Thursday, March 20, 2014

Makin Inovatif Saat Terjepit Krisis (Pengalaman Jaya Property)



Makin Inovatif Saat Terjepit Krisis (Pengalaman Jaya Property)



Jalannya roda bisnis tidak selalu mulus. Saat kendala menghimpit dan makin parah hingga berujung menjadi krisis, hanya ada 2 pilihan bagi seorang entrepreneur: menyerah pada keadaan atau menggunakan kreativitas dan daya inovasi yang sebelumnya tak pernah terpikir.

Kondisi inilah yang dialami oleh Jaya Property di tengah krisis moneter 1998. Tidak ada jalan lain bagi para pimpinan dan karyawan perusahaan tersebut untuk terus berjuang di tengah melemahnya nilai tukar Rupiah yang di luar batas kewajaran. Demi menggenjot angka penjualan di tengah krisis, diluncurkan berbagai inovasi.

Pertama, strategi banting harga. Harga produk properti Jaya Property saat itu dipotong 60%. Taktik diskon ini diberlakukan saat masa lesu darah tahun 1998-2000. Saat itu ekonomi negeri ini tengah ambruk dan inilah strategi yang tak terelakkan untuk dapat bertahan.

Sayangnya, strategi pangkas harga itu tak terlalu efektif. Akhirnya wakil direktur Jaya Property saat itu, Yohannes Henky Wijaya, memutar otak dan dengan berani melontarkan strategi yang relatif 'gila'. Kegilaan ide Henky bisa dipahami karena ia menyarankan agar perusahaan berani memberikan jaminan uang pembelian rumah di kawasan Bintaro kembali 100% setelah jangka waktu 7 tahun.

Ide ini bukannya berjalan mulus. Bahkan saat akan dipublikasikan di sebuah surat kabar skala nasional, pihak redaksi surat kabar awalnya menolak karena iklan itu dianggap terlalu fantastis dan tidak berpijak pada kenyataan. Namun, bukan entrepreneur kalau menyerah begitu saja. Kalkulasi yang valid pun diajukan pada pihak surat kabar untuk menerangkan mengapa itu bisa dan masuk akal. Akhirnya pihak  surat kabar mengijinkannya.

Strategi kedua yang terkesan bombastis ini kemudian menuai hasil. Sebanyak 170 unit properti berbentuk rumah hunian produk Jaya Property laku setelah iklan itu muncul. Dan nilai total penjualan pasca rilis iklan itu melejit Rp. 50 miliar. Tidak bisa dikatakan buruk untuk ukuran perekonomian kala itu yang mati suri.

Selesai dengan ide kedua itu, Jaya Property bukannya berpangku tangan. Para direktur dan staf terus memutar otak menemukan ide-ide cemerlang. Akhirnya strategi ketiga pun dirancang.

Setelah mengetahui bahwa rumah-rumah besar yang notabene juga berharga lebih mahal di tepi jalan protokol yang ramai memiliki tingkat kerawanan yang tinggi saat terjadi kerusuhan 1998, Jaya Property pun ‘mengakali’ keadaan krisis dengan mencoba menyuguhkan sisi keamanan sebagai selling point.

Caranya? Jaya Property pun memberikan edukasi pada calon  konsumen bahwa untuk mengantisipasi dampak kerusuhan pada properti yang dimiliki, perlu dipertimbangkan lokasi produk properti yang hendak dibeli. Lokasi di dekat jalan besar memang sebelumnya banyak dicari karena strategis dan mudah dijangkau, tetapi berbekal pengalaman dari kerusuhan 1998 yang traumatis bagi banyak orang, Jaya Property menyarankan orang untuk memiliki properti yang lokasinya bukan di sekitar jalan protokol yang ramai. Mereka memilih lokasi-lokasi yang lebih tersembunyi dan sepi.

Jaya Property pun memahami bahwa konsep cluster dengan sistem satu pintu masuk dengan dilengkapi pengamanan yang solid akan mampu menarik calon pembeli. Akhirnya, mereka membangun produknya dengan sistem cluster.

Saat itu, kondisi keuangan dan perbankan Indonesia juga sangat suram. Bank-bank tidak bisa lagi memberikan dana segar untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Jaya Property tidak bisa lagi mengandalkan pinjaman bank dan harus kreatif mencari sumber dana sendiri.

Kini Jaya Property (PT Jaya Real Property) telah terlepas dari jeratan krisis tersebut. Per Desember 2011, angka penjualan Jaya Property mencapai Rp 893,17 miliar, tidak lagi Rp 50 miliar seperti saat dirundung krisis.(*AP)

No comments:

Post a Comment