusin kasur!

Begitulah, putera mahkota mendapatkan isterinya. Ia berhasil mendapatkan puteri sejati.

Kacang hijau itu lalu disimpan di museum kerajaan. Jika tidak ada orang yang mengambilnya, tentu sekarang pun masih ada.

Jangan sangka ini cerita bohong! Dongeng ini benar-benar terjadi!

Hikayat Burung Undan



Hikayat Burung Undan



Jauh, jauh sekali dari sini, ada seorang raja, la mempunyai sebelas orang putera. Puterinya hanya seorang. Namanya Eliza.

Sebelas putera raja itu benar-benar membanggakan. Tiap pagi mereka pergi ke sekolah. Di dadanya selalu ada bintang. Di pinggangnya ada pedang. Mereka menulis dengan pinsil intan. Bukunya dari emas. Mereka memang pandai sekali. Apa yang dipelajari. segera hafal di luar kepala. Mereka benar-benar putera raja sejati.

Eliza masih kecil. Setiap hari ia duduk di atas sebuah bangku. Bangku itu amat jernih, karena terbuat dari kaca. la suka sekali melihat-lihat buku gambar. Tentu saja buku-buku itu amat mahal. Hanya raja yang dapat membelinya!

Anak-anak itu hidup penuh bahagia. Tetapi kebahagiaan itu tidak lama. Permaisuri raja itu sakit lalu meninggal. Raja itu lalu memilih lagi seorang permaisuri. Permaisuri yang baru itu ternyata amat jahat. la sama sekali tak menyukai anak-anak itu. Pada hari pertama, anak-anak itupun telah merasa.

Pada suatu hari, di istana ada pesta besar. Anak-anak pun bermain tamu-tamuan. Tetapi tidak seperti yang dulu-dulu. Sekarang mereka tidak diberi teh manis serta kue-kue. Kini cangkir mereka hanya berisi pasir. Mereka harus berpura-pura, seolah-olah mereka minum teh manis. Padahal hanya cangkir berisi pasir.

Seminggu kemudian ada perubahan yang amat besar. Eliza dititipkan pada sebuah pertanian. Tak lama kemudian, kakak-kakaknya diadukan kepada raja. Mereka diadukan oleh permaisuri. Dikatakan, bahwa mereka telah berbuat yang buruk-buruk. Raja menjadi murka. la tak mau menghiraukan mereka lagi.

“Pergilah kalian dari sini!” kata permaisuri jahat itu.

“Terbanglah ke dunia yang lebar. Uruslah dirimu sendiri. Kalian akan menjadi burung-burung yang besar. Tetapi tak dapat bersuara.”

Tetapi bagaimana pun jeleknya permaisuri itu menyihir, anak-anak raja itu tidak menjadi seburuk itu. Mereka menjadi sebelas ekor burung undan yang indah. Dengan teriakan yang ganjil mereka melompat terbang. Mereka melesat ke udara melalui jendela istana. Mereka terbang tinggi. Melewati kota, parit dan hutan-hutan.

Pagi-pagi buta, mereka sampai di pertanian, tempat Eliza di­titipkan. Mereka terbang berputar-putar di atasnya. Tetapi tak seorang pun melihatnya. Terpaksalah mereka meneruskan perjalanan. Terbang jauh tinggi di awan.

Eliza yang malang tinggal di pertanian. Kamarnya sangat sederhana. la bermain hanya dengan daun-daunan. Mainan lain, ia tidak punya, la membuat lubang kecil pada sehelai daun. Sambil memicingkan mata yang sebelah, diterawangkannya lubang daun itu ke matahari. Dengan demikian, seolah-olah ia melihat mata kakak-kakaknya. la teringat, dulu pipinya selalu dibelai-belai oleh kakak-kakaknya. Kini hanya matahari yang membelainya.

Hari berganti hari. Waktu lewat berlalu. Angin yang lewat di antara pohon mawar berbisik.

“Siapakah yang lebih cantik daripada bunga-bunga mawarmu?”

Maka bunga-bunga mawar itu tentu menjawab, “Tentu saja Eliza!”

Tiap Minggu pagi bibi petani selalu duduk membaca kitab sembahyangan di pintu depan.

Maka angin selalu bertanya kepada kitab itu, “Siapakah yang lebih suci daripadamu?

Kitab sembahyangan itu selalu menjawab, “Tentu saja Eliza!”

Lima belas tahun telah lewat. Eliza boleh pulang ke istana Permaisuri melihat, bagaimana cantiknya Eliza sekarang, la menjadi lebih benci lagi. la ingin sekali menyihir Eliza menjadi burung undan. Seperti kakak-kakaknya. Tetapi ia tidak berani. Karena raja ingin sekali berjumpa dengan puterinya.

Pagi-pagi permaisuri masuk ke kamar mandi. Kamar mandi itu amat indah. Terbuat dari batu marmer. Permaisuri itu menangkap tiga ekor katak buduk.

Kepada katak yang pertama ia berkata, “Jika Eliza datang untuk mandi, lompatlah ke atas kepalanya. Buatlah ia lamban seperti engkau.”

Kepada katak kedua ia berkata, “Lompatlah ke wajahnya, agar ia menjadi buruk seperti engkau.”

Kepada katak ketiga ia berkata, “Lompatiah ke dadanya, agar ia menjadi buruk tabiatnya.”

Ketiga katak itu dimasukkan ke dalam bak mandi. Seketika itu pula, airnya berubah menjadi kehijauan. Permaisuri lalu memanggil Eliza, ia disuruh membuka pakaiannya. Kemudian disuruh masuk ke dalam bak mandi. Katak yang pertama segera melompat. la duduk di atas kepala Eliza. Katak yang kedua duduk di atas dahi. Katak yang ketiga duduk di dada. Tetapi Eliza tidak menghiraukannya. Seolah-olah ia tak merasa apa-apa.

Tetapi, tiba-tiba, di atas air terapung tiga helai daun jelatang. Seandainya katak itu tidak beracun, tentu mereka akan berubah menjadi daun mawar. Apalagi jika mereka tidak disuruh oleh permaisuri!

Eliza memang suci murni. Oleh karena itu, pengaruh sihir yang paling jahatpun tak termakan olehnya!

Permaisuri yang jahat melihat kejadian itu. la menjadi amat jengkel. Eliza lalu dilumuri dengan air rendaman mahoni. Seluruh wajah dan kulitnya menjadi berwarna cokelat. Wajah Eliza diberi bedak hitam. Rambutnya disasak awut-awutan. Eliza berganti rupa. Tak seorang pun dapat mengenalnya. Ketika ayahnya, sang raja, melihat rupa Eliza, ia amat terkejut. Buruk amat rupa puterinya.

“Bukan, itu tentu bukan puteriku!” katanya.

Seluruh isi istana pun tidak mengenalnya. Hanya anjing penjaga istana yang tetap mengenalinya. Begitu juga burung-burung walet. Tetapi binatang-binatang tidak masuk hitungan! Mereka tak punya suara untuk ikut menentukan!

Eliza menangis terisak-isak. Hatinya amat sedih. la teringat akan kakak-kakaknya. Mereka telah pergi mengembara. Dengan sedih, Eliza meninggalkan istana. la mengembara tanpa tujuan. la terus berjalan, berjalan. Melalui sawah-ladang. Akhinya ia sampai ke hutan belantara. la tak tahu lagi ke mana harus pergi. Hatinya amat rindu kepada kakak-kakaknya. Mereka pun tentu telah diusir dari istana. Moga-moga saja mereka dapat saling bertemu.

Belum lama Eliza ada di dalam hutan, hari pun menjadi malam. Di sekelilingnya sunyi dan sepi sekali. Untungnya udara tidak dingin.

Eliza menengok ke kanan ke kiri. Terlihat banyak sekali kunang-kunang. Mereka berkelip-kelip kehijauan, seperti bintang-bintang kecil saja. Dengan hati-hati, Eliza menjentik sebatang dahan kecil. Sekelompok kunang-kunang lalu terbang turun, seperti bintang-bintang berpindah. Mereka turun menghampiri Eliza.

Sepanjang malam, Eliza memimpikan kakak-kakaknya. Seolah-olah mereka sedang bermain-main di istana. Kakak-ka­kaknya sedang menulis dengan sibuknya. Mereka menulis dengan pinsil intannya. Tetapi mereka bukan lagi menulis angka-angka nol dan garis-garis bengkok. Bukan! Mereka sedang sibuk menuliskan pengalaman-pengalamannya.

Buku gambar yang biasa dilihat-lihat Eliza kini menjadi hidup. Burung-burungnya terbang ke luar dari halaman buku! Me­reka benyanyi-nyanyi dan melompat-lompat. Orang-orang-nya pun mengajak berbicara! Berceritera dan bercakap-cakap kepada Eliza dan kakak-kakaknya. Tetapi ketika Eliza membalikkan halaman, semua burung dan orang melompat kembali ke dalam buku. Semuanya teratur, semuanya berurutan. Tak ada yang saling berbenturan.

Ketika Eliza bangun, hari sudah siang. la tak dapat melihat matahari. Daun-daun yang sangat lebat menutupinya. Tetapi sinar matahari dapat menerobos di sela-sela daun. Sinarnya amat terang, Eliza harus memicingkan matanya. Di sekelilingnya, yang tampak hanya warna hijau. Burung-burung berlompatan rendah di dahan-dahan. Kadang-kadang hampir menyentuh pundak Eliza.

Tidak seberapa jauh ada sumber air. Sumber air itu berupa sebuah danau kecil. Banyak anak sungai bersumber pada danau itu. Gemericik airnya terdengar nyata oleh Eliza. Tepi danau kecil itu pasirnya amat putih bersih. Beberapa langkah dari tepi, semak-semaknya amat lebat. Pada suatu tempat, seekor rusa menyelusup menguak semak-semak. Eliza berjalan mengikutinya, menuju ke tepi danau. Air danau itu ternyata amat jernih bagaikan kaca. Daun dan semak-semak terbayang nyata. Seperti gambar yang terhampar di atas tanah.

Tiba-tiba Eliza melihat bayangan wajahnya sendiri. la amat terkejut. Wajahnya amat buruk kecokelat-cokelatan! la mencuci tangannya. Tanpa sadar, tangan yang basah itu diusapkan ke wajahnya. Dengan segera warna cokelat itu luntur! Eliza lalu membuka pakaiannya. la masuk ke dalam air untuk mandi. Segera Eliza mengenali dirinya kembali.

Ia telah menjadi bersih dan cantik lagi seperti semula. la lalu minum dari salah satu sumber air. Setelah itu, ia berpakaian lagi. Eliza mulai berjalan lagi. la tak tahu arah tujuan. Wajah kakak-kakaknya terbayang lagi. la yakin, bahwa Tuhan tetap melindunginya. Baik dirinya, maupun kakak-kakaknya.

Belum jauh ia berjalan, ia menemukan sebatang pohon apel hutan. Buahnya lebat, sangat sarat pohon itu. Tuhan rupanya tidak melupakannya. Eliza tidak perlu kelaparan. Sebagai makan siang, ia makan buah apel. Dahan-dahan pohon apel melengkung sarat keberatan buah. Eliza lalu menopangnya agar jangan patah.

Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang ia sampai pada bagian hutan yang amat lebat. Suasananya sunyi sekali. Tak ada burung seekor pun yang berbunyi. Sinar matahari pun takdapat menembus lebat-nya daun-daun. Eliza merasa, seolah-olah ia di kurung dalam pagar yang sangat rapat. Batang-batang pohonnya pun besar-besar, tinggi-tinggi. Kesepiannya mencekam. Belum pernah ia mengalaminya.

Malam pun tiba. Sepi dan gelap sekali. Kunang-kunang seekor pun tak tampak. Hati Eliza menjadi sedih lagi. la merebahkan diri dengan hati yang berat. Tiba-tiba ia merasa, bahwa pohon-pohon besar itu menguak. Membukakan rimbunan dahan-dahannya. Maka tampaklah langit. Eliza merasa melihat wajah Tuhan. Wajah ramah dan murah hati memandanginya. Malaikat-malaikat kecil terlihat juga. Mereka memandang Eliza dari balik pundak Tuhan.

Ketika ia bangun pagi-pagi, ia tak mengerti. Apakah ia telah mimpi? Ataukah benar-benar terjadi? la lalu melanjutkan perjalanannya. Tak lama kemudian, ia berjumpa dengan seorang nenek-nenek. Nenek-nenek itu membawa sebuah bakul. Penuh berisi buah buni-bunian. la amat baik hati. Eliza diberinya makan buah-buahan itu. Eliza bertanya, apakah nenek pernah melihat sebelas orang putera raja yang lewat di hutan ini.

“Tidak,” jawab nenek itu.

“Aku belum pernah bertemu dengan mereka. Hanya kemarin aku melihat sebelas ekor burung undan. Mereka berenang di sungai. Tak begitu jauh dari sini. Semuanya memakai mahkota emas!”

Nenek itu menunjukkan sebuah jalan. Jalan itu ternyata menuju ke sebuah lereng. Di bawah lereng itu mengalir sebuah sungai. Pada kedua tepinya tumbuh pohon-pohon besar. Dahan-dahannya menjulur rendah di atas air. Beberapa pohon. di antaranya, akar-akarnya timbul dari dalam tanah menjalar-jalar ke tepi sungai.

Eliza mengucapkan selamat berpisah kepada nenek. Ia berjalan sepanjang tepi sungai. Kemudian ia sampai ke suatu pantai. Tempat sungai itu bermuara ke laut.

Eliza berdiri tertegun di pantai. la melihat lautan yang luas. Tetapi, kapal sebuah pun tak tampak olehnya. Bagaimanakah ia kini harus melanjutkan perjalanannya? Ia melihat batu-batu di dekat kakinya. Batu-batu kecil di atas pasir itu halus-halus semuanya. Kebanyakan bulat dan licin. la berpikir, batu-batu itu tentu kasar dan lancip dulunya. Tetapi air laut yang tak kenal lelah itu, dengan tekun mengasahnya. Berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun air itu menggosoknya menjadi licin.

Eliza menjadi sadar. Kalau begitu, ia pun harus berbuat tak kenal lelah.

“Terima kasih atas petunjukmu!” katanya kepada ombak-ombak itu.

la menjadi bertambah yakin. Kelak, pada suatu hari, ia pun tentu akan bertemu dengan kakak-kakaknya. la tak perlu berputus asa. Ia menemukan seberkas ganggang yang terdampar. Pada ganggang itu didapatinya sebelas helai bulu burung undan. Bulu-bulu itu lalu dirangkainya menjadi sebuah buket. Pada bulu-bulu itu terdapat beberapa tetes air. la tak tahu, apakah tetes-tetes itu air mata ataukah embun. Pantai itu sepi. Tetapi Eliza tak menyadarinya. Karena laut itu selalu bergerak berubah-ubah.

Jika ada mega yang pekat sedang lewat, laut itu seolah-olah berkata, “Aku pun dapat berubah menjadi kelam.”

Jika ada angin yang menghembus, ombak-ombak lalu memercikkan buih putih ke atas. Air laut itu selalu berubah. Kadang-kadang hijau kemilau rata. Kadang-kadang putih membuih, melajur berderet-deret. Jika angin sedang reda, sewaktu matahari senja memerah, permukaan laut itu bagaikan daun mawar muda yang lembut.

Senja mendatang. Eliza melihat sebelas ekor burung datang dari laut. Sebelas ekor burung undan, terbang rendah menuju ke pantai. Mereka melayang berurut-urutan. Bagaikan sehelai selendang panjang yang putih melayang di udara. Sebelas ekor burung undan itu memakai mahkota emas semuanya. Eliza menaiki sebuah bukit. la lalu bersembunyi di balik semak-semak. Burung-burung itu melayang turun dekat sekali.

Suara kepakan sayapnya terdengar nyata oleh Eliza. Desiran anginnya pun terasa pula. Tepat ketika matahari bersembunyi di balik laut, bulu-bulu burung undan itu rontok semuanya. Tampaklah sebelas orang anak-anak muda. Sebelas putera raja yang cakap-cakap. Itulah kakak-kakak Eliza!

Eliza menjerit dan lari menghampiri. Dipeluknya kakak-kakaknya. Satu demi satu disebutkan nama kakaknya. Kakak-kakaknya pun amat berbahagia mengenali kembali adiknya yang tersayang. Mereka kini telah menjadi besar-besar dan cakap-cakap. Mereka tertawa dan menangis berganti-ganti! Hatinya teramat gembira dan terharu. Mereka sependapat, bahwa perlakuan ibu tirinya sangat sewenang-wenang.

Kakak yang tertua berceritera, “Kami kakak-beradik, menjadi burung undan pada siang hari. Sepanjang hari itu, kami melayang-layang di udara. Menjelang senja, kami harus turun ke darat. Sebab, begitu matahari terbenam, kami berubah lagi menjadi manusia. Jika kami kemalaman di udara, amatlah berbahayanya! Kami tentu terhempas jatuh mati ke tanah. Jika kami telah berubah menjadi manusia, tentu saja kami tidak dapat terbang lagi! Jadi kami harus selalu menjaga, agar kami berubah menjadi manusia lagi di atas tanah.”

“Kita tidak tinggal di sini. Di seberang laut itu ada sebuah negeri yang bagus. Tetapi letaknya amat jauh. Di antara pantai ini dan negeri itu tak ada pulau sebuah pun. Hanya ada sebuah batu karang di tengah laut. Besarnya tak seberapa. Hanya cukup untuk kita duduk berdesak-desakan. Di batu karang itu­lah kami harus menginap.”

“Jika ombaknya besar, kami menjadi basah semua. Tetapi bagaimana pun, kami berterima kasih kepada Tuhan. la telah bermurah hati memberikan kami batu karang itu. Kami selalu menginap di batu karang itu. Jika tidak ada batu karang itu, apakah jadinya kami ini?”

“Di waktu malam, kami menjadi manusia lagi. Tentu saja tak dapat terbang. Dalam setahun, kami hanya dapat ke mari satu kali saja. Itu pun hanya selama sebelas hari. Lebih lama lagi kami tak berani. Di waktu sebelas hari itu, kami terbang tinggi melalui hutan itu.”

“Dari atas, kami dapat melihat istana. Tanah tumpah darah kita. Kami tetap menyukai segala pohon dan sawah-ladang di sini. Kami selalu bergembira melihat kuda berlari-lari di padang penggembalaan. Tepat seperti pada waktu kami masih kecil. Kami pun selalu teringat nyanyian si tukang arang. Inilah tanah tumpah darah kita. Kita pun telah menemukan engkau!”

“Kami hanya dapat tinggal dua hari lagi di sini. Lusa kami harus berangkat lagi. Terbang kembali ke negeri yang bukan tanah air kami. Tetapi, bagaimanakah kami dapat membawa engkau? Bagaimanakah caranya engkau dapat ikut ke sana? Kami tak mempunyai kapal maupun perahu!”

“Apakah yang dapat aku perbuat untuk membebaskan kalian?” tanya Eliza.

Mereka berunding hampir semalaman. Mereka hanya dapat tidur sebentar-sebentar. Eliza terbangun ketika ia mendengar suara sayap berkepak. Kakak-kakaknya telah berubah menjadi burung undan kembali. Mereka terbang berputar-putar di atas Eliza. Kemudian pergi entah ke mana. Hanya satu yang tinggal menemani Eliza. Kakaknya yang termuda. Mereka berdua tinggal bersama, selama ditinggalkan oleh kakak-kakaknya.

Ketika senja tiba, mereka datang kembali. Matahari segera terbenam. Mereka berubah lagi menjadi manusia.

“Besok kami harus berangkat lagi,” kata kakaknya yang tertua.

“Selama setahun yang mendatang, kami tak berani datang ke mari. Tetapi kami tak dapat meninggalkan Eliza. Beranikah engkau ikut kami, Eliza? Sayap-sayap kami bersama, tentu kuat mengangkat Eliza mengarungi laut.”

“Tentu saja,” jawab Eliza.

“Aku harus ikut.”

Malam itu mereka sibuk membuat semacam keranjang. Mereka menganyamnya dari rotan dan dahan-dahan yang liat. Keranjang itu cukup untuk Eliza. Tempat duduknya selama perjalanan. Menjelang pagi, keranjang itu telah selesai. Eliza lalu tidur di dalamnya. Ketika matahari terbit, mereka berubah menjadi burung undan kembali.

Bersama-sama mereka mengangkat keranjang itu. Masing-masing menggigit seutas tali dengan paruhnya. Tali itu diikatkan pada keranjang itu. Eliza terbangun, ketika mereka sedang melintas di atas laut. Matahari menyinari wajahnya. Salah seorang kakaknya lalu terbang memayunginya. Eliza merasa seperti mimpi saja. Duduk di keranjang, tinggi di antara awan, melintas lautan!

Eliza membetulkan letak duduknya. la merasa sesuatu di dasar keran­jang. Ternyata beberapa buah apel serta seikat ubi manis. Pemberian kakaknya yang termuda. Kakaknya yang paling sayang kepadanya. la tersenyum kepadanya. Menyampaikan rasa terima kasihnya.

Mereka terbang sangat tinggi. Sebuah kapal yang lewat di bawahnya, tampak sebagai seekor burung camar. Burung yang kecapaian. duduk mengaso di atas air. Di belakang mereka ada sebuah awan. Besar bagaikan sebuah gunung. Bayangan mereka jatuh pada awan itu. Nyata dan jelas. Suatu pemandangan yang amat indahnya. Belum pernah Eliza melihatnya. Matahari mulai merangkak tinggi di atasnya. Sekarang bayangan itu tak tampak lagi.

Sepanjang hari, mereka terbang bagaikan anak panah di udara. Tentu saja tidak secepat biasanya. Sebab, sekarang mereka harus membawa adiknya. Lambat laun udara menjadi gelap. Rupa-rupanya akan datang hujan dan angin. Senja pun sudah mendekat. Eliza mulai khawatir. la mengamati matahari mulai merendah di barat. Batu karang itu belum tampak juga! Eliza merasa, kakak-kakaknya menambah tenaga. Kepakan sayapnya terasa makin keras.

“Ya, Tuhan,” pikir Eliza.

“Semuanya adalah kesalahanku! Kakak-kakak tak dapat terbang cepat karena aku.”

Andaikata malam tiba, kakak-kakaknya berubah menjadi manusia. Tentulah mereka akan jatuh ke laut! Eliza segera berdoa. la mohon bantuan dari Tuhan. Ah! Batu karang itu belum tampak juga. Awan dan mendung mulai mendekat. Angin kencang pun mulai terasa meramalkan datangnya angina rebut. Sewaktu-waktu, kilat dan petir mulai menyambar-nyambar.

Ketika matahari telah tinggi, Eliza melihat sebuah gunung. Terbentang bagaikan melayang di awan. Pada batu-batu gunung itu, tampak bercahaya tumpukan-tumpukan es. Di antara batu dan es tampak berdiri sebuah puri. Besar dan luas, dikelilingi oleh pohon-pohon palem.

Di sana-sini pun terlihat bunga-bunga yang indah. Eliza menanyakan, apakah puri itulah yang menjadi tujuan mereka. Tetapi kakak-kakaknya menggelengkan kepala. Mereka berkata, itulah puri kediaman Peri Fatamorgana. Puri itu selalu berubah-ubah, bahkan kadang-kadang menghilang. Tak ada seorang pun berani datang mengunjungi.

Eliza terpesona. la tak henti-hentinya memandangi puri itu. Tiba-tiba saja puri itu lenyap. Runtuh hilang bersama kebun dan bunganya. Sebagai gantinya, kini muncul dua puluh buah menara gereja. Semuanya persis sama bentuknya. Tak ada yang berbeda satu pun. Eliza merasa, seolah-olah ia mendengar suara organ. Lambat dan sayup-sayup.

Sebenarnya itu adalah suara ombak laut. Kini gereja-gereja itu berubah lagi. Mereka berganti rupa menjadi suatu armada kapal layer. Tenang dan anggun berlayar di bawah mereka. Tiba-tiba saja kapal-kapal itu berubah rupa menjadi awan! Melayang-layang bagaikan kabut di bawah mereka. Itulah puri Peri Fatamorgana! la selalu menyesatkan orang.

Kini matahari tepat ada pada cakrawala. Eliza gemetar seluruh tubuhnya. Tepat pada waktu itu, kakak-kakaknya menukik ke bawah. Cepat sekali mereka menukik. Eliza menjadi takut, khawatir jatuh ke laut. Tetapi segera ia merasa bahwa mereka mulai melayang. Matahari sudah setengahnya masuk ke laut. Eliza merasa lega tiba-tiba. Tepat di bawahnya terlihatlah batu karang itu. Kecil amat tampaknya batu itu. Hanya sebesar punggung kerbau.

Matahari tak terlihat lagi. Tepat pada waktu itu mereka mendarat. Eliza baru tersadar, ketika ia telah berdiri di atas karang. Kakak-kakaknya berdiri mengelilinginya. Mereka berjaga, agar Eliza jangan jatuh ke dalam laut. Betapa tidak! Ombak telah mulai membesar. Memukul-mukul batu karang memecah, airnya muncrat membasahi mereka semua. Kadang-kadang langit menjadi terang benderang. Petir dan kilat nyambar sabung-menyabung. Mereka harus saling berpegangan dengan erat. Jika tidak demikian, mereka tentu jatuh ke dalam laut.

Ketika matahari terbit, mereka berangkat lagi. Kembali mereka terbang mengarungi angkasa. Laut masih penuh dengan ombak-ombak. Dilihat dari udara, buih ombak itu indah sekali. Seperti berjuta-juta angsa liar menari berderet di atas air.

Akhirnya tujuan mereka tampak di kejauhan. Gunung-gunung yang biru amat indah kelihatannya. Demikian juga hutan-hutan cemara dan kota-kotanya. Menjelang senja, ketika matahari telah rendah, mereka tiba di kaki sebuah bukit. Mereka menuju ke sebuah gua. Mulut gua itu rapat ditumbuhi tanaman menjalar. Gua itu amat dalam. Dinding-dindingnya penuh lumut. Amat indah, seperti permadani dinding yang hijau.

Kakaknya yang termuda berkata, “Nah, aku ingin tahu. Nanti malam engkau akan bermimpi apa!”

Eliza menjawab, “Ah, moga-moga saja! Moga-moga aku bermimpi, bagaimana menemukan cara untuk membebaskan Kakak-kakak dari pengaruh sihir. Aku selalu berpikir tentang hal itu.”

Dengan segera, ia pun mulai berdoa. Bahkan ketika ia telah tertidur, ia masih berdoa juga. la bermimpi, seolah-olah ia ter­bang. Tinggi, menuju ke puri Peri Fatamorgana. Peri itu datang menjemput sendiri, cantik dan cemerlang. Tetapi di dalam hati, Eliza merasa heran juga. Sepintas melihat, wajahnya seperti wajah nenek di hutan dulu. Nenek yang memberinya buah-buahan. Ya, yang berceritera tentang burung undan.

Peri itu berkata, “Kakak-kakakmu dapat kaubebaskan. Tetapi apakah engkau berani melakukan? Apakah engkau bisa bersabar? Ingat, air laut itu cair dan lunak. Lebih lunak dari kedua tanganmu. Tetapi air laut itu amat sabar. la sanggup mengasah batu menjadi licin dan halus. Laut memang amat sabar. Tetapi ia tidak dapat merasakan sakit dan pedih seperti tanganmu. Laut itu tidak mempunyai hati. la tidak merasakan suka dan duka seperti engkau.”

“Lihatlah daun-daun jelatang yang kupegang ini. Di sekitar sini ia banyak sekali. la juga tumbuh di kuburan. Hanya batang-batang jelatang ini yang dapat menolongmu. Cabutilah batang-batang jelatang. Tetapi ingat tanganmu akan melepuh gatal terbakar. Injak-injaklah jelatang itu. Engkau akan mendapatkan serat-seratnya. Tentu saja kakimu juga akan melepuh.”

“Buatlah serat jelatang sebanya-banyaknya. Tenunlah menjadi baju untuk kakak-kakakmu. Mereka segera menjelma menjadi manusia. Bebas dari pengaruh sihir.”

Sejenak kemudian Peri itu berkata lagi, “Tetapi engkau harus selalu ingat. Mulai sejak engkau mencabut batang jelatang, hingga selesai pekerjaan itu, engkau harus membisu. Engkau tidak boleh bercakap sepatah kata pun. Biarpun itu berlangsung bertahun-tahun. Sepatah kata saja keluar dari mulutmu, kakak-kakakmu akan mati tertusuk badik. Mati hidup kakak-kakakmu, tergantung dari engkau seorang!”

Peri itu lalu mengusap tangan Eliza dengan sebatang jelatang. Tangan itu segera terasa sakit dan melepuh. Eliza tersentak bangun. Ternyata hari telah menjadi pagi. Di dekat ia tidur, tumbuh sebatang pohon jelatang. Persis sama dengan yang dipegang Peri Fatamorgana. Eliza segera berlutut. la memanjatkan doa syukur kepada Tuhan.

la lalu keluar dari dalam gua. la segera akan memulai tugasnya! Membebaskan kakak-kakaknya. Kebetulan kakak-kakaknya telah terbang. Entah ke mana. Dengan tangannya, ia mencabuti pohon-pohon jelatang. Tangannya terasa sakit dan gatal. Melepuh-lepuh seperti terbakar. Tetapi ia menahan segala rasa sakit. Demi untuk membebaskan kakak-kakaknya, ia harus sanggup memikul segala derita. Batang-batang jelatang itu diinjak-injaknya, sehingga keluar serat-seratnya. Serat-serat itu dianyamnya untuk membuat baju.

Sore hari, kakak-kakaknya datang, Mereka terkejut sekali, karena Eliza telah menjadi bisu! Mereka mengira, adiknya tentu terkena sihir ibu tirinya yang jahat! Ketika mereka melihat kaki dan tangan Eliza, mereka tersentak sadar. Mereka sekarang mengerti semuanya.

Mereka sangat terharu akan kesetiaan adiknya. Demi untuk kebebasan diri mereka, adiknya mau menderita. Mereka menangis sambil mengusap-usap tangan dan kaki Eliza. Tetapi, air mata yang menetes ke luka Eliza, menghilangkan rasa sakitnya. Luka-luka itu hilang lenyap tersapu air mata!

Semalam suntuk Eliza terus bekerja. la belum mau berhenti, sebelum kakak-kakaknya terbebas dari pengaruh sihir. Siang berikutnya, kakak-kakaknya terbang sebagai burung undan. Tetapi Eliza terus bekerja seorang diri. Waktu dirasanya sangat cepat berlalu. la telah menyelesaikan sebuah baju. Segera ia memulai baju berikutnya.

Tiba-tiba terdengar suara sangkala perburuan. Eliza segera pula mendengar salak anjing. Dengan penuh ketakutan, E!za lari masuk ke dalam gua. Batang-batang jelatang itu diikatnya menjadi satu. la lalu duduk di atas tumpukan itu.

Sekonyong-konyong datang seekor anjing pemburu. Anjing itu keluar dengan melompat dari semak-semak. Besar dan galak. Segera pula menyusul anjing-anjing lainnya. Mereka menyalak-nyalak. Suaranya memekakkan. Mereka hanya menyalak-nyalak sebentar, lalu membalik pergi. Tetapi tak lama kemudian mereka datang lagi. Diikuti para pemburu. Di antara para pemburu itu terdapat baginda raja. Cakap dan masih muda. Melihat Eliza, raja itu turun dari kudanya. la lalu datang mendekat. la belum pernah melihat seorang puteri secantik itu.

la bertanya, “Bagaimana engkau sampai dapat datang di sini?”

Tetapi Eliza hanya menggeleng-gelengkan kepala. la masih tetap berpantang untuk bercakap-cakap. Tangannya pun disembunyikan di balik punggungnya. la tidak mau, bahwa raja itu tahu akan segala penderitaannya.

“Ikutlah aku,” kata raja itu.

“Jika budimu sebaik wajahmu engkau akan kuberi pakaian. Terbuat dari sutera dan beledu. Mungkin juga sebuah mahkota untuk kepalamu!”

Kemudian Eliza dinaikkan ke atas kudanya. Eliza menangis dan meronta-ronta.

Tetapi raja itu berkata, “Sudah, diamlah. Aku hanya mau menolongmu. Aku hanya ingin membuat engkau berbahagia. Nanti pada suatu ketika engkau tentu akan berterima kasih kepadaku.”

Raja itu lalu memacu kudanya. Kuda itu segera berlari cepat menerobos semak-semak. Semua pemburu mengiringinya dari belakang. Ketika matahari akan terbenam, mereka hampir sampai ke kota. Kota itu indah, besar, penuh dengan kubah-kubah. Raja itu lalu membawa Eliza masuk ke dalam istananya. Istana itu amat indah, bertiang marmar tinggi-tinggi. Halamannya luas, dihiasi dengan banyak air mancur. Dinding-dinding kamarnya berhiaskan lukisan-lukisan.

Tetapi Eliza tidak ingin melihat segala keindahan itu. Hatinya amat sedih. la pun menangis. Para dayang dan inang pengasuh datang untuk membantunya. la menerima saja dibantu memakai baju. la tak membantah sepatah kata pun. Segala pakaian itu indah-indah belaka. Penuh dengan hiasan ratna mutu manikam. Tangannya yang terbakar jelatang, dipakaikan sarung tangan yang lunak dan indah.

Ketika Eliza telah lengkap berpakaian, ia tegak berdiri di tengah ruangan. Semua isi istana serentak berlutut menghormat. Mereka semua kagum dan terpesona akan kecantikan Eliza. Raja yang masih muda itu, memilih Eliza untuk permaisurinya. Tetapi perdana menteri tidak sependapat. la mengira, bahwa Eliza adalah seorang tukang sihir. la tentu telah menyihir raja dengan kecantikannya!

Tetapi raja itu tak mau mendengarkan pendapat menteri itu. la segera memerintahkan musik istana memainkan lagu-lagunya. Jamuan pun segera dihidangkan. Gadis-gadis yang cantik menari-nari di sekelilingnya. Setelah itu, Eliza lalu dituntun berkeliling. Melihat-lihat taman yang indah-indah, ke luar masuk ruangan-ruangan yang bagus-bagus. Tetapi Eliza hanya diam saja. Mulutnya tetap bungkam. Matanya tak pernah memancarkan sinar kegirangan!

Kemudian raja itu menuntun Eliza masuk ke dalam kamar yang kecil. Tepat di sebelah kamar tidur Eliza. Kamar yang kecil itu amat mungil. Dihiasi dengan permadani yang serba hijau. Tampaknya hampir menyerupai benar dengan gua tempat tinggal bersama kakak-kakaknya. Di lantai terletak seikat serat jelatang. Seorang pemburu yang baik hati tak lupa membawakannya dari dalam gua. Di dinding tergantung baju dari serat jelatang. Itulah satu-satunya baju untuk kakak-kakaknya yang telah selesai dibuatnya.

Raja berkata, “Di sini engkau tentu akan kerasan. Berbuatlah sesuka hatimu. Engkau tentu teringat akan gua tempat tinggalmu. Di kamar ini engkau akan bebas meneruskan kebiasaanmu. Buatlah baju serat jelatang seperti dulu-dulu.”

Ketika Eliza melihat perlengkapan kamar itu, ia tersenyum. Tetapi juga hanya tersenyum! Sepatah pun tak keluar dari mu­lutnya! Pipinya yang pucat mulai menjadi merah lagi. Kini ia dapat meneruskan pekerjaannya. Untuk membebaskan kakak-kakaknya. Dengan penuh rasa terima kasih, diciumnya tangan raja.

Raja pun menjadi sangat bergirang hati. la segera memerintahkan membunyikan semua lonceng gereja. Sebagai tanda, bahwa segera akan dimulai pesta perkawinan. Anak perempuan yang bisu dari dalam gua, akan dinobatkan menjadi permaisuri!

Sekali lagi, perdana menteri membisikkan kata-kata tidak setuju. Tetapi baginda tak mau mendengarkannya. Bahkan baginda lalu memerintahkan, agar perdana menteri sendiri yang meletakkan mahkota ke atas kepala permaisuri! Perdana menteri menjadi sangat kesal. la menekankan mahkota itu keras sekali ke kepala permaisuri. Tentu saja Eliza merasa sakit. Tetapi ia tetap membungkam tidak mengaduh. la tetap ingat akan pantangannya. Sepatah kata saja, akan membawa kematian bagi kakak-kakaknya.

Hanya matanya yang bersinar-sinar. Memancarkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada raja. Hatinya ingin benar menyampaikan isi hatinya. la ingin menceriterakan, mengapa ia harus membisu. Tetapi ia tetap harus membisu. la harus dapat menyelesaikan tugasnya. Membuat baju serat jelatang untuk kakak-kakaknya.

Setiap malam, ia menyelinap masuk ke kamar kerjanya. Dengan tekun ia menenun. Menyelesaikan baju-baju itu. Sebuah demi sebuah. Ketika ia memulai baju yang ketujuh, persediaan seratnya telah habis.

Pohon jelatang banyak tumbuh di kuburan. Di dekat istana ada kuburan. Di sana pun banyak pohon jelatang. la tahu benar akan hal itu. Tetapi ia harus mencabutnya sendiri! Bagaimana caranya ia dapat melakukan itu?

la berpikir, “Mencabut jelatang itu bukan apa-apa. Rasa sakit aku sudah terbiasa. Demi kakak-kakakku, aku harus memberanikan diri. Tuhan tentu akan melindungiku, agar tidak ketahuan orang-orang istana.”

Malam itu bulan purnama. Dengan hati-hati ia menyelinap ke luar dari istana. Hatinya takut. Seolah-olah ia melakukan perbuatan terlarang. Dengan cepat ia menyusuri tembok istana.

la ke luar melalui jalan-jalan yang sepi. Akhirnya ia sampai juga ke kuburan. Pada salah satu batu nisan, dilihatnya se­kumpulan nenek-nenek. Mereka tentulah sekumpulan tukang sihir. Eliza harus lewat di dekatnya. Tukang-tukang sihir itu mengikuti dengan matanya. Mereka penuh dengan kecurigaan. Eliza memanjatkan doa di dalam hati. la segera mencabuti batang-batang jeiatang. Setelah dirasa cukup, cepat-cepat ia pulang ke istana.

Tetapi, bagaimana pun ia berhati-hatinya, seseorang telah melihatnya. Orang itu ialah perdana menteri sendiri. la memang sangat benci kepada Eliza. Setiap malam ia selalu berjaga-jaga. Sekarahg ia yakin, bahwa Eliza memang seorang tukang sihir. ia telah melihatnya sendiri. la merasa benar. Eliza, si tukang sihir, tentu telah menyihir raja dan seisi istana.

Pagi harinya, perdana menteri datang kepada raja, la menceriterakan apa yang dilihatnya semalam. Katanya, ia takut akan apa yang terjadi kelak. Bersemangat benar perdana menteri itu berceritera, hingga, potret-potret nenek moyang raja yang tergantung di dinding, semuanya menggelengkan kepala.

Seolah-olah mereka berkata, “Bohong! Jangan percaya! Eliza tidak salah!”

Perdana menteri juga melihat potret-potret menggelengkan kepaka. Tetapi ia mengira, bahwa mereka sedang menyesali segala dosanya. Raja itu mulai ragu-ragu. Pada kedua pipinya menetes dua butir air mata. Mulai malam itu, raja selalu berpura-pura tidur. Beberapa malam raja itu melihat Eliza selalu bangun meninggalkan kamar tidur. la lalu mengikutinya.

Makin hari wajah raja makin muram. Eliza pun menyadari. Tetapi ia tidak mengerti apa sebabnya. la memang mulai merasa khawatir. Tetapi kesetiaannya kepada kakak-kakaknya tidak boleh dikorbankan! la menjadi amat bersedih hati. Air matanya bercucuran. Jatuh berbutir-butir ke atas permadani. Bersinar-sinar bagaikan intan berlian.

Sementara itu, Eliza telah hampir selesai. Hanya tinggal sebuah baju lagi untuk kakaknya yang termuda. Tetapi persediaan serat jelatang telah habis lagi. Sekali lagi ia harus pergi ke kuburan. Sekali saja, cukup untuk menyelesaikan baju kakaknya. la harus mencabut jelatang itu. Tetapi ia amat takut. Perjalanan malam itu amat mengerikan. la amat takut kepada sekumpulan tukang sihir, yang duduk-duduk di atas batu nisan.

Eliza pergi juga! Perdana menteri bersama raja, diam-diam mengikutinya. Mereka melihat Eliza memasuki pintu kuburan. Mereka pun melihat rombongan tukang sihir. Dengan seketika raja memalingkan kepalanya. la tak mau melihat lebih lanjut. Kini ia tahu semua itu. la menjadi yakin akan perkataan perdana menteri. la yakin, bahwa Eliza adalah anggota rombongan tukang sihir di kuburan itu! la segera bergegas pulang ke istana.

Paginya ia mengeluarkan titah, “Biarlah rakyat yang mengadili.”

Rakyat lalu mengadakan sidang pengadilan.

Keputusannya ialah, “Permaisuri harus dihukum mati di atas api!”

Eliza harus segera meninggalkan kamar-kamarnya yang indah. Sekarang ia harus berdiam di dalam kamar tahanan. Dingin dan gelap. Kasur dan bantal ia tidak mendapat. Sebagai gantinya, ia harus tidur di atas tumpukan jelatangnya.

Tetapi itulah harapan satu-satunya. Itulah hiburan satu-satunya! Baju-baju serat jelatang itulah yang dibelanya mati-matian. Sambil menunggu pelaksanaan hukumannya, ia tekun meneruskan pekerjaannya. la pun selalu berdoa kepada Tuhan. Memohon pertolonganNya.

Di luar tembok penjara, ia mendengar rakyat mengejeknya. Mereka menyanyikan lagu-lagu sindiran. Tak seorang pun yang mau menegurnya dengan ramah. Menjelang suatu sore, Eliza mendengar kepakan sayap burung undan. Kakaknya yang termuda telah menemukan tempat tahanannya. Eliza tersedu-sedu karena girangnya. Mungkin ini adalah malam terakhir ia dapat bertemu dengan kakaknya. Tetapi bagaimana pun pekerjaannya hampir selesai. Kakak-kakaknya pun telah menemukannya!

Di kamar tahanan itu, Eliza kadang-kadang mendapat tamu. Tamu-tamu itu adalah tikus-tikus kecil. Mereka suka membantu Eliza. Mereka menyeret-nyeret serat jelatang ke dekat Eliza. Pada malam itu, seekor burung bulbul bernyanyi untuknya. Sepanjang malam ia bernyanyi di dekat jendela. Burung itu ingin mengatakan, agar Eliza jangan berputus asa.

Malam telah berlalu. Fajar segera menyingsing. Kesebelas kakak-kakaknya datang ke gerbang istana. Mereka memohon untuk menghadap raja. Tetapi para perwira melarangnya. Raja masih tidur. Tak seorang pun boleh membangunkannya. Kakak-kakak Eliza memohon dan meratap. Bahkan mengancam. Tetapi sia-sia.

Karena ribut-ribut itu, para penjaga datang mendekat. Bahkan raja sendiri datang juga. la bertanya, mengapa pagi-pagi buta ada ribut-ribut. Pada waktu itu juga matahari tersembul di atas cakrawala. Kesebelas kakak-kakak Eliza lenyap dari pandangan. Sebaliknya, kini tampak sebelas ekor burung undan. Indah bermahkota terbang melintas di atas istana. Seluruh rakyat negeri berduyun-duyun ke lapangan di luar kota. Mereka ingin menyaksikan pembakaran seorang tukang sihir.

Permaisuri dinaikkan ke atas sebuah kereta reot. Penariknya seekor kuda tua yang pincang. Permaisuri memakai baju dari karung. Rambutnya yang bagus terurai sampai ke pundaknya. Kedua belah pipinya pucat sebagai kertas. Bibirnya komat-kamit, tidak bersuara. Tetapi kedua tangannya sibuk menganyam serabut jelatang! Pada lantai kereta, di dekat kakinya, bertumpuk sepuluh buah baju serat jelatang.

Rakyat negeri itu berteriak-teriak, “Lihat tukang sihir itu! la berkomat-kamit seperti berdoa. Tetapi di tangannya bukan kitab doa-doa yang dipegangnya! Yang dipegang itu tentu alat-alat sihir. Rebut saja serat-serat itu. Cabik-cabik saja baju itu!”

Mereka berdesakan datang mendekat. Mereka hendak merebut baju serat jelatang. Itulah baju serat jelatang yang terakhir. Mereka berdesak-desak mengerumuni kereta. Tiba-tiba datanglah sebelas ekor burung undan dari udara. Mereka hinggap di sekeliling kereta. Mereka melindungi adiknya. Siapa yang berani mendekat, tentu dilabrak dengan sayap-sayap besar dan kuat itu. Orang-orang terkejut semua. Mereka mundur ketakutan.

Beberapa orang bahkan berbisik, “Ini tentu suatu pertanda dari surga! Permaisuri itu tentu tidak bersalah!”

Tetapi mereka hanya berbisik-bisik, tidak berani mengatakan keras-keras. Tiba-tiba kereta dihentikan. Seorang hakim datang. la mau menangkap permaisuri. Pada waktu itu juga, Eliza mengerudungkan baju-baju serat jelatang kepada kakak-kakaknya. Lenyaplah burung-burung undan itu. Kini berdiri sebelas orang putera raja di sekeliling kereta. Mereka masih muda dan tampan-tampan. Hanya yang termuda masih mempunyai sebuah sayap seperti malaikat! Hal itu terjadi, karena lengan bajunya memang masih kurang satu. Eliza tak sempat lagi menyelesaikannya.

“Kini sudah tiba saatnya aku boleh berbicara. Aku tidak ber­salah!”

Kakaknya yang tertua menyambung, “Benar! Ia tidak ber­salah!”

Kemudian ia berceritera panjang lebar. Apa yang sesungguhnya telah terjadi dengan mereka. Sementara ia berbicara, udara menjadi semerbak wangi. Tumpukan kayu, yang sedianya untuk membakar permaisuri, ternyata banyak yang mulai bersemi! Kayu-kayu itu tumbuh berakar dan bercabang. Dari.setiap cabang, mekarlah bunga-bunga mawar yang harum baunya. Tumpukan kayu itu telah berubah menjadi serumpun pohon mawar.

Di tengah-tengah, tumbuh sebatang yang menjulang paling tinggi. Pada puncaknya ada sekuntum mawar yang besar dan indah. Seperti sebuah bintang pada pohon natal! Raja lalu memetik bunga yang paling indah itu. Disematkannya bunga itu pada dada Eliza. Rasa damai dan bahagia segera menyelinap ke sanubari Eliza.

Tanpa ada yang membunyikan, lonceng-lonceng gereja mulai berdentang. Udara penuh dengan burung-burung beraneka warna. Mereka bernyanyi semerdu-merdunya. Iring-iringan pesakitan itu, kini berubah menjadi iring-iringan pengantin. Iring-iringan yang paling indah di seluruh dunia. Iring-iringan itu segera dibelokkan ke istana.