Saturday, April 5, 2014

Social Entrepreneurship, Sayap Pengubah Kesejahteraan



Social Entrepreneurship, Sayap Pengubah Kesejahteraan



Social entrepreneurship alias kewirausahaan sosial diyakini banyak kalangan sebagai salah satu solusi terhadap masalah sosial dan ekonomi. Malah tidak sedikit yang beranggapan bahwa kewirausahaan sosial salah satu solusi mengatasi kemiskinan.


Anggapan tersebut yang diyakini Bill Drayton, pendiri sekaligus CEO Ashoka, asosiasi global para wirausahawan sosial yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat. Kewirausahaan sosial, kata Drayton, adalah wadah di mana sektor bisnis dan masyarakat bekerja secara bersamaan. Dengan makna yang lebih dalam, setiap orang bisa menjadi agen perubahan yang bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.

“Kewirausahaan sosial adalah profesi pertama yang terorganisasi secara global,” ungkapnya sebagaimana dikutip Ashoka.org.

Kendati begitu,tanggung jawab seorang wirausahawan sosial amat berat. Sebab, bukan hanya perubahan sosial yang harus diciptakan, tetapi juga harus mampu mengubah sistem yang berlaku di masyarakat. Wajar jika muncul asumsi yang menyebutkan kewirausahaan sosial adalah pertemuan antara pola kapitalisme dan sosialisme.

Terlepas dari asumsi apa pun yang muncul, kewirausahaan sosial mampu menciptakan inovasi sosial yang diukur dari seberapa besar unsur kebaruan yang dikreasikan dalam memberikan dampak terhadap kehidupan sosial masyarakat. Awalnya kewirausahaan sosial ditujukan sebagai kegiatan nirlaba. Di mana praktik-praktik yang dilaksanakan hanya bertujuan untuk perubahan sosial di masyarakat. Tetapi, inovasi yang muncul dari kewirausahaan sosial justru menumbuhkan hasil ekonomi sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Perilaku manusia selalu di dorong motif ekonomi. Dengan mendapat hasil ekonomi,manusia akan terpacu dan terus memelihara usahanya. Peran sosial tercapai, kemiskinan bisa diatasi, dan keberlanjutan kegiatan lebih terjamin. Meski begitu, kewirausahaan sosial masih tetap mempertimbangkan untung rugi layaknya bisnis pada umumnya. Prinsip-prinsip ekonomi seperti efisiensi pendanaan juga diterapkan.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah orientasi keuntungan yang diraih dinikmati secara pribadi, atau bersama- sama masyarakat sekitar? Sebab, belakangan muncul asumsi bahwa kewirausahaan sosial mengalami pergeseran. Kini tidak semata-mata bicara soal sosial tetapi lebih kepada unsur bisnis. Dengan kata lain, kewirausahaan sosial berkembang menjadi salah satu private entrepreneurship. Tetapi anggapan itu disanggah keras Drayton dalam Jurnal Innovation 2006 dengan menyebutkan apa yang dilakukan wirausahawan sosial semata-mata untuk menciptakan perubahan di bidang ekonomi dengan kegiatan-kegiatan sosial. “Apa yang mereka lakukan bukanlah pekerjaan, tetapi itu adalah hidupnya,” tegas Drayton.

Contoh sukses aksi kewirausahaan sosial ditunjukkan pria Bangladesh, Muhammad Yunus, dengan sistem Grameen Bank. Peraih Nobel Perdamaian 2006 ini tidak hanya menetapkan pola baru untuk kredit mikro bagi masyarakat kecil, tetapi juga menghilangkan jarak antara perbankan dengan masyarakat kecil yang selama ini selalu dianggap tidak layak bank (bankable). Sejak nama Yunus muncul, banyak orang bertanya, usaha yang ditekuninya ini bisnis atau sosial?

Di satu pihak, Yunus membebaskan masyarakat dari kemiskinan, namun di lain pihak, lembaga yang ditanganinya dikelola secara profesional bisnis. Tetapi, Yunus menjawabnya dengan tetap mempertahankan prinsip awal Grameen Bank sebagai bentuk kewirausahaan sosial, didasarkan kepada tanggung jawab sosial pada masyarakat. Terbukti, Yunus sukses memerangi kemiskinan di negaranya. Menurut Yunus, masyarakat menjadi miskin bukan karena mereka malas atau bodoh. Orang menjadi miskin karena mereka tidak memiliki struktur finansial yang bisa membantunya. Kemiskinan, kata Yunus, adalah masalah struktural, bukan persoalan personal.

“Supaya bisa terbang, Anda harus punya sayap. Bagi orang-orang miskin, modal yang murah adalah sayap. Kalau tidak punya sayap, mereka tidak akan bisa keluar dari kemiskinan,” tandas Yunus.

Karena itu, Yunus memberi masyarakat di sekitarnya akses untuk mendapatkan sayap-sayapnya sendiri.Sebab,ada orang yang terperangkap kemiskinan karena ulah mereka sendiri, karena cara berpikir yang keliru. Ada yang dibentuk nilai-nilai sosial yang dianut, ada yang mengalami kesulitan tertentu. Namun ada pula yang miskin karena “tak punya sayap” seperti kesehatan, pendidikan, akses permodalan dan pasar, teknologi, infrastruktur, dan lain sebagainya.

Melalui Grameen Bank, Yunus berhasil menyelamatkan jutaan warga Bangladesh dari kemiskinan. Bahkan, sistem yang dia gunakan di Grameen Bank kini diadopsi di berbagai negara dunia ketiga untuk memerangi kemiskinan, termasuk Indonesia. (*/Harian Seputar Indonesia)

No comments:

Post a Comment