Thursday, March 20, 2014

Perbankan Dinilai Bukan Segalanya Bagi Industri Kreatif



Perbankan Dinilai Bukan Segalanya Bagi Industri Kreatif



Dana perbankan dinilai bukan segalanya bagi pelaku industri kreatif dalam menjalankan usahanya, kata sejumlah pelaku industri kreatif yang sukses menjalankan usaha tanpa bantuan dana perbankan.

"Semua pemula atau start up memulai usahanya dari tingkat yang paling efisien, dan kami tidak kemudian langsung berpikir untuk meminjam modal dari bank. Saya memulai usaha dari kamar kos," kata Founder dan CEO Kreavi Benny Fajarai di Jakarta, Kamis.

Beny yang memulai usaha online dalam hal network dan marketplace sejak tiga bulan lalu itu mengatakan lebih memerlukan investor karena memiliki banyak kelebihan dari sisi ada upaya pendampingan atau mentorship ketimbang mengakses perbankan.

Namun, ia menegaskan ke depan tidak menutup kemungkinan jika usahanya sudah stabil akan mengakses lembaga keuangan formal tersebut.

Co-Founder & CEO Valadoo!, Jaka Wiradisuria yang mengelola situs Valadoo! yang memasarkan destinasi pariwisata secara online mengatakan hal yang sama.

Menurut dia, jika berbicara soal perbankan itu artinya hanya uang semata padahal pebisnis pemula memerlukan sharing pengalaman dari industri atau pelaku sebelumnya.

"Saya lebih memilih kemitraan atau strategic partnership, karena di dalam kemitraan itu ada sharing pengalaman dari industri dan hal-hal lain yang tidak didapatkan dari perbankan," katanya.

Managing Director Marketing Group, PJ. Rahmat Susanta, mengatakan harus ada upaya pemerintah untuk meningkatkan pemahaman perbankan terhadap sektor industri kreatif.

"Di sisi lain pelaku ekonomi kreatif juga harus memiliki market sense dan mampu meyakinkan lembaga keuangan terhadap usahanya. Sedangkan perbankan juga harus mulai meningkatkan pemahamannya terhadap industri kreatif," katanya.

Menurut dia, selama ini terjadi kesenjangan antara pelaku industri kreatif dengan lembaga pembiayaan formal.

Padahal kerap karya-karya baru yang sukses biasanya berawal dari pelaku-pelaku industri kreatif tersebut.

"Permasalahan ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi para investor dan penyandang dana," katanya.

Lembaga keuangan formal umumnya memfasilitasi usaha berdasarkan kepastian usaha.

Sementara dunia kreatif selalu mencari hal baru yang tingkat kepastian suksesnya sulit untuk dikuantifikasi.

"Seperti misalnya, siapa yang dapat dengan yakin memprediksi film selanjutnya akan mendulang kesuksesan komersial. Siapa yang dapat dengan yakin memprediksi suatu lagu atau novel akan menjadi hits," katanya.

Fakta itu mencerminkan lembaga keuangan di Indonesia cenderung belum cukup memahami industri kreatif.

"Hal ini tercermin dari belum tersedianya mekanisme pembiayaan yang khusus untuk industri kreatif," katanya.

Ia mencontohkan, produk industri kreatif seperti ide, skrip film, desain, bahkan kontrak kerja kreatif belum bisa dijadikan agunan untuk mendapatkan pinjaman.

Hal itu mengakibatkan kurangnya modal, ketidakpastian rencana usaha sehingga terjadi ketidakpastian pembiayaan yang menjadi masalah klasik bagi pelaku kreatif.

Menurut dia, itu menjadi kontradiktif dengan target Indonesia untuk menjadi pusat industri kreatif regional ASEAN pada 2014.

"Sudah saatnya industri kreatif yang kini masih terbilang sektor baru di Indonesia, tumbuh dengan perbaikan pola pendanaan yang pasti agar bisa berjaya di pasar domestik sekaligus bersaing di pasar global," katanya. (ant/as)

No comments:

Post a Comment