JIKA HAKIM TIDAK BERLAKU ADIL
Di kalangan Bani Israil, hidup seorang hakim yang senantiasa menghakimi berbagai permasalahan di tengah masyarakat dengan adil. Tatkala berada di ambang kematian, ia berkata kepada istrinya. “Kalau aku sudah mati, mandikanlah aku dan kafanilah. Tutupilah wajahku dan letakkanlah aku dalam sebuah peti. Insya Allah, engkau tak akan menyaksikan sesuatu yang buruk.”
Tatkala ia meninggal, istrinya mengurus jenazahnya sesuai perintahnya. Selang beberapa menit, ia menyingkapkan kain penutup wajahnya. Tiba-tiba ia melihat sekumpulan ulat menggerumuti wajahnya dan menggerogoti hidungnya. Ia merasa takut menyaksikan kejadian ini (segera menutup kembali wajah jenazah suaminya dan menguburkannya).
Pada malam itu, ia bermimpi melihat suaminya yang berkata, “Apakah engkau merasa takut terhadap apa yang dilakukan ulat-ulat itu?”
Wanita itu menjawab, “Ya.”
Sang Hakim berkata, “Demi Allah, pemandangan menakutkan itu disebabkan kecenderunganku pada saudaramu. Suatu hari, saudaramu bersengketa dengan seseorang dan datang kepadaku. Tatkala keduanya duduk di hadapanku dan memintaku menghakiminya, aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Ya Allah, berilah kebenaran pada pihak saudara isteriku.’ Sewaktu persengketaan mereka selesai diteliti, ternyata kebenaran berada di pihak saudaramu. Aku merasa senang. Dan ulat yang engkau saksikan itu merupakan balasan atas kecenderunganku pada saudaramu, sekalipun saudaramu berada di pihak yang benar. Namun saat itu aku tak mampu menjaga hawa nafsuku untuk bersikap netral.”
BERKHIDMATLAH AGAR KAMU BERTAKWA
“Kamu belum berbuat baik sebelum kamu menginfakkan apa yang kamu cintai” (QS. Ali Imran : 92).
INILAH sepenggal kisah Abu Said Abu Al-Khair, sufi besar yang hidup pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Konon, suatu hari muridnya datang menemui Abu Said. Dihadapan guru besar sufi itu ia berkata, “Guru, di tempat lain ada orang yang bisa terbang”. Abu Said menjawab, “Tidak aneh. Lalat juga bisa terbang.” “Guru, di sana ada orang yang bisa berjalan di atas air,” muridnya berkata lagi. Abu Said berkata,”Itu juga tak aneh. Katak pun bisa berjalan di atas air”. Muridnya berujar lagi, “Guru, di negeri itu ada orang yang bisa berada di beberapa tempat sekaligus”. Abu Said menjawab, “Yang paling pintar seperti itu adalah setan. Ia bisa berada di hati jutaan manusia dalam waktu bersamaan”. Murid-muridnya bingung dan bertanya, “Kalau begitu Guru, bagaimana cara yang paling cepat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT?” Ternyata, muridnya beranggapan bahwa orang yang dekat kepada Allah SWT itu adalah orang yang memiliki berbagai keajaiban dan kekuatan supra natural. Abul Said Abul Khair menjawab, “Banyak jalan untuk mendekati Tuhan; sebanyak bilangan nafas para pencari Tuhan. Tetapi jalan yang paling dekat kepada Allah adalah engkau bahagiakan orang lain di sekitarmu dengan berkhidmat kepada mereka.”
Dengan kalimat itu, Abu Said ingin menunjukkan kepada kita tentang ciri orang takwa. Dalam pandangan Abu Said, orang takwa tidak dicirikan oleh keajaiban dan kekuatan supra natural. Orang takwa adalah mereka yang menghabiskan hidupnya untuk berkhidmat kepada sesama makhluk Tuhan. Al-Quran menyebutnya dengan istilah jihad dan dilakukan dengan dua hal; bi amwalikum wa anfusikum, dengan harta dan jiwa kita. Di dalam konteks ini, Al-Quran selalu menyebutkan kata amwalikum (hartamu) sebelum anfusikum (jiwamu).
Al-Quran mengajarkan kita untuk berkhidmat dengan harta sebelum dengan jiwa. Banyak di antara kita yang sering rela mengorbankan nyawa tetapi tidak rela mengorbankan hartanya. Manusia sering mengorbankan kesehatannya, tubuhnya, bahkan jiwanya demi harta. Oleh karena itu, perkhidmatan dengan harta di dalam Islam lebih didahulukan daripada perkhidmatan dengan jiwa. Karena itu, perkhidmatan dengan harta (mengeluarkan zakat) menjadi salah satu rukun Islam.
Dalam menjelaskan karakteristik orang takwa, Al-Quran selalu menyebut perihal zakat atau infak di jalan Allah sebagai salah satu cirinya. Surat Al-Baqarah ayat 2-4 menyebutkan ciri-ciri orang takwa sebagai orang yang mengimani yang gaib, menegakkan salat, mengeluarkan infak, dan mengimani kitab-kitab terdahulu. Kemudian dalam surat Ali Imran ayat 133, Allah berfirman: “Bersegeralah kamu kepada ampunan Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi; yang disediakan bagi orang-orang yang takwa, yaitu mereka yang menginfakkan hartanya, baik dalam suka dan duka; yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain.
Tanda-tanda orang takwa juga disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 177: “Bukanlah kebajikan itu kamu menghadap ke Timur dan ke Barat, tetapi yang disebut kebajikan itu ialah kamu beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada karib kerabat yang dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, peminta-minta, dan yang memerdekakan hamba sahaya dan mengerjakan salat, mengeluarkan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan dan penderitaan, dan orang-orang yang tabah di dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang takwa.”
Selain Al-Quran, ciri orang juga digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya. Nabi bersabda, “Memenuhi keperluan seorang mukmin lebih Allah cintai daripada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakkan ratusan ribu dirham atau dinar”. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menyebutkan, “Jika seorang muslim berjalan memenuhi keperluan sesama muslim, itu lebih baik baginya daripada melakukan tujuh puluh kali thawaf di Baitullah.”
Dalam hadis Qudsi, Tuhan berfirman, “Semua makhluk adalah keluargaku. Dan di antara makhluk-makhluk itu yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling santun dan sayang terhadap hamba-hamba-Ku yang lain, serta senang memenuhi keperluan mereka.”
Ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa menginfakkan harta selalu disebut sebagai ciri orang takwa. Sementara mengerjakan shalat sebagai karakteristik orang takwa tidak selalu disebutkan dalam ayat dan hadis itu.
Ketika turun ayat: “Kamu belum berbuat baik sebelum kamu menginfakkan apa yang kamu cintai” (QS. Ali Imran : 92), Thalhah, seorang sahabat Nabi, datang menemui Nabi dan berkata, “Ya Rasulallah, tak ada harta yang paling saya cintai selain kebun di samping masjid ini. Sekarang saya infakkan kebun ini di jalan Allah setelah saya mendengar ayat 92 surat Ali Imran.”
Setelah mendengar ayat itu, sebaiknya di bulan yang penuh berkah ini, kita juga bersegera menginfakkan harta yang paling kita cintai. Karena bila kita tidak melakukannya, kita belum mencapai kebajikan dan karena itu, pastilah kita tidak termasuk orang takwa.
SAYYIDINA ALI PINTU KENABIAN
Ini sepenggal kisah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw. Suatu hari Anas bin Malik menyaksikan seorang Yahudi yang datang menghadap Khalifah Abu Bakar dan berkata, “Aku ingin bertemu dengan khalifah Rasulullah SAW.” Para sahabat membawanya kepada Khalifah Abu Bakar. Di hadapan Abu Bakar, orang Yahudi berkata, “Anda khalifah Rasulullah SAW?”
Khalifah Abu Bakar berkata, “Ya, tidakkah kamu melihat aku di tempat dan mihrab beliau?” Orang Yahudi itu berkata, “Jika Anda sebagaimana yang Anda katakan, wahai Khalifah Abu Bakar. Aku ingin bertanya kepada Anda tentang beberapa masalah.” Khalifah berkata, “Bertanyalah semaumu!”
Orang Yahudi itu bertanya, “Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang tidak dimiliki Allah, yang tidak ada pada Allah dan yang tidak Allah ketahui?” Khalifah berkata, “Itu adalah masalah-masalah orang zindiq (atheis) wahai orang Yahudi!”
Waktu itu, orang-orang Muslim hendak membunuh orang Yahudi itu. Ibnu Abbas segera berteriak dan berkata, “Wahai Khalifah Abu Bakar, janganlah tergesa-gesa membunuhnya!” Khalifah Abu Bakar berkata, “Tidakkah kamu mendengar apa yang telah dikatakannya?”
Ibnu Abbas berkata, “Kalau Anda mempunyai jawabannya, jawablah! Jika tidak, keluarkan dia ke tempat yang dia sukai.” Akhirnya mereka mengusirnya. Yahudi itu berkata, “Semoga Allah melaknat suatu kaum yang duduk bukan pada tempatnya. Mereka hendak membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk dibunuh tanpa pengetahuan.” Dia pun akhirnya keluar seraya sesumbar, “Wahai manusia Islam telah sirna. Mereka tidak dapat menjawab. Mana Rasulullah dan Khalifah Rasulullah?”
Ibnu Abbas mengikuti orang Yahudi itu dan berkata kepadanya, “Pergilah kepada ilmu kenabian dan ke rumah kenabian Sayyidina Ali bin Abi Thalib!” Sementara itu, Khalifah Abu Bakar dan kaum Muslimin mencari orang Yahudi itu. Mereka mendapatkannya di jalan dan membawanya kepada Sayyidin Ali bin Abi Thalib. Mereka meminta izin darinya untuk masuk. Orang-orang berkumpul. Sebagian ada yang menangis dan sebagian lagi tertawa. Khalifah Abu Bakar berkata, “Wahai Abu al-Hasan, orang Yahudi ini bertanya kepadaku beberapa masalah dari masalah orang-orang zindiq (atheis).”
Sayyidina Ali berkata, “Wahai orang Yahudi apa yang kamu katakan?” “Aku bertanya tetapi Anda akan berbuat yang serupa dengan perbuatan mereka.” Sayyidina Ali berkata, “Apa yang hendak mereka perbuat?” Yahudi itu berkata, “Mereka ingin membunuhku!” Sayyidina Ali berkata, “Jangan khawatir. Tanyalah semaumu!”
Orang Yahudi itu berkata, “Pertanyaan ini tidak diketahui jawabannya kecuali oleh seorang nabi dan pengganti nabi.” Sayyidina Ali berkata, “Tanyalah sesukamu.” “Jawablah tentang sesuatu yang tidak dimiliki Allah, dan sesuatu yang tidak ada pada Allah, serta sesuatu yang tidak diketahui Allah?”, tanya orang Yahudi.
Sayyidina Ali menjawab, “Dengan syarat wahai saudara Yahudi!. “Apa syaratnya?”, tanyanya. Sayyidina Ali berkata, “Kamu mengucapkan bersamaku dengan benar dan ikhlas, “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Yahudi itu berkata, “Baik, wahai tuanku.” Sayyidina Ali berkata, “Wahai saudara Yahudi. Adapun pertanyaanmu tentang sesuatu yang tidak dimiliki Allah adalah istri dan anak.”
Orang Yahudi itu terperangah. Ia berkata, “Anda benar, wahai tuanku.” “Adapun pertanyaan kamu tentang sesuatu yang tidak ada pada Allah adalah kezaliman.” “Sedangkan pertanyaanmu tentang sesuatu yang tidak diketahui Allah adalah sekutu dan kawan. Dia Mahamampu atas segala sesuatu”, jawab Sayyidina Ali.
Mendengar jawaban Sayyidina Ali, saat itu juga ia berkata, “Ulurkan tanganmu, aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Anda adalah khalifahnya (penggantinya) dan pewarisnya.”
Orang-orang serantak bersorak senang. Khalifah Abu Bakar berkata, “Wahai penyingkap kesedihan, wahai Ali engkau adalah pelegah kegelisahan dan penghilang dahaga”.
Cukuplah disini saya kutipkan perkataan Imam Syafi’i dan Ibn Sina tentang Ali. Imam Syafi’i berkata, “Apa yang bisa kukatakan tentang seseorang yang memiliki tiga sifat bergandengan dengan tiga sifat lainnya, yang tak pernah ditemukan bergandengan dalam diri siapa pun. Kedermawanan dengan kefakiran, keberanian dengan kecerdas-bijakan, dan pengetahuan teoritis dengan kecakapan praktis”. Sedang Ibn Sina berucap, “Imam Ali dan Al-Quran merupakan dua mukjizat Nabi SAW Kehidupan Imam Ali pada setiap fase sejarah Islam menjadi sebuah cermin – layaknya cerminan kehidupan Sang Nabi”.
Di kalangan Bani Israil, hidup seorang hakim yang senantiasa menghakimi berbagai permasalahan di tengah masyarakat dengan adil. Tatkala berada di ambang kematian, ia berkata kepada istrinya. “Kalau aku sudah mati, mandikanlah aku dan kafanilah. Tutupilah wajahku dan letakkanlah aku dalam sebuah peti. Insya Allah, engkau tak akan menyaksikan sesuatu yang buruk.”
Tatkala ia meninggal, istrinya mengurus jenazahnya sesuai perintahnya. Selang beberapa menit, ia menyingkapkan kain penutup wajahnya. Tiba-tiba ia melihat sekumpulan ulat menggerumuti wajahnya dan menggerogoti hidungnya. Ia merasa takut menyaksikan kejadian ini (segera menutup kembali wajah jenazah suaminya dan menguburkannya).
Pada malam itu, ia bermimpi melihat suaminya yang berkata, “Apakah engkau merasa takut terhadap apa yang dilakukan ulat-ulat itu?”
Wanita itu menjawab, “Ya.”
Sang Hakim berkata, “Demi Allah, pemandangan menakutkan itu disebabkan kecenderunganku pada saudaramu. Suatu hari, saudaramu bersengketa dengan seseorang dan datang kepadaku. Tatkala keduanya duduk di hadapanku dan memintaku menghakiminya, aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Ya Allah, berilah kebenaran pada pihak saudara isteriku.’ Sewaktu persengketaan mereka selesai diteliti, ternyata kebenaran berada di pihak saudaramu. Aku merasa senang. Dan ulat yang engkau saksikan itu merupakan balasan atas kecenderunganku pada saudaramu, sekalipun saudaramu berada di pihak yang benar. Namun saat itu aku tak mampu menjaga hawa nafsuku untuk bersikap netral.”
BERKHIDMATLAH AGAR KAMU BERTAKWA
“Kamu belum berbuat baik sebelum kamu menginfakkan apa yang kamu cintai” (QS. Ali Imran : 92).
INILAH sepenggal kisah Abu Said Abu Al-Khair, sufi besar yang hidup pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Konon, suatu hari muridnya datang menemui Abu Said. Dihadapan guru besar sufi itu ia berkata, “Guru, di tempat lain ada orang yang bisa terbang”. Abu Said menjawab, “Tidak aneh. Lalat juga bisa terbang.” “Guru, di sana ada orang yang bisa berjalan di atas air,” muridnya berkata lagi. Abu Said berkata,”Itu juga tak aneh. Katak pun bisa berjalan di atas air”. Muridnya berujar lagi, “Guru, di negeri itu ada orang yang bisa berada di beberapa tempat sekaligus”. Abu Said menjawab, “Yang paling pintar seperti itu adalah setan. Ia bisa berada di hati jutaan manusia dalam waktu bersamaan”. Murid-muridnya bingung dan bertanya, “Kalau begitu Guru, bagaimana cara yang paling cepat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT?” Ternyata, muridnya beranggapan bahwa orang yang dekat kepada Allah SWT itu adalah orang yang memiliki berbagai keajaiban dan kekuatan supra natural. Abul Said Abul Khair menjawab, “Banyak jalan untuk mendekati Tuhan; sebanyak bilangan nafas para pencari Tuhan. Tetapi jalan yang paling dekat kepada Allah adalah engkau bahagiakan orang lain di sekitarmu dengan berkhidmat kepada mereka.”
Dengan kalimat itu, Abu Said ingin menunjukkan kepada kita tentang ciri orang takwa. Dalam pandangan Abu Said, orang takwa tidak dicirikan oleh keajaiban dan kekuatan supra natural. Orang takwa adalah mereka yang menghabiskan hidupnya untuk berkhidmat kepada sesama makhluk Tuhan. Al-Quran menyebutnya dengan istilah jihad dan dilakukan dengan dua hal; bi amwalikum wa anfusikum, dengan harta dan jiwa kita. Di dalam konteks ini, Al-Quran selalu menyebutkan kata amwalikum (hartamu) sebelum anfusikum (jiwamu).
Al-Quran mengajarkan kita untuk berkhidmat dengan harta sebelum dengan jiwa. Banyak di antara kita yang sering rela mengorbankan nyawa tetapi tidak rela mengorbankan hartanya. Manusia sering mengorbankan kesehatannya, tubuhnya, bahkan jiwanya demi harta. Oleh karena itu, perkhidmatan dengan harta di dalam Islam lebih didahulukan daripada perkhidmatan dengan jiwa. Karena itu, perkhidmatan dengan harta (mengeluarkan zakat) menjadi salah satu rukun Islam.
Dalam menjelaskan karakteristik orang takwa, Al-Quran selalu menyebut perihal zakat atau infak di jalan Allah sebagai salah satu cirinya. Surat Al-Baqarah ayat 2-4 menyebutkan ciri-ciri orang takwa sebagai orang yang mengimani yang gaib, menegakkan salat, mengeluarkan infak, dan mengimani kitab-kitab terdahulu. Kemudian dalam surat Ali Imran ayat 133, Allah berfirman: “Bersegeralah kamu kepada ampunan Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi; yang disediakan bagi orang-orang yang takwa, yaitu mereka yang menginfakkan hartanya, baik dalam suka dan duka; yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain.
Tanda-tanda orang takwa juga disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 177: “Bukanlah kebajikan itu kamu menghadap ke Timur dan ke Barat, tetapi yang disebut kebajikan itu ialah kamu beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada karib kerabat yang dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, peminta-minta, dan yang memerdekakan hamba sahaya dan mengerjakan salat, mengeluarkan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan dan penderitaan, dan orang-orang yang tabah di dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang takwa.”
Selain Al-Quran, ciri orang juga digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya. Nabi bersabda, “Memenuhi keperluan seorang mukmin lebih Allah cintai daripada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakkan ratusan ribu dirham atau dinar”. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menyebutkan, “Jika seorang muslim berjalan memenuhi keperluan sesama muslim, itu lebih baik baginya daripada melakukan tujuh puluh kali thawaf di Baitullah.”
Dalam hadis Qudsi, Tuhan berfirman, “Semua makhluk adalah keluargaku. Dan di antara makhluk-makhluk itu yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling santun dan sayang terhadap hamba-hamba-Ku yang lain, serta senang memenuhi keperluan mereka.”
Ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa menginfakkan harta selalu disebut sebagai ciri orang takwa. Sementara mengerjakan shalat sebagai karakteristik orang takwa tidak selalu disebutkan dalam ayat dan hadis itu.
Ketika turun ayat: “Kamu belum berbuat baik sebelum kamu menginfakkan apa yang kamu cintai” (QS. Ali Imran : 92), Thalhah, seorang sahabat Nabi, datang menemui Nabi dan berkata, “Ya Rasulallah, tak ada harta yang paling saya cintai selain kebun di samping masjid ini. Sekarang saya infakkan kebun ini di jalan Allah setelah saya mendengar ayat 92 surat Ali Imran.”
Setelah mendengar ayat itu, sebaiknya di bulan yang penuh berkah ini, kita juga bersegera menginfakkan harta yang paling kita cintai. Karena bila kita tidak melakukannya, kita belum mencapai kebajikan dan karena itu, pastilah kita tidak termasuk orang takwa.
SAYYIDINA ALI PINTU KENABIAN
Ini sepenggal kisah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw. Suatu hari Anas bin Malik menyaksikan seorang Yahudi yang datang menghadap Khalifah Abu Bakar dan berkata, “Aku ingin bertemu dengan khalifah Rasulullah SAW.” Para sahabat membawanya kepada Khalifah Abu Bakar. Di hadapan Abu Bakar, orang Yahudi berkata, “Anda khalifah Rasulullah SAW?”
Khalifah Abu Bakar berkata, “Ya, tidakkah kamu melihat aku di tempat dan mihrab beliau?” Orang Yahudi itu berkata, “Jika Anda sebagaimana yang Anda katakan, wahai Khalifah Abu Bakar. Aku ingin bertanya kepada Anda tentang beberapa masalah.” Khalifah berkata, “Bertanyalah semaumu!”
Orang Yahudi itu bertanya, “Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang tidak dimiliki Allah, yang tidak ada pada Allah dan yang tidak Allah ketahui?” Khalifah berkata, “Itu adalah masalah-masalah orang zindiq (atheis) wahai orang Yahudi!”
Waktu itu, orang-orang Muslim hendak membunuh orang Yahudi itu. Ibnu Abbas segera berteriak dan berkata, “Wahai Khalifah Abu Bakar, janganlah tergesa-gesa membunuhnya!” Khalifah Abu Bakar berkata, “Tidakkah kamu mendengar apa yang telah dikatakannya?”
Ibnu Abbas berkata, “Kalau Anda mempunyai jawabannya, jawablah! Jika tidak, keluarkan dia ke tempat yang dia sukai.” Akhirnya mereka mengusirnya. Yahudi itu berkata, “Semoga Allah melaknat suatu kaum yang duduk bukan pada tempatnya. Mereka hendak membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk dibunuh tanpa pengetahuan.” Dia pun akhirnya keluar seraya sesumbar, “Wahai manusia Islam telah sirna. Mereka tidak dapat menjawab. Mana Rasulullah dan Khalifah Rasulullah?”
Ibnu Abbas mengikuti orang Yahudi itu dan berkata kepadanya, “Pergilah kepada ilmu kenabian dan ke rumah kenabian Sayyidina Ali bin Abi Thalib!” Sementara itu, Khalifah Abu Bakar dan kaum Muslimin mencari orang Yahudi itu. Mereka mendapatkannya di jalan dan membawanya kepada Sayyidin Ali bin Abi Thalib. Mereka meminta izin darinya untuk masuk. Orang-orang berkumpul. Sebagian ada yang menangis dan sebagian lagi tertawa. Khalifah Abu Bakar berkata, “Wahai Abu al-Hasan, orang Yahudi ini bertanya kepadaku beberapa masalah dari masalah orang-orang zindiq (atheis).”
Sayyidina Ali berkata, “Wahai orang Yahudi apa yang kamu katakan?” “Aku bertanya tetapi Anda akan berbuat yang serupa dengan perbuatan mereka.” Sayyidina Ali berkata, “Apa yang hendak mereka perbuat?” Yahudi itu berkata, “Mereka ingin membunuhku!” Sayyidina Ali berkata, “Jangan khawatir. Tanyalah semaumu!”
Orang Yahudi itu berkata, “Pertanyaan ini tidak diketahui jawabannya kecuali oleh seorang nabi dan pengganti nabi.” Sayyidina Ali berkata, “Tanyalah sesukamu.” “Jawablah tentang sesuatu yang tidak dimiliki Allah, dan sesuatu yang tidak ada pada Allah, serta sesuatu yang tidak diketahui Allah?”, tanya orang Yahudi.
Sayyidina Ali menjawab, “Dengan syarat wahai saudara Yahudi!. “Apa syaratnya?”, tanyanya. Sayyidina Ali berkata, “Kamu mengucapkan bersamaku dengan benar dan ikhlas, “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Yahudi itu berkata, “Baik, wahai tuanku.” Sayyidina Ali berkata, “Wahai saudara Yahudi. Adapun pertanyaanmu tentang sesuatu yang tidak dimiliki Allah adalah istri dan anak.”
Orang Yahudi itu terperangah. Ia berkata, “Anda benar, wahai tuanku.” “Adapun pertanyaan kamu tentang sesuatu yang tidak ada pada Allah adalah kezaliman.” “Sedangkan pertanyaanmu tentang sesuatu yang tidak diketahui Allah adalah sekutu dan kawan. Dia Mahamampu atas segala sesuatu”, jawab Sayyidina Ali.
Mendengar jawaban Sayyidina Ali, saat itu juga ia berkata, “Ulurkan tanganmu, aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Anda adalah khalifahnya (penggantinya) dan pewarisnya.”
Orang-orang serantak bersorak senang. Khalifah Abu Bakar berkata, “Wahai penyingkap kesedihan, wahai Ali engkau adalah pelegah kegelisahan dan penghilang dahaga”.
Cukuplah disini saya kutipkan perkataan Imam Syafi’i dan Ibn Sina tentang Ali. Imam Syafi’i berkata, “Apa yang bisa kukatakan tentang seseorang yang memiliki tiga sifat bergandengan dengan tiga sifat lainnya, yang tak pernah ditemukan bergandengan dalam diri siapa pun. Kedermawanan dengan kefakiran, keberanian dengan kecerdas-bijakan, dan pengetahuan teoritis dengan kecakapan praktis”. Sedang Ibn Sina berucap, “Imam Ali dan Al-Quran merupakan dua mukjizat Nabi SAW Kehidupan Imam Ali pada setiap fase sejarah Islam menjadi sebuah cermin – layaknya cerminan kehidupan Sang Nabi”.
No comments:
Post a Comment