Sulap Kayu Tua Jadi Dolar
Bagi kebanyakan orang, kayu-kayu tua dan bekas itu mungkin sampah tapi di tangan Pidekso, pemilik Taruemas Furniture, jadilah mereka emas. Berbekal kreativitas dan kejelian membaca peluang pasar, Pidekso membangun bisnis yang kini beromzet ratusan ribu dolar. Pasar mebel bikinannya dieskpor ke berbagai belahan dunia, terutama Eropa dan Amerika, Jepang, dan Korea.
Pidekso menuturkan ide kreatif dan pengalamannya terjun di bisnis furniture yang digelutinya itu. Awalnya, produk mebel Taruemas dibuat dari kayu-kayu tebangan yang dipasok PT Perhutani. Namun, sejak dua tahun lalu, setelah mengikuti berbagai pameran dan membaca banyak literatur, ia merasakan kalau konsumen mebel di luar negeri cenderung pilih-pilih.
“Kebanyakan pembeli internasional mintanya kayu untuk mebel bukan kayu tebangan,” kata Pidekso. Itu semua gara-gara isu pemanasan global yang tengah menjadi perhatian dunia. Pasar menuntut perhatian lebih terhadap kelestarian alam, termasuk mebel yang masuk ke wilayah Eropa, Amerika, serta Jepang dan Korea mustilah kayu tebangan bersertifikat.
Sadar semakin banyak perhatian pada isu lingkungan, dua tahun lalu Pidekso mulai ikut-ikutan menjual mebel daur ulang. Bahan baku diperolehnya dari bekas bongkaran rumah atau vila. “Mulanya saya beli tiga mebel jadi dari kayu daur ulang buatan teman saya. Belum sampai seminggu semuanya sudah laku. Akhirnya saya pindah haluan hanya menjual mebel dari kayu daur ulang,” sambungnya seperti dikutip Tempo.
Mulanya, Pidekso menuturkan, banyak kesulitan dijumpainya karena memang belum punya pengalaman masuk ke wilayah jual-beli kayu bekas. Tetapi setelah survei ke Jawa, Pidekso bisa menemukan banyak pemasok dari rumah-rumah kayu reot yang akan dibongkar pemiliknya. “Mungkin mereka banyak yang merasa lebih terhormat kalau bisa bangun rumah tembok,” ujar Pidekso.
Ternyata menjual produk-produk mebel dari kayu daur ulang justru membuat bisnis Pidekso makin moncer. Tak terpuruk saat permintaan anjlok, Pidekso membuktikan mampu bertahan saat dunia memasuki resesi ekonomi. Tahun 2008-2009, berbagai negara memang sedang diterpas krisis keuangan global. Daya beli turun dan orang cenderung menunda belanja. “
Kalau saya masih pakai kayu tebangan biasa, pasti usaha saya begitu-begitu saja. Tetapi karena produk saya ide baru, jadi pasar masih mau terima,” tutur Pidekso. Sebagai bukti, sambungnya, tahun 2009 ekspor perusahaannya masih bertahan dengan 10 kontainer ukuran 20 kaki. Jika nilai produk per kontainer US$ 15-20 ribu maka totalnya sekitar US$ 150-200 ribu.
Biarpun biaya produksi lebih mahal dibanding bahan baku kayu tebangan, tapi Pidekso mengaku marjin keuntungan bisnis mebel daur ulangnya justru lebih renyah. “Jadi kalau dilihat dari keuntungan, masih lebih untung bisnis kayu daur ulang,” tambah Pidekso.
Mulai awal Januari 2010, Pidekso makin berani berkreasi dengan menambah koleksi beraneka produk yang diperoleh dari kayu kapal bekas yang didaur ulang menjadi beraneka mebel bergaya modern. “Filosofinya untuk mebel-mebel ini setelah bertahun-tahun memberi penghidupan lalu istirahat, sekarang saya buat menjadi terhormat lagi dengan menjadi mebel yang berseni,” tuturnya.
Dalam proses produksipun Pidekso menanamkan filosofi cinta kepada anak buahnya. Ia, misalnya, meminta para tukang memasukkan unsur “hati” dalam setiap pengerjaan karya mebelnya. Dan ternyata, proses produksi malah menjadi lebih cepat karena "hati" para tukang telah nyambung dengan "jiwa" kayu-kayu yang mereka garap. Mereka menikmati kerja karena bebas berkreativitas. “Untuk buat satu kursi, hanya butuh dua hari,” tambah Pidekso.
Setelah mengikuti pameran di Kemayoran, ia makin optimis menyambut tahun 2010. Bahkan mentarget bisa meraup omzet hingga dua kali lipat. “Selain ekonomi membaik, minat kepada mebel hasil kayu daur ulang meningkat drastis. Apalagi sekarang bisa kombinasi produk dengan olahan kayu kapal,” ujar Pidekso.
Kayu daur ulang tetap jadi andalan. “Kepuasannya tidak terbayarkan dengan uang. Jadi tidak harus dilihat dari segi bisnis saja,” tutur Pidekso.
No comments:
Post a Comment