Sunday, March 23, 2014

Epilog : Berpikir Holistik, Cermat pada Detail



Epilog : Berpikir Holistik, Cermat pada Detail


Ketika berdiskusi dengan Ciputra, salah satu yang menonjol dari caranya memandang masalah adalah ketertarikannya untuk melihat solusi dari berbagai aspek yang saling terkait. Hal-hal yang mengganggu perhatiannya selalu ia pikirkan berulang, ia dalami, ia rangkaikan dengan pemikiran lain, dan dengan begitu ia kemudian mendapat pemahaman yang lebih menyeluruh. Pak Ci sering kali menyebut cara berpikir seperti itu sebagai cara berpikir seperti itu sebagai cara berpikir holistik.

Maka tak perlu heran bila saat berbicara tentang Dubai, dan Pak Ci merasa terganggu oleh rasa ingin tahunya mengapa di restoran tempat ia makan di Dubai tidak satu pun pelayan restoran yang berasal dari Indonesia—padahal banyak dari pegawai restoran itu berasal dari Filipina, Thailan, Malaysia, mau pun India—ia lalu bersemangat bicara tentang pendidikan. Sebab, menurut dia, salah satu kelemahan TKI Indonesia adalah ketidakmampuan berbahasa Inggris. Pendidikan di Indonesia tidak memberi bekal yang cukup dalam hal ini sehingga TKI Indonesia di Dubai hanya terbatas pada peker-jaan-pekerjaan domestik. Tidak mampu bersaing menjadi pegawai restoran melawan tenaga kerja dari kawasan Asia Tenggara lainnya.

Cara berpikir holistik seperti inilah barangkali yang mendorong dia menjadi pelopor pembukaan kota-kota baru. rumah atau perumahan bagi Ciputra adalah sebuah konsep holistik. Bukan sekadar tempat tinggal, apalagi ‘asrama’ untuk tidur belaka. Kota-kota baru yang dibangun Pak Ci selalu dengan konsep sebuah pemukiman tempat sebuah keluarga dan komunitasnya merajut masa depan. Yang ia jual bukan rumah belaka, tetapi pemukiman beserta perangkat pendukungnya.

Bagi mereka yang berpikir ‘Lalu apa yang akan saya dapat hari ini?’ mungkin akan kurang sabar bila mendengar rencana-rencana Pak Ci. Sebab yang Pak Ci pikirkan kebanyakan merupakan sebuah kerja besar, kerja yang panjang, dan kerja yang melibatkan banyak pekerjaan-pekerjaan kecil. Ketika orang lain membicarakan ironisnya nasib TKI, Pak Ci berbicara tentang pendidikan Bahasa Inggris. Ketika orang lain berbicara tentang rumah, ia bicara tentang kota baru. Dan ketika orang banyak berbicara tentang kemiskinan, ia berbicara tentang institusi agama, termasuk gereja yang harus menebar optimisme.

Orang mengenal Pak Ci sebagai seorang pengusaha property yang selalu berbicara tentang proyek-proyek besar. Tetapi kami mendapati itu tak menyebabkan dirinya abai terhadap detail. Ia mengagumi proyek-proyek properti yang megah, indah, dan terbaik. Tetapi yang selalu ia perhatikan pertama kali adalah hal-hal kecil dari proyek yang ia kagumi itu. Ini barangkali sebuah cara yang paling mudah baginya untuk menguji apakah hal besar yang dikaguminya itu juga dapat dikagumi dalam bentuknya yang lebih kecil.

Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah acara di Jakarta Convention Center, para undangan yang terdiri dari para elit politik, pejabat, dan pengusaha tampak berjubel. Mereka berbincang satu sama lain, beranjangsana dari satu tempat ke tempat lain sambil menikmati kopi dan hidangan sarapan lainnya. Yang menarik, kami mendapati Pak Ci berbincang serius dengan putrid sulungnya, Rina Ciputra. Pak Ci kemudian mengajak Rina ke sebuah sudut dan Pak Ci tampak menunjuk-nunjuk ke langit-langit JCC. Rupanya Pak Ci tengah mendiskusikan arsitektur JCC tersebut.

Ketika kami bersama Pak Ci keluar dari hotel tempat kami menginap, sambil menunggu mobil yang akan membawa kami berangkat ia mengarahkan pandangan ke lantai dan kemudian berkata, “Ubin hotel ini bagus”. Ia meneliti satu per satu, berkeliling di seputar lobi, lalu berkata kepada seorang stafnya, “Kelihatannya kita bisa memakai ubin seperti ini di proyek kita.” Ia bahkan mencari manajer hotel itu dan bertanya di mana mereka membeli ubin tersebut.

Seusai meninjau proyek kota baru Citraland di Manado yang terkenal dengan semboyan The Village of Blessings, salah satu yang segera menarik perhatiannya adalah patung angsa yang berbaris di pintu masuk. Ia memberi catatan kepada para stafnya bahwa patung-patung angsa yang berwarna putih itu masih ‘terlalu biasa.’ Ia menyarankan patung-patung itu diberi cat yang lebih cerah dan ramai.

Ketika makan di restoran yang menghadap ke pantai, Pak Ci memandang ke laut dan mengajak kami mengarahkan pandangan ke dua perahu kecil yang berhenti di tengah laut. Ia bertanya, sedang apa perahu itu di sana. Tak satu pun kami yang mempunyai ide menjawab pertanyaan itu, dan kami menduga rasa penasaran Pak Ci itu hanyalah rasa ingin tahu seorang turis belaka. Tetapi kami salah. Pak Ci benar-benar ingin tahu. Ia memanggil pelayan restoran dan bertanya apa yang biasanya dilakukan orang di atas perahu yang berhenti di tengah laut pada hari siang bolong begitu. Sayangnya, sang pelayan pun tak tahu. Ketika pelayan yang lain mendekati kami ia juga melontarkan pertanyaan yang sama. Saying, sampai kami selesai bersantap, tak ada yang dapat memberikan jawaban. Tetapi kami mencatat dalam hati, Pak Ci memang benar-benar seseorang yang ingin tahu tentang detail, lebih dari kebanyakan orang.

No comments:

Post a Comment