Berkah Sebuah Delima
Seperti diketahui, puteri Rasulullah SAW yang bernama Fatimah Az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu. Mereka bukanlah termasuk keluarga yang kaya. Fatimah sendiri adalah satu-satunya puteri Nabi yang mendampingi ayahnya dalam seluruh perjuangan beliau di dalam menyebarkan agama Islam.
Fatimah menyaksikan dengan kedua matanya ketika ayahnya dimusuhi dan dianiaya kaum kafir Quraisy. Dialah yang membersihkan kotoran unta yang sengaja diletakan oleh kaum kafir itu di punggung Rasulullah ketika beliau sedang shalat. Ia pula yang menyambut ayahandanya yang tercinta ketika beliau kembali dari berdakwah di kota Tha’if dalam keadaan kepalanya berdarah akibat lemparan batu penduduk Tha’if yang tak mau beriman. Setiap kali Rasulullah hendak berangkat berperang, Fatimah senantiasa menyiapkan segala perbekalan yang diperlukan ayahnya.
Suatu kali, Rasulullah SAW, dan kaum Muslimin tengah menggali parit perlindungan sebelum berhadapan dengan kaum Quraisy dalam suatu peperangan yang kemudian dikenal sebagai perang Khandaq (Perang Parit). Parit-parit itu sengaja dibuat, karena kekuatan tentara musuh jauh lebih besar daripada kekuatan tentara kaum Muslimin. Dengan parit itu, dimaksudkan agar tentara musuh tidak langsung berhadapan dengan tentara Muslimin, melainkan mereka harus terlebih dahulu melalui parit yang lebar itu sebelum menyerang. Taktik itu adalah hasil usulan dari sahabat Nabi yang bernama Salman al-Farisi.
Dalam menyelesaikan penggalian parit tersebut, tak seorang pun yang duduk termangu. Kaum Muslimin, termasuk Rasulullah SAW sendiri, bahu-membahu mengerjakannya.
Di saat seperti itu, Fatimah datang menghampiri ayahnya, kemudian menyerahkan sepotong roti kepada beliau. Melihat roti yang diulurkan puteri kesayangannya, Rasulullah berkata: “Wahai Fatimah, inilah makanan pertama yang masuk ke perut ayamu sejak tiga hari yang lalu.”
Kecntaan Fatimah kepada ayahnya tidak perlu diragukan lagi. Rasulullah pun sangat mencintai puterinya itu, sehingga seringkali beliau memuji Fatimah dengan berkata: ”Fatimah adalah dari aku, dan aku adalah bagian dari Fatimah. Siapa yang membuat dia bahagia berarti membuat aku bahagia; dan siapa yang membuat dia marah, berarti membuat aku marah.”
Rausulullah SAW, juga pernah berkata kepada puterinya itu: “Sesungguhnya Allah murka karena kemarahanmu, dan ridha karena kesukaanmu.”
Imam Ali bin Abi Thalib, selaku suaminya, mengetahui benar tentang hal itu. Ia pun sangat menyayangi isterinya, sangat memperhatikannya, dan memperlakukannya dengan baik. Ia merasa diberi amanat oleh Rasulullah SAW, dengan menikahi Fatimah. Fatimah pun berbuat sama terhadap suaminya. Maka tak heran apabila keluarga tersebut sangat serasi.
Tentang kecintaan dan perhatian Imam Ali terhadap isterinya itu, dapat dilihat dengan mudah dari suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa itu.
Suatu hari, Fatimah jatuh sakit. Imam Ali menjadi sedih, turut merasakan sakit yang diderita istrinya. Tak henti-hentinya ia menengok Fatimah, bahkan berhari-hari tak beranjak dari sisinya. Ia menyiapkan semua keperluan yang dibutuhkan Fatimah, dan menggantikan tugasnya selama ia sakit.
“Beristirahatlah, wahai Fatimah, agar sakitmu segera hilang,” kata Imam Ali kepada isterinya.
“Aku telah cukup beristirahat, sampai-sampai aku malu apabila melihatmu mengerjakan tugas-tugas seorang ibu,” jawab Fatimah dengan sura lirih.
“Jangan pikirkan itu. Bagiku semua itu sangat menyenangkan. Lagi pula, setelah engkau sembuh nanti, semua tugas, engkaulah yang akan mengerjakannya.”
“Tapi, sudah terlalu lama rasanya engkau menggantikan pekerjaanku…”
“Jangan pikirkan itu, kataku. Aku melakukan segalanya dengan senang hati. Percayalah…”
“Engkau sungguh suami yang mulia…”
Fatimah berkata sambil matanya berkaca-kaca.
“Wahai …adakah engkau menginginkan sesuatu?” tanya Imam Ali dengan tiba-tiba.
Fatimah terdiam sebentar, kemudian berkata: “Sesungguhnya sudah beberapa hari ini aku menginginkan buah delima.”
“Baiklah, aku akan membawakannya untukmu dengan rezeki yang diberikan Allah kepadaku,” kata Imam Ali, sambil bersiap keluar rumah. Tanpa membuang waktu, Imam Ali langsung berangkat menuju pasar, meskipun dengan uang pas-pasan. Dan sesampainya di pasar, ia pun langsung membeli sebuah delima, karena uangnya memang hanya cukup untuk sebuah delima, tidak lebih!
Di tengah perjalanan pulang, Imam Ali melihat seorang miskin duduk meringkuk di sudut jalan. Orang itu tampak menggigil dan tubuhnya lemah, menunjukkan bahwa ia sedang sakit. Imam Ali tak sampai hati melihatnya. Ia berhenti, menyampaikan salam dengan ramah, kemudian bertanya kepada orang itu: “Wahai sahabat, kenapakah gerangan engkau?” Mendengar suara, orang itu mengangkat kepalanya perlahan, dan matanya memandang Imam Ali dengan lemah. Ia pun menjawab salam Imam Ali, kemudian berkata: ”Sesungguhnya tubuhku terasa dingin, dan badanku serasa tak bertenaga.”
“Sakitkah engkau?” tanya Imam Ali lagi.
Jawab orang itu dengan suara parau.
“Astaghfirullah…,” Imam Ali tercengang. Ia terdiam sejenak, memotong buah delima yang dibawanya, kemudian berkata: “Tabahkanlah hatimu. Percayalah bahwa Allah tak akan melupakan hamba-Nya yang baik. Bertasbihlah kepada Allah, dan ambillah buah ini, semoga dapat meringankan penderitaanmu.”
Orang itu pun mengambil sepotong buah delima tersebut dari tangan Imam Ali, kemudian bertasbih, bertakbir, dan bersyukur kepada Allah. “Subhanallah..Alhamdulillah
Allahu Akbar…Mahabesar Engkau ya Allah…” Dan ia pun makan buah delima itu dengan senyum penuh syukur.
Sesampainya di rumah, delima yang tinggal sepotong itu diserahkan kepada isterinya. Fatimah merasa heran melihat buah delima yang hanya sepotong itu. Ia bertanya kepada suaminya: “Adakah penjual buah ini menjualnya sepotong untukmu?”
“Tidak,” kata Imam Ali. ”Sesungguhnya aku membelinya sebuah. Di tengah perjalanan pulang, aku mendapati seorang miskin yang telah dua hari tak makan apa-apa. Aku memberikan sepotong delima ini kepadanya. Alhamdulillah, tampaknya ia mulai sehat kembali sesudah itu,” sambung Imam Ali menjelaskan.
Setelah semuanya jelas, Fatimah pun mulai menikmati buah delima yang baru dibeli dari pasar itu. Dan…sebagaimana si miskin, kondisi Fatimah mulai membaik sesudahnya. Suami Istri itu sangat gembira.
Masih diliputi kegembiraan karena keadaan Fatimah yang makin membaik, tiba-tiba mereka mendengar suara pintu rumah mereka diketuk orang. Segera Imam Ali membukakan pintu, dan didapatinya yang datang adalah Salman al-Farisi. Salman datang sambil di tangannya membawa sesuatu yang ditutup kain.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Imam Ali.
“Apakah yang engkau bawa itu wahai Salman?” tanya Imam Ali selanjutnya.
“Delima,” Jawab Salman.
“Dari manakah engkau dapatkan?”
“Dari Allah, untuk Rasul-Nya, dan seterusnya untuk Anda,” jawab Salman lagi sambil membuka penutup delima itu oleh Imam Ali. Tapi Imam Ali segera bertanya: ”Berapakah jumlahnya?”
“Sembilan buah,” jawab Salman.
Mendengar jawaban Salman, Imam Ali kemudian berkta: ”Tidak! Tidak mungkin buah itu dari Allah. Kalau benar dari Allah, maka jumlahnya adalah sepuluh. Sebab Allah telah berfirman: Barangsiapa berbuat baik, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali lipat.” (Q.S. 6 : 160)
Mendengar kata-kata Imam Ali tersebut, sambil tersipu Salman mengeluarkan satu buah delima lagi dari balik lengan bajunya sambil berkata: ”Anda benar. Sesungguhnya yang aku bawa adalah sepuluh.”
Imam Ali tersenyum. Ia kemudian berkata sambil masih menahan senyumnya: “Wahai Salman, sesungguhnya engkau adalah sahabat dekatku. Aku mengerti, demi Allah, bahwa engkau tak bermaksud mengambil buah itu untuk kepentinganmu. Engkau bermaksud menguji diriku, bukan?”
Dengan tersipu Salman pun menjawab: ”Demi Allah, tak terlintas dalam pikiranku untuk mengambil buah itu bagi diriku. Sebenarnyalah, aku bermaksud mengujimu, karena begitu seringnya aku mendengar Rasulullah memuji keluasan ilmu dan kecerdasanmu.”
“Ketahuilah wahai Salman, bahwa Allah akan membimbing siapa saja yang dekat dan berbakti kepada-Nya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas,” kata Imam Ali sambil menyerahkan sebuah delima kepada Salman, dan ia membawa masuk ke dalam rumah sisanya yang sembilan buah, setelah Salman permisi pulang.
Sesampainya di dalam, Imam Ali meletakkan buah-buah delima itu di hadapan isterinya. Fatimah terkejut, dan setengah berteriak ia berkata:
“Masya Allah…dari manakah gerangan engkau dapatkan delima sebanyak ini?”
Imam Ali pun menjawab dengan tersenyum: “Allah mengaruniai rezeki ini kepada kita karena kebaikan yang kita lakukan kepada si miskin tadi. Salmanlah yang mengantarkannya ke sini.”
“Allahu Akbar!” seru Fatimah sambil wajahnya menengadah ke atas.
Biji Kurma yang Merepotkan
Seorang istri datang kepada Imam Ali dalam keadaan sangat gelisah dan tidak tenang. Di tangannya tampak sebuah kaleng kecil. Wajahnya pucat dan memelas.
“Assalamu ’alaikum…”
“Wa’alaikum salam warahmatullah wa barakatuh…” jawab Imam Ali sambil membukakan pintu.
“Tolong aku wahai Abal Hasan…,” kata wanita itu dengan suara seakan menahan tangis.
“Ada apakah kiranya?” tanya Imam Ali r.a.
“Aku dan suamiku saat ini di ambang perceraian.”
“Aku masih tidak mengerti, coba ceritakan dengan tenang persoalanmu, insya Allah aku dapat membantu.”
“Begini. Aku dan suamiku baru saja duduk-duduk sambil menikmati buah kurma. Kami berdua menikmati kurma itu dan memasukkan biji-bijinya ke dalam kaleng ini. Setelah habis, suamiku berkata: ’Pisahkanlah biji yang aku makan dengan yang engkau makan. Kalau tidak,engkau aku cerai!’ Sekarang aku dan suamiku kebingungan. Dia sebenarnya tak bermaksud menceraikanku, begitu pula aku tak ingin bercerai darinya. Tetapi bagaimana mungkin aku memisahkan biji-biji yang aku makan dengan biji-biji yang dimakannya, sedang keduanya telah tercampur dalam kaleng ini…?”
Imam Ali terharu melihat keadaan wanita di hadapannya itu. Tetapi tak lama kemudian ia tersenyum, dan berkata: “Tenanglah wahai hamba Allah… Apa susahnya memisahkan biji-biji itu?”
“ Ia telah tercampur aduk dalam kaleng ini,” kata wanita itu serius.
“Tak mengapa. Sungguh sangat mudah melakukannya,” kata Imam Ali tenang-tenang seakan tidak terjadi sesuatu.
“Tetapi bagaimana caranya?”
“Pisahkanlah biji-biji itu secara berjajar, yang satu dengan yang lain mempunyai jarak sehingga yang satu benar-benar terpisah dari yang lain.”
“Aku belum lagi mengerti. Saat ini aku tidak tahu mana biji buah kurma yang aku makan.”
“Tak perlu engkau tahu. Yang penting, pisahkanlah dengan jarak, seperti yang aku katakan tadi. Bukankah suamimu hanya menyuruh engkau memisahkannya, dan bukan membedakan biji dari kurma yang engkau makan?Apa susahnya?”
Mengertilah wanita itu. Ia pun menjadi lega dan bersyukur memuji Allah. ”Alhamdulillah…segala puji bagi Allah, dan shalawat atas Nabi-Nya. Sungguh, tidak salah apabila Rasulullah SAW menggelari anda sebagai: ”Pintunya ilmu,” katanya, kali ini dengan tersenyum.
Menyelamatkan Bahasa
Abul Aswad Ad-Dualy adalah seorang sahabat Rasulullah SAW. Dan sangat dekat dengan Imam Ali. Tampaknya ia sengaja belajar, menimba ilmu dari Imam Ali.
Suatu malam, dalam perjalanannya, Imam Ali dan Abul Aswad melihat seorang bocah sedang bermain di depan rumahnya. Tiba-tiba sambil memandangi langit, anak itu berteriak: “Ma akhsanus-samaa’u yaa abiy.”(Secara harfiah berarti : Apa yang indah di langit ini, wahai ayah?) “Nujuu-muhaa” (Artinya : bintang-bintangnya) “Jawab sang ayah. Tetapi, meski sudah dijawab, sang anak kembali mengulangi pertanyaannya.”
“Maa akhsanus-samaa’u yaa abiy?”
Lagi-lagi ayahnya menjawab: “Nujuu-muhaa…”. Tetapi si anak kembali bertanya dan si ayah kembali mengulangi jawaban yang sama.
Melihat peristiwa itu, Imam Ali berkata kepada sahabatny: “Sungguh, bahasa akan rusak kalau begini halnya…” Kemudian beliau menghampiri anak itu seraya berkata: “Apa sebenarnya yang ingin engkau katakan, hai anakku?”
“Aku ingin mengatakan kepada ayahku betapa indahnya langit ini..”
“Engkau ingin menyatakan kekagumanmu?”
“Benar”
“Kalau engkau mengagumi sesuatu, katakanlah dengan membuka mulutmu, agar orang tidak salah menjawab”
“Apa yang mesti aku katakan?”
“Ma Akhsanus samaa’a yaa abiy…”(Dengan mengubah samaa’u menjadi samaa’a, artinya pun menjadi : Betapa indahnya langit ini, wahai ayah. Hal ini merupakan sabagian dari keluasan gramatika bahasa Arab)
Sang ayah pun kemudian muncul dan mengerti permasalahannya.
Dalam perjalanan pulang, Imam Ali berkata kepada Abul Aswad: “Tata bahasa Arab mesti disusun!”
Dan benarlah. Imam Ali kemudian menyusun, dibantu oleh Abul Aswad Ad-Dualy. Sahabat ini pun kemudian dikenal sebagai orang yang sangat memahami seluk-beluk tata bahasa Arab.
Seperti diketahui, puteri Rasulullah SAW yang bernama Fatimah Az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu. Mereka bukanlah termasuk keluarga yang kaya. Fatimah sendiri adalah satu-satunya puteri Nabi yang mendampingi ayahnya dalam seluruh perjuangan beliau di dalam menyebarkan agama Islam.
Fatimah menyaksikan dengan kedua matanya ketika ayahnya dimusuhi dan dianiaya kaum kafir Quraisy. Dialah yang membersihkan kotoran unta yang sengaja diletakan oleh kaum kafir itu di punggung Rasulullah ketika beliau sedang shalat. Ia pula yang menyambut ayahandanya yang tercinta ketika beliau kembali dari berdakwah di kota Tha’if dalam keadaan kepalanya berdarah akibat lemparan batu penduduk Tha’if yang tak mau beriman. Setiap kali Rasulullah hendak berangkat berperang, Fatimah senantiasa menyiapkan segala perbekalan yang diperlukan ayahnya.
Suatu kali, Rasulullah SAW, dan kaum Muslimin tengah menggali parit perlindungan sebelum berhadapan dengan kaum Quraisy dalam suatu peperangan yang kemudian dikenal sebagai perang Khandaq (Perang Parit). Parit-parit itu sengaja dibuat, karena kekuatan tentara musuh jauh lebih besar daripada kekuatan tentara kaum Muslimin. Dengan parit itu, dimaksudkan agar tentara musuh tidak langsung berhadapan dengan tentara Muslimin, melainkan mereka harus terlebih dahulu melalui parit yang lebar itu sebelum menyerang. Taktik itu adalah hasil usulan dari sahabat Nabi yang bernama Salman al-Farisi.
Dalam menyelesaikan penggalian parit tersebut, tak seorang pun yang duduk termangu. Kaum Muslimin, termasuk Rasulullah SAW sendiri, bahu-membahu mengerjakannya.
Di saat seperti itu, Fatimah datang menghampiri ayahnya, kemudian menyerahkan sepotong roti kepada beliau. Melihat roti yang diulurkan puteri kesayangannya, Rasulullah berkata: “Wahai Fatimah, inilah makanan pertama yang masuk ke perut ayamu sejak tiga hari yang lalu.”
Kecntaan Fatimah kepada ayahnya tidak perlu diragukan lagi. Rasulullah pun sangat mencintai puterinya itu, sehingga seringkali beliau memuji Fatimah dengan berkata: ”Fatimah adalah dari aku, dan aku adalah bagian dari Fatimah. Siapa yang membuat dia bahagia berarti membuat aku bahagia; dan siapa yang membuat dia marah, berarti membuat aku marah.”
Rausulullah SAW, juga pernah berkata kepada puterinya itu: “Sesungguhnya Allah murka karena kemarahanmu, dan ridha karena kesukaanmu.”
Imam Ali bin Abi Thalib, selaku suaminya, mengetahui benar tentang hal itu. Ia pun sangat menyayangi isterinya, sangat memperhatikannya, dan memperlakukannya dengan baik. Ia merasa diberi amanat oleh Rasulullah SAW, dengan menikahi Fatimah. Fatimah pun berbuat sama terhadap suaminya. Maka tak heran apabila keluarga tersebut sangat serasi.
Tentang kecintaan dan perhatian Imam Ali terhadap isterinya itu, dapat dilihat dengan mudah dari suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa itu.
Suatu hari, Fatimah jatuh sakit. Imam Ali menjadi sedih, turut merasakan sakit yang diderita istrinya. Tak henti-hentinya ia menengok Fatimah, bahkan berhari-hari tak beranjak dari sisinya. Ia menyiapkan semua keperluan yang dibutuhkan Fatimah, dan menggantikan tugasnya selama ia sakit.
“Beristirahatlah, wahai Fatimah, agar sakitmu segera hilang,” kata Imam Ali kepada isterinya.
“Aku telah cukup beristirahat, sampai-sampai aku malu apabila melihatmu mengerjakan tugas-tugas seorang ibu,” jawab Fatimah dengan sura lirih.
“Jangan pikirkan itu. Bagiku semua itu sangat menyenangkan. Lagi pula, setelah engkau sembuh nanti, semua tugas, engkaulah yang akan mengerjakannya.”
“Tapi, sudah terlalu lama rasanya engkau menggantikan pekerjaanku…”
“Jangan pikirkan itu, kataku. Aku melakukan segalanya dengan senang hati. Percayalah…”
“Engkau sungguh suami yang mulia…”
Fatimah berkata sambil matanya berkaca-kaca.
“Wahai …adakah engkau menginginkan sesuatu?” tanya Imam Ali dengan tiba-tiba.
Fatimah terdiam sebentar, kemudian berkata: “Sesungguhnya sudah beberapa hari ini aku menginginkan buah delima.”
“Baiklah, aku akan membawakannya untukmu dengan rezeki yang diberikan Allah kepadaku,” kata Imam Ali, sambil bersiap keluar rumah. Tanpa membuang waktu, Imam Ali langsung berangkat menuju pasar, meskipun dengan uang pas-pasan. Dan sesampainya di pasar, ia pun langsung membeli sebuah delima, karena uangnya memang hanya cukup untuk sebuah delima, tidak lebih!
Di tengah perjalanan pulang, Imam Ali melihat seorang miskin duduk meringkuk di sudut jalan. Orang itu tampak menggigil dan tubuhnya lemah, menunjukkan bahwa ia sedang sakit. Imam Ali tak sampai hati melihatnya. Ia berhenti, menyampaikan salam dengan ramah, kemudian bertanya kepada orang itu: “Wahai sahabat, kenapakah gerangan engkau?” Mendengar suara, orang itu mengangkat kepalanya perlahan, dan matanya memandang Imam Ali dengan lemah. Ia pun menjawab salam Imam Ali, kemudian berkata: ”Sesungguhnya tubuhku terasa dingin, dan badanku serasa tak bertenaga.”
“Sakitkah engkau?” tanya Imam Ali lagi.
Jawab orang itu dengan suara parau.
“Astaghfirullah…,” Imam Ali tercengang. Ia terdiam sejenak, memotong buah delima yang dibawanya, kemudian berkata: “Tabahkanlah hatimu. Percayalah bahwa Allah tak akan melupakan hamba-Nya yang baik. Bertasbihlah kepada Allah, dan ambillah buah ini, semoga dapat meringankan penderitaanmu.”
Orang itu pun mengambil sepotong buah delima tersebut dari tangan Imam Ali, kemudian bertasbih, bertakbir, dan bersyukur kepada Allah. “Subhanallah..Alhamdulillah
Allahu Akbar…Mahabesar Engkau ya Allah…” Dan ia pun makan buah delima itu dengan senyum penuh syukur.
Sesampainya di rumah, delima yang tinggal sepotong itu diserahkan kepada isterinya. Fatimah merasa heran melihat buah delima yang hanya sepotong itu. Ia bertanya kepada suaminya: “Adakah penjual buah ini menjualnya sepotong untukmu?”
“Tidak,” kata Imam Ali. ”Sesungguhnya aku membelinya sebuah. Di tengah perjalanan pulang, aku mendapati seorang miskin yang telah dua hari tak makan apa-apa. Aku memberikan sepotong delima ini kepadanya. Alhamdulillah, tampaknya ia mulai sehat kembali sesudah itu,” sambung Imam Ali menjelaskan.
Setelah semuanya jelas, Fatimah pun mulai menikmati buah delima yang baru dibeli dari pasar itu. Dan…sebagaimana si miskin, kondisi Fatimah mulai membaik sesudahnya. Suami Istri itu sangat gembira.
Masih diliputi kegembiraan karena keadaan Fatimah yang makin membaik, tiba-tiba mereka mendengar suara pintu rumah mereka diketuk orang. Segera Imam Ali membukakan pintu, dan didapatinya yang datang adalah Salman al-Farisi. Salman datang sambil di tangannya membawa sesuatu yang ditutup kain.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Imam Ali.
“Apakah yang engkau bawa itu wahai Salman?” tanya Imam Ali selanjutnya.
“Delima,” Jawab Salman.
“Dari manakah engkau dapatkan?”
“Dari Allah, untuk Rasul-Nya, dan seterusnya untuk Anda,” jawab Salman lagi sambil membuka penutup delima itu oleh Imam Ali. Tapi Imam Ali segera bertanya: ”Berapakah jumlahnya?”
“Sembilan buah,” jawab Salman.
Mendengar jawaban Salman, Imam Ali kemudian berkta: ”Tidak! Tidak mungkin buah itu dari Allah. Kalau benar dari Allah, maka jumlahnya adalah sepuluh. Sebab Allah telah berfirman: Barangsiapa berbuat baik, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali lipat.” (Q.S. 6 : 160)
Mendengar kata-kata Imam Ali tersebut, sambil tersipu Salman mengeluarkan satu buah delima lagi dari balik lengan bajunya sambil berkata: ”Anda benar. Sesungguhnya yang aku bawa adalah sepuluh.”
Imam Ali tersenyum. Ia kemudian berkata sambil masih menahan senyumnya: “Wahai Salman, sesungguhnya engkau adalah sahabat dekatku. Aku mengerti, demi Allah, bahwa engkau tak bermaksud mengambil buah itu untuk kepentinganmu. Engkau bermaksud menguji diriku, bukan?”
Dengan tersipu Salman pun menjawab: ”Demi Allah, tak terlintas dalam pikiranku untuk mengambil buah itu bagi diriku. Sebenarnyalah, aku bermaksud mengujimu, karena begitu seringnya aku mendengar Rasulullah memuji keluasan ilmu dan kecerdasanmu.”
“Ketahuilah wahai Salman, bahwa Allah akan membimbing siapa saja yang dekat dan berbakti kepada-Nya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas,” kata Imam Ali sambil menyerahkan sebuah delima kepada Salman, dan ia membawa masuk ke dalam rumah sisanya yang sembilan buah, setelah Salman permisi pulang.
Sesampainya di dalam, Imam Ali meletakkan buah-buah delima itu di hadapan isterinya. Fatimah terkejut, dan setengah berteriak ia berkata:
“Masya Allah…dari manakah gerangan engkau dapatkan delima sebanyak ini?”
Imam Ali pun menjawab dengan tersenyum: “Allah mengaruniai rezeki ini kepada kita karena kebaikan yang kita lakukan kepada si miskin tadi. Salmanlah yang mengantarkannya ke sini.”
“Allahu Akbar!” seru Fatimah sambil wajahnya menengadah ke atas.
Biji Kurma yang Merepotkan
Seorang istri datang kepada Imam Ali dalam keadaan sangat gelisah dan tidak tenang. Di tangannya tampak sebuah kaleng kecil. Wajahnya pucat dan memelas.
“Assalamu ’alaikum…”
“Wa’alaikum salam warahmatullah wa barakatuh…” jawab Imam Ali sambil membukakan pintu.
“Tolong aku wahai Abal Hasan…,” kata wanita itu dengan suara seakan menahan tangis.
“Ada apakah kiranya?” tanya Imam Ali r.a.
“Aku dan suamiku saat ini di ambang perceraian.”
“Aku masih tidak mengerti, coba ceritakan dengan tenang persoalanmu, insya Allah aku dapat membantu.”
“Begini. Aku dan suamiku baru saja duduk-duduk sambil menikmati buah kurma. Kami berdua menikmati kurma itu dan memasukkan biji-bijinya ke dalam kaleng ini. Setelah habis, suamiku berkata: ’Pisahkanlah biji yang aku makan dengan yang engkau makan. Kalau tidak,engkau aku cerai!’ Sekarang aku dan suamiku kebingungan. Dia sebenarnya tak bermaksud menceraikanku, begitu pula aku tak ingin bercerai darinya. Tetapi bagaimana mungkin aku memisahkan biji-biji yang aku makan dengan biji-biji yang dimakannya, sedang keduanya telah tercampur dalam kaleng ini…?”
Imam Ali terharu melihat keadaan wanita di hadapannya itu. Tetapi tak lama kemudian ia tersenyum, dan berkata: “Tenanglah wahai hamba Allah… Apa susahnya memisahkan biji-biji itu?”
“ Ia telah tercampur aduk dalam kaleng ini,” kata wanita itu serius.
“Tak mengapa. Sungguh sangat mudah melakukannya,” kata Imam Ali tenang-tenang seakan tidak terjadi sesuatu.
“Tetapi bagaimana caranya?”
“Pisahkanlah biji-biji itu secara berjajar, yang satu dengan yang lain mempunyai jarak sehingga yang satu benar-benar terpisah dari yang lain.”
“Aku belum lagi mengerti. Saat ini aku tidak tahu mana biji buah kurma yang aku makan.”
“Tak perlu engkau tahu. Yang penting, pisahkanlah dengan jarak, seperti yang aku katakan tadi. Bukankah suamimu hanya menyuruh engkau memisahkannya, dan bukan membedakan biji dari kurma yang engkau makan?Apa susahnya?”
Mengertilah wanita itu. Ia pun menjadi lega dan bersyukur memuji Allah. ”Alhamdulillah…segala puji bagi Allah, dan shalawat atas Nabi-Nya. Sungguh, tidak salah apabila Rasulullah SAW menggelari anda sebagai: ”Pintunya ilmu,” katanya, kali ini dengan tersenyum.
Menyelamatkan Bahasa
Abul Aswad Ad-Dualy adalah seorang sahabat Rasulullah SAW. Dan sangat dekat dengan Imam Ali. Tampaknya ia sengaja belajar, menimba ilmu dari Imam Ali.
Suatu malam, dalam perjalanannya, Imam Ali dan Abul Aswad melihat seorang bocah sedang bermain di depan rumahnya. Tiba-tiba sambil memandangi langit, anak itu berteriak: “Ma akhsanus-samaa’u yaa abiy.”(Secara harfiah berarti : Apa yang indah di langit ini, wahai ayah?) “Nujuu-muhaa” (Artinya : bintang-bintangnya) “Jawab sang ayah. Tetapi, meski sudah dijawab, sang anak kembali mengulangi pertanyaannya.”
“Maa akhsanus-samaa’u yaa abiy?”
Lagi-lagi ayahnya menjawab: “Nujuu-muhaa…”. Tetapi si anak kembali bertanya dan si ayah kembali mengulangi jawaban yang sama.
Melihat peristiwa itu, Imam Ali berkata kepada sahabatny: “Sungguh, bahasa akan rusak kalau begini halnya…” Kemudian beliau menghampiri anak itu seraya berkata: “Apa sebenarnya yang ingin engkau katakan, hai anakku?”
“Aku ingin mengatakan kepada ayahku betapa indahnya langit ini..”
“Engkau ingin menyatakan kekagumanmu?”
“Benar”
“Kalau engkau mengagumi sesuatu, katakanlah dengan membuka mulutmu, agar orang tidak salah menjawab”
“Apa yang mesti aku katakan?”
“Ma Akhsanus samaa’a yaa abiy…”(Dengan mengubah samaa’u menjadi samaa’a, artinya pun menjadi : Betapa indahnya langit ini, wahai ayah. Hal ini merupakan sabagian dari keluasan gramatika bahasa Arab)
Sang ayah pun kemudian muncul dan mengerti permasalahannya.
Dalam perjalanan pulang, Imam Ali berkata kepada Abul Aswad: “Tata bahasa Arab mesti disusun!”
Dan benarlah. Imam Ali kemudian menyusun, dibantu oleh Abul Aswad Ad-Dualy. Sahabat ini pun kemudian dikenal sebagai orang yang sangat memahami seluk-beluk tata bahasa Arab.
No comments:
Post a Comment