Susanti Alie, Sukses dengan Bisnis Saos
Anda penggemar mi ayam di lapak kaki lima? Tentu tidak afdol rasanya bila makan mi ayam tanpa menaburi saos sambal ke dalamnya. Rasanya kurang nendang dan hambar bukan? Tapi tahukah Anda siapakah orang yang sukses membuat saos yang banyak digunakan pedagang mi ayam tersebut?
Bisnis saos sambal yang menyasar kalangan menengah bawah itu sebenarnya adalah bisnis keluarga yang dirintis ibunya sejak tahun 1990. Sementara ayahnya adalah pebisnis bahan bangunan, pabrik limun, restoran, dan bakery di Jakarta. Praktis darah pengusaha mengalir kental dalam diri Susanti.
Suatu ketika, bisnis yang dikelola ibunya ini mengalami kondisi yang genting. Susanti yang kala itu sudah punya karir cemerlang sebagai eksekutif pemasaran di Swarovski Corporate Limited, Singapura, yang membidangi perhiasan dan fesyen dipanggil pulang untuk menyelamatkan bisnis keluarga akibat orang kepercayaan yang meninggalkan perusahaan dengan membawa karyawannya.
Apalagi pada saat itu ada laporan bahwa keuangan perusahaan digelapkan sehingga membuat omzet terus menurun dan pengeluaran yang tidak jelas. Susanti terpanggil untuk menyelamatkan usaha rintisan keluarga tersebut di tahun 2004 atau tepat saat ia berusia 28 tahun.
Perlahan ia pun mulai membenahi persoalan di bisnis saos sambal. Ia mulai melakukan riset pasar untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya cita rasa masyarakat menengah bawah dalam mencicipi saos sambal tersebut. Selama hampir kurang lebih dua bulan ia melakukan riset tersebut sampai keluar masuk pasar di seluruh Indonesia.
Hingga akhirnya ia menemukan satu kesimpulan yang unik yaitu, selama ini saos sambal selalu didominasi oleh kemasan botol plastik dan kaca. Maka ia pun terbetik ide untuk membuat bisnis saos isi ulang dalam kemasan bantal yang dibungkus plastik yang tidak mudah pecah. '"Apalagi potensi pasarnya cukup besar karena pemainnya belum ada," katanya.
Bergegaslah ia untuk mewujudkan ide tersebut. Ia pun berani memutuskan untuk menjual produk saos sambal dalam bentuk kemasan isi ulang. Selain alasan efisiensi, jika tetap mempertahankan saos dalam kemasan botol kaca maka perlu biaya yang besar apalagi saat itu perusahaan sedang melakukan pengetatan ikat pinggang.
Susanti pun menghitung cost produksi dalam membuat saos isi ulang tersebut. Hasilnya ternyata biayanya sangat murah karena untuk membuat saos isi ulang itu ia hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp 30 juta. Dana itu untuk membeli mesin pengemasan saos sambal yang langsung didatangkan dari Surabaya.
Dengan kemasan bantal juga, satu karton yang berisi 24 bungkus mudah dikirim ke luar kota. Selain itu, pedagang dimudahkan menyimpannya karena tidak memakan tempat sebanyak saus botol. “Mereka tidak susah-susah pakai peti. Tidak ada botol somplak, botol pecah, per karton cuma 1,5 kg beratnya. Saya bisa menurunkan berat kemasan dan menjual sampai ke luar pulau karena tidak harus sewa-sewa botol,” kata Susanti.
Awalnya, saat memasarkan produknya tersebut banyak pedagang yang menolak. Mereka tentu saja meragukan kualitas saos buatannya tersebut. Namun sekali lagi Susanti mencoba merangkul pedagang dan meyakinkan kalau produknya itu berkualitas memiliki masa kedaluwarsa yang sama dengan saus botol dan higienis
“Kami jelaskan proses pembuatan saos tersebut. Kami cuci bersih tongnya setiap hari. Mesin pemasak, sore harus dicuci dan harus diseduh dengan air panas. Dan, air di Cileungsi sini, meski cukup bagus tetapi tetap kami filter beberapa kali. Bisa dibedakan, saus kami tidak ada bintik-bintik karena kami pakai cabai segar. Kami pun punya sertifikat halal,” katanya.
Seakan belum cukup memberikan jaminan, Susanti menambahkan, perusahaannya memiliki izin mengelola saus dan produknya memakai pengawet dalam batas normal. “Kami pakai pengawet impor dari Eropa yang benar-benar diakui dunia dan itu tidak pernah diganti, even terjadi kenaikan harga.”
Susanti tidak memasuki pasar modern, selain tidak mampu membayar listing fee, juga merasa pasarnya tidak tepat. “Sekarang di Indonesia 70% masih pasar tradisional, sisanya pasar modern dan horeka (hotel, restoran dan kafe),” katanya. Dua tahun bertempur, penetrasi pasarnya dirasa sudah cukup mumpuni, termasuk di area luar Pulau Jawa. Kini dia memiliki area penjualan lima wilayah Jakarta dan di beberapa pulau di Indonesia.
Selain itu, pada 2006 dia mampu membeli tanah dan gedung untuk pabriknya di Cileungsi dengan harga kurang dari Rp 1 miliar. “Kami pinjam Rp 700 juta ke bank tapi terbayar dalam jangka waktu dua tahun,” ujarnya.
Dia pun memperkokoh positioning produknya. Dia memiliki tiga merek. Cabe Payung untuk berkompetisi dengan merek Sari Sedap, Sari Wangi, dll. Soka untuk segmen menengah, sementara Bob untuk segmen hotel, restoran dan kafe.
Kesuksesan pemasarannya bukan lantaran berpromosi di media massa. “Saya lebih bermain ke below the line dengan memberikan hadiah untuk ibu-ibu seperti sendok, piring, gelas, mangkok,” ucapnya. Pada bulan puasa lalu, setiap beli minyak goreng Fortune, misalnya, konsumen mendapat hadiah satu botol Sambal Soka. Dia juga menekankan upaya getok tular lewat pasar tradisional. Selain itu, ia berencana memaksimalkan media sosial seperti Twitter dan Facebook.
Saat ini, Cabe Payung memang masih menjadi tulang punggung dan menyumbang hingga 70% omzet perusahaan, Soka 20% dan selebihnya Bob. Ke depan, Susanti berambisi membesarkan pangsa pasar Saus Soka, meningkatkan omzet perusahaan, serta memperluas jaringan pemasaran. (asm)
No comments:
Post a Comment