Sunday, March 23, 2014

Epilog : Disiplin kepada Orang Lain, Disiplin kepada Diri Sendiri



Epilog : Disiplin kepada Orang Lain, Disiplin kepada Diri Sendiri



Kesan kami yang lain, Pak Ci tak segan-segan menegur orang lain yang ia anggap salah. Bahkan jika orang itu belum ia kenal. Hanya saja, ia punya kiat tentang hal ini. “ Jangan menegur orang dengan marah. Kalau menegur orang sambil bercanda, sambil tersenyum, biasanya orang itu akan dapat menerima. Malah dia jadi senang,” kata dia.

Entah bagaimanan kejadiannya, pada suatu acara sarapan pagi, kami tengah mendengar Pak Ci memberikan pandangan-pandangannya, tetapi kami menangkap perhatiannya tidak tertuju kepada kami—melainkan ke meja di belakang kami. Awalnya kami tak terlalu hirau. Namun, lama-lama kami merasa ingin tahu juga apa yang menyebabkan Pak Ci harus menaruh perhatian ke meja tersebut. Lalu Pak Ci berbisik, “Bapak itu aneh. Makan dengan sendok di tangan kiri, garpu di tangan kanan. Dan, kelihatannya dia bukan kidal,” kata Pak Ci. Kami terdiam. Namun kami pun segera menyadari adanya suara berisik dari belakang, suara sendok dan garpu beradu tak teratur sehingga berdenting-denting.

Pak Ci masih sempat meneruskan pembica-raannya, tetapi kemudian tampaknya ia tak tahan lagi. Lalu sambil tertawa ia memberi isyarat dengan kedua tangannya kepada Bapak yang duduk di meja belakang. Seolah mengatakan agar cara si Bapak memegang sendok dan garpu diubah. Si Bapak yang kena tegur ternyata lambat laun mengerti dan kemudian tertawa. Ia mengubah caranya memegang sendok. Dan, kejadian itu berakhir dengan happy ending. Kuncinya “Lakukanlah dengan ramah dan penuh kasih….” Demikian ujarnya.

Kepekaan terhadap keteraturan dan disiplin tentu saja bukan hanya Pak Ci perlakukan kepada orang orang lain. Terlebih-lebih adalah kepada dirinya sendiri. Itu sebabnya, di usianya yang sudah 74 tahun, Pak Ci kelihatan sangat sehat untuk orang seusianya. Dia tidak mempunyai kemewahan untuk memantangkan satu jenis makanan tertentu. Dan, ini karena disiplin. Semboyan yang selalu ia ulang-ulang perihal makanan adalah, “Saya tidak memakan segalanya, maka saya bisa memakan segalanya.”

Dalam satu kesempatan, kami tiba di tempat menginap bersama Pak Ci setelah usai makan siang. Dua jam ke depan, Pak Ci dijadwalkan akan berbicara dalam sebuah seminar. Pak Ci kelihatan masih segar dan bersemangat untuk berbincang-bincang. Tapi seorang eksekutif yang mendampinginya meminta Pak Ci beristirahat saja, karena satu jam lagi, aka nada mobil yang menjemputunya ke tempat seminar. Kami melihat Pak Ci berpikir sebentar, lalu mengiyakan. “kalau saya turutkan kata hati, saya masih ingin mengobrol dengan Anda. Tapi saya harus istirahat. Sebenarnya saya tidak mengantuk. Saya tidak ingin tidur. Tapi saya harus tidur.”

Disiplin semacam inilah tampaknya yang membuat Pak Ci di usianya yang tergolong lanjut masih mampu berbicara dari satu seminar ke seminar lain—kerap kali dalam posisi berdiri setidaknya satu jam. Ia masih membaca banyak buku. Makalah-makalah yang ia sampaikan di dalam berbagai seminar, setelah mendapat masukan dari para stafnya, masih ia baca dengan teliti dan membuat koreksi di mana perlu. Pak Ci juga mempunyai semacam catatan harian yang ia kantongi, tempat dia mencatat apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Sebuah telepon genggam yang tidak terlalu advanced menggantung di dadanya, alat yang ia gunakan berbicara dengan siapa saja ia ingin bicara. Kami menilai ini sebuah cara hidup yang efisien sekaligus disiplin pribadi yang tinggi.

No comments:

Post a Comment