KESYAHIDAN UTUSAN IMAM HUSAIN
Rombongan Imam Husain bertolak dari Mekah menuju Irak. Ketika tiba di daerah bernama Hajis, surat Muslim bin Aqil sampai ke tangan Imam Husain. Di dalamnya tertulis, “Masyarakat (Kufah) memberi sambutan baik dan mereka semua menunggu kedatangan Anda……”
Imam Husain menulis surat untuk para pengikut beliau di Kufah. Lalu surat itu diserahkan kepada Qais bin Musahhar Shaidawi, untuk dibawa ke Kufah dan diserahkan kepada pemuka pengikut Ahlul Bait. Dalam surat itu tertulis, “Bismillah al-Rahman al-Rahim, dari Husain untuk saudara seiman, assalamu ‘alaikum. Kami bersyukur kepada Allah Yang Mahaesa, amma ba’du : Surat Muslim bin Aqil telah saya terima, yang isinya menjelaskan kebaikan pandangan kalian, dan kesiapan kalian membantu kami dan menuntut hak kami. Saya memohon kepada Allah agar usaha kita dapat berjalan lancar dan memberi kalian pahala. Pada hari Selasa tanggal delapan Dzulhijjah, saya keluar dari Mekah. Tatkala pembawa surat ini (Qais) sampai di sisi kalian, bersatulah dan bersiap-siaplah. Insaya Allah pada hari-hari ini saya akan datang menemui kalian. Salam, rahmat dan berkah Allah senantiasa menyertai kalian.”
Qais bertolak ke Kufah. Sesampainya di Qadisiyah, ia ditangkap orang-orang yang dipimpin Hashin bin Numair. Lalu ia dibawa ke hadapan Ibnu Ziyad. Di tengah perjalanan, ia mengeluarkan surat Imam Husain yang dibawanya dan dirobek-robeknya. Tatkala sampai di hadapan Ibnu Ziyad, terjadilah dialog.
Ibnu Ziyad, “Siapa kamu?” Qais, “Seorang pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
“Mengapa engkau merobek-robek surat itu?”
“Supaya engkau tidak mengetahui apa yang tertulis di surat itu.”
“Dari siapakah surat itu, dan untuk siapa?”
“Dari Imam Husain untuk perkumpulan masyarakat Kufah.”
“Apa nama perkumpulan itu?”
“Aku tak tahu.”
Ibnu Ziyad gusar dan berkata, “Naiklah ke ketinggian itu, dan caci makilah si pembohong anak pembohong Husain bin Ali.”
Qais pun melaksanakan perintah itu. Setelah mengungkapkan pujian kepada Allah, ia berkata, “Wahai manusia! Husain bin Ali ini adalah anak Fatimah sebaik-baik makhluk Allah. Saya adalah utusannya untuk kalian. Di Hajis, saya berpisah dengannya. Sambutlah ajakan Imam!” Kemudian ia mengutuk Ibnu Ziyad serta ayahnya, dan memohon ampun untuk imam Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan membawa Qais ke atap istana dan melemparkannya ke tanah. Akhirnya, ia pun mereguk kesyahidan.
ABBAS DAN DERAJAT BAB AL-HAWAIJ (Pintu Segala Keperluan)
Seorang yang saleh tinggal di Karbala. Anaknya yang juga saleh, tengah jatuh sakit. Pada malam hari, ayahnya berziarah ke makam suci hazrat Abu al-Fadhl Abbas, dan bertawassul kepada beliau dengan tulus dan murni seraya berharap agar beliau memohonkan kepada Allah bagi kesembuhan putranya.
Ketika masuk waktu subuh, salah seorang teman orang saleh itu menghampirinya dan berkata, “Malam ini aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku akan menceritakannya padamu; dalam mimpiku aku melihat hazrat Abbas bin Ali bin Abi Thalib memohon kesembuhan bagi putramu. Saat itu, datang seorang (malaikat) utusan Rasulullah SAW menemui Abbas dan berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda bahwa berkaitan dengan kesembuhan anak ini janganlah engkau memberi syafaat karena ajal pasti (hatmi)-nya sudah dekat, dan usia yang telah ditakdirkan untuknya akan segera habis, dan kehidupannya akan segera berakhir.’”
“Kemudian hazrat Abbas berkata kepada malaikat itu, ‘Sampaikanlah salamku kepada Rasulullah SAW dan katakan kepada beliau demi kedudukanmu di sisi Allah. Aku meminta kepadamu agar memberi syafaat dan mohonlah kepada Allah agar menyembuhkan pemuda yang sedang sakit ini.’”
“Malaikat itu pun kembali dan menyampaikan salam Abbas kepada Rasulullah SAW dan mengutarakan pesannya.” “Rasulullah SAW bersabda, ‘Pergi dan katakanlah kepada Abbas bahwa ajal anak lelaki itu telah tiba.’ Kemudian ia menyampaikan pesan Rasulullah SAW kepada Abbas, dan Abbas pun memberi jawaban sebagaimana jawaban pertama. Dan kejadian ini berulang sampai tiga kali.”
“Akhirnya pada kali yang ketiga, wajah Abbas memucat. Ia lalu bangkit dan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah SAW, tidakkah saya telah dijuluki dengan bab al-hawaij? Dan orang-orang juga sudah mengetahuinya dan mereka bertawassul kepada saya serta memohon syafaat atas nama itu?’”
“Kemudian Rasulullah SAW tersenyum dan bersabda kepada Abbas, ‘Kembalilah, Allah akan membuatmu merasa gembira. Engkau adalah bab al-hawaij dan berilah syafaat kepada siapa yang engkau kehendaki, dan dengan berkah keberadaanmu, Allah telah menyembuhkan pemuda yang sakit ini.’ Setelah itu saya terjaga dari tidur.”
Rombongan Imam Husain bertolak dari Mekah menuju Irak. Ketika tiba di daerah bernama Hajis, surat Muslim bin Aqil sampai ke tangan Imam Husain. Di dalamnya tertulis, “Masyarakat (Kufah) memberi sambutan baik dan mereka semua menunggu kedatangan Anda……”
Imam Husain menulis surat untuk para pengikut beliau di Kufah. Lalu surat itu diserahkan kepada Qais bin Musahhar Shaidawi, untuk dibawa ke Kufah dan diserahkan kepada pemuka pengikut Ahlul Bait. Dalam surat itu tertulis, “Bismillah al-Rahman al-Rahim, dari Husain untuk saudara seiman, assalamu ‘alaikum. Kami bersyukur kepada Allah Yang Mahaesa, amma ba’du : Surat Muslim bin Aqil telah saya terima, yang isinya menjelaskan kebaikan pandangan kalian, dan kesiapan kalian membantu kami dan menuntut hak kami. Saya memohon kepada Allah agar usaha kita dapat berjalan lancar dan memberi kalian pahala. Pada hari Selasa tanggal delapan Dzulhijjah, saya keluar dari Mekah. Tatkala pembawa surat ini (Qais) sampai di sisi kalian, bersatulah dan bersiap-siaplah. Insaya Allah pada hari-hari ini saya akan datang menemui kalian. Salam, rahmat dan berkah Allah senantiasa menyertai kalian.”
Qais bertolak ke Kufah. Sesampainya di Qadisiyah, ia ditangkap orang-orang yang dipimpin Hashin bin Numair. Lalu ia dibawa ke hadapan Ibnu Ziyad. Di tengah perjalanan, ia mengeluarkan surat Imam Husain yang dibawanya dan dirobek-robeknya. Tatkala sampai di hadapan Ibnu Ziyad, terjadilah dialog.
Ibnu Ziyad, “Siapa kamu?” Qais, “Seorang pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
“Mengapa engkau merobek-robek surat itu?”
“Supaya engkau tidak mengetahui apa yang tertulis di surat itu.”
“Dari siapakah surat itu, dan untuk siapa?”
“Dari Imam Husain untuk perkumpulan masyarakat Kufah.”
“Apa nama perkumpulan itu?”
“Aku tak tahu.”
Ibnu Ziyad gusar dan berkata, “Naiklah ke ketinggian itu, dan caci makilah si pembohong anak pembohong Husain bin Ali.”
Qais pun melaksanakan perintah itu. Setelah mengungkapkan pujian kepada Allah, ia berkata, “Wahai manusia! Husain bin Ali ini adalah anak Fatimah sebaik-baik makhluk Allah. Saya adalah utusannya untuk kalian. Di Hajis, saya berpisah dengannya. Sambutlah ajakan Imam!” Kemudian ia mengutuk Ibnu Ziyad serta ayahnya, dan memohon ampun untuk imam Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan membawa Qais ke atap istana dan melemparkannya ke tanah. Akhirnya, ia pun mereguk kesyahidan.
ABBAS DAN DERAJAT BAB AL-HAWAIJ (Pintu Segala Keperluan)
Seorang yang saleh tinggal di Karbala. Anaknya yang juga saleh, tengah jatuh sakit. Pada malam hari, ayahnya berziarah ke makam suci hazrat Abu al-Fadhl Abbas, dan bertawassul kepada beliau dengan tulus dan murni seraya berharap agar beliau memohonkan kepada Allah bagi kesembuhan putranya.
Ketika masuk waktu subuh, salah seorang teman orang saleh itu menghampirinya dan berkata, “Malam ini aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku akan menceritakannya padamu; dalam mimpiku aku melihat hazrat Abbas bin Ali bin Abi Thalib memohon kesembuhan bagi putramu. Saat itu, datang seorang (malaikat) utusan Rasulullah SAW menemui Abbas dan berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda bahwa berkaitan dengan kesembuhan anak ini janganlah engkau memberi syafaat karena ajal pasti (hatmi)-nya sudah dekat, dan usia yang telah ditakdirkan untuknya akan segera habis, dan kehidupannya akan segera berakhir.’”
“Kemudian hazrat Abbas berkata kepada malaikat itu, ‘Sampaikanlah salamku kepada Rasulullah SAW dan katakan kepada beliau demi kedudukanmu di sisi Allah. Aku meminta kepadamu agar memberi syafaat dan mohonlah kepada Allah agar menyembuhkan pemuda yang sedang sakit ini.’”
“Malaikat itu pun kembali dan menyampaikan salam Abbas kepada Rasulullah SAW dan mengutarakan pesannya.” “Rasulullah SAW bersabda, ‘Pergi dan katakanlah kepada Abbas bahwa ajal anak lelaki itu telah tiba.’ Kemudian ia menyampaikan pesan Rasulullah SAW kepada Abbas, dan Abbas pun memberi jawaban sebagaimana jawaban pertama. Dan kejadian ini berulang sampai tiga kali.”
“Akhirnya pada kali yang ketiga, wajah Abbas memucat. Ia lalu bangkit dan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah SAW, tidakkah saya telah dijuluki dengan bab al-hawaij? Dan orang-orang juga sudah mengetahuinya dan mereka bertawassul kepada saya serta memohon syafaat atas nama itu?’”
“Kemudian Rasulullah SAW tersenyum dan bersabda kepada Abbas, ‘Kembalilah, Allah akan membuatmu merasa gembira. Engkau adalah bab al-hawaij dan berilah syafaat kepada siapa yang engkau kehendaki, dan dengan berkah keberadaanmu, Allah telah menyembuhkan pemuda yang sakit ini.’ Setelah itu saya terjaga dari tidur.”
NAMA ALI UNTUK ANAK-ANAK AL-HUSAIN
Semasa pemerintahan Muawiyah, Marwan bin Hakam menduduki jabatan gubernur Madinah. Pada kesempatan ini, ia mengerahkan seluruh upayanya untuk menebarkan permusuhan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Suatu hari, ia (Marwan) bertemu dengan Imam Ali Zainal Abidin dan bertanya, “Siapa namamu?”
Imam Sajjad menjawab, “Namaku Ali.”
Marwan, “Siapa nama saudaramu?”
Imam Sajjad, “Juga Ali.”
Marwan, “Oh! Ali lagi, Ada apa dengan Ali?
Tampaknya ayahmu hendak menamakan semua anak-anaknya dengan Ali.”
Imam Sajjad berkata, “Kemudian saya menemui ayahku Al-Husain dan menceritakan kepada beliau ucapan Marwan.” Imam Husain berkata, “Celakalah Marwan! Anak wanita bermata ungu, yang kerjanya membersihkan kulit binatang. Seandainya aku melahirkan seratus anak lelaki, niscaya semuanya akan kuberi nama Ali.”
MENYIMPAN RAHASIA
Pada suatu hari, seseorang datang menemui Syaikh Abu Said dan berkata, “Wahai Syaikh! Saya datang kepadamu, agar Anda mau mengajariku rahasia kebenaran.” Syaikh berkata, “Sekarang pulanglah. Besok datang lagi kemari. Saya akan memberimu pelajaran.”
Lelaki itupun pergi. Keesokan harinya, ia kembali menemui Syaikh. Sebelumnya, Syaikh memasukkan seekor tikus ke sebuah kotak tempat permata dan menutupnya rapat-rapat. Ketika lelaki itu datang, Syaikh memberi kotak itu kepadanya seraya berkata, “Bawalah kotak ini. Usahakan jangan sampai tutupnya terbuka.”
Lelaki itu membawa kotak tersebut. Dikarenakan rasa ingin tahu yang begitu menggelitik hatinya tentang gerangan apa yang ada dalam kotak itu, akhirnya ia membuka tutup kotak itu. Tiba-tiba ia melihat seekor tikus keluar dari kotak tersebut dan lari. Ia kembali menemui Syaikh dan berkata, “Saya menginginkan dari Anda soal rahasia Allah. Namun mengapa Anda memberi saya seekor tikus?”
Syaikh menjwab, “Hai Darwisy! Aku memberimu seekor tikus dalam kotak, dan kamu tidak mampu menyimpannya. Lalu bagaimana bila aku mengungkapkan kepadamu berbagai rahasia Allah? Mungkinkah kamu mampu menyimpannya?”
Mereka yang mengetahui rahasia al-Haq
Mereka mengunci dan menjahit mulutnya.
JIKA HAKIM TIDAK BERLAKU ADIL
Di kalangan Bani Israil, hidup seorang hakim yang senantiasa menghakimi berbagai permasalahan di tengah masyarakat dengan adil. Tatkala berada di ambang kematian, ia berkata kepada istrinya. “Kalau aku sudah mati, mandikanlah aku dan kafanilah. Tutupilah wajahku dan letakkanlah aku dalam sebuah peti. Insya Allah, engkau tak akan menyaksikan sesuatu yang buruk.”
Tatkala ia meninggal, istrinya mengurus jenazahnya sesuai perintahnya. Selang beberapa menit, ia menyingkapkan kain penutup wajahnya. Tiba-tiba ia melihat sekumpulan ulat menggerumuti wajahnya dan menggerogoti hidungnya. Ia merasa takut menyaksikan kejadian ini (segera menutup kembali wajah jenazah suaminya dan menguburkannya).
Pada malam itu, ia bermimpi melihat suaminya yang berkata, “Apakah engkau merasa takut terhadap apa yang dilakukan ulat-ulat itu?”
Wanita itu menjawab, “Ya.”
Sang Hakim berkata, “Demi Allah, pemandangan menakutkan itu disebabkan kecenderunganku pada saudaramu. Suatu hari, saudaramu bersengketa dengan seseorang dan datang kepadaku. Tatkala keduanya duduk di hadapanku dan memintaku menghakiminya, aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Ya Allah, berilah kebenaran pada pihak saudara isteriku.’ Sewaktu persengketaan mereka selesai diteliti, ternyata kebenaran berada di pihak saudaramu. Aku merasa senang. Dan ulat yang engkau saksikan itu merupakan balasan atas kecenderunganku pada saudaramu, sekalipun saudaramu berada di pihak yang benar. Namun saat itu aku tak mampu menjaga hawa nafsuku untuk bersikap netral.”
No comments:
Post a Comment