Monday, December 30, 2013

Dengan Rasa Kebijaksanaan




Dengan Rasa Kebijaksanaan


Sebagian besar orang memimpikan sebuah kehidupan yang makmur dan sejahtera. Namun, orang yang berpandangan jauh ke depan akan merasa tidak tenang dengan kemakmuran dan kesejahteraan itu. Mengapa? Dalam abad ke sebelas Masehi, Cina sering diganggu oleh bangsa-bangsa barbar yang bertetangga.

Suatu malam ketika sedang bekerja lembur, wakil perdana menteri Wong Dan, yang bahkan tidak sempat makan malam, mengeluh dan menggerutu “Ya ampun! Beban pekerjaan ini bisa membunuhku. Cepat atau lambat aku akan mati kecapaian. Kapan negeri kita bisa menikmati kedamaian lagi?”

“Oh, kau tidak bergurau bukan?” potong perdana menteri Lee Hang dengan senyum penuh arti.

“Kau seharusnya menganggap dirimu beruntung. Masalah yang terus menerus tetapi dapat diselesaikan, sebenarnya merupakan hal yang baik bagi seseorang juga sebuah negara. Dengan beberapa masalah di pundak kita, kita tetap waspada sepanjang waktu. Jika negeri ini pada akhirnya menjadi damai, ini hanya akan menimbulkan krisis yang tersembunyi, yang akan jauh lebih sulit untuk ditangani di masa depan. Sesudah aku pensiun, kau mungkin akan menggantikan posisi aku. Pada waktu itu, segala permasalahan kecil yang kita hadapi sekarang ini kemungkinan besar sudah tuntas. Negeri kita akan kuat dan makmur. Yang Mulia kaisar muda kita akan dimanjakan dengan kekuasaan mutlak dan kemakmuran yang tanpa masalah.

Tolong, sadarilah hal itu.”

Meski pun tidak menyetujui atasannya, wakil perdana menteri yang lelah itu tidak berani membantah, dan hanya menanggapi dengan anggukan sopan. Perdana Menteri yang bijaksana itu sering dengan sengaja memberitahukan semua bencana yang sedang terjadi, seperti banjir, kebakaran, masa kekeringan, atau pemberontakan, kepada kaisar yang ketakutan dan kebingungan.

“Yang Mulia,” wakil perdana menteri itu secara pribadi bertanya.

“Mengapa kita harus mengungkapkan semua kemalangan tersebut untuk mengganggu Yang Mulia? Dengan rendah hati aku berpendapat, itu tidak sopan…..”

“Kau sungguh keliru,” sang perdana menteri segera memotong pembicaraan wakilnya.

“Kaisar kita sedang berada pada usia awal belasan tahun, usia yang penuh optimisme yang bersih. Tanpa semua malapetaka itu yang senantiasa mengingatkan dia bahwa memerintah sebuah dinasti merupakan pekerjaan yang berat dan serius, aku takut kalau Yang Mulia kita sedikit demi sedikit akan menjadi lalai dan bahkan mengabaikan tugasnya. Aku akan seqera pensiun. Dan ini akan menjadi tanggung jawabmu. Berhati-hatilah.”

Beberapa bulan kemudian, perdana menteri itu pensiun dan wakil perdana menteri itu menggantikannya. Bangsa barbar di Utara membuat perjanjian damai dengan Cina. Tanpa perang atau bencana alam lainnya, ekonomi nasional berkembang dengan pesat. Negeri itu menikmati kemakmuran. Dengan hanya sedikit masalah kenegaraan yang mengkhawatirkannya, kaisar muda itu mulai mengunjungi gunung-gunung dan sungai-sungai yang terkenal. Orang-orang kasim yang licik dan pejabat-pejabat yang cakap, yang tahu cara merayu tuan mereka, secara sembunyi sembunyi mendekati kaisar yang kurang tanggap itu dan dengan cepat mendapatkan kepercayaannya. Favoritisme berkembang. Tanpa mempedulikan kemampuan mereka, orang-orang haus kekuasaan yang jahat itu mempekerjakan komplotan mereka dalam posisi-posisi pemerintahan.

Sedikit demi sedikit, mereka menduduki sebagian besar posisi yang berpengaruh. Mereka mendorong kaisar muda itu untuk membangun sebuah istana kekaisaran lain yang berukuran besar dan banyak tempat tinggal yang mewah. Perdana Menteri yang baru itu tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan situasi yang semakin memburuk dengan cepat ini. la ingin mengundurkan diri tetapi tidak sanggup menyaksikan dinasti itu jatuh. Barulah dia mengerti bahwa kekhawatiran yang bijaksana dari pendahulunya sebagian besar terjadi.

Sebuah kasus serupa terjadi di masa Musim Semi dan Gugur yang penuh chaos, 770 S.M. sampai 476 S.M. Sebuah negara yang kuat, sesudah bertahun-tahun berjuang dan mengalami sejumlah pertempuran yang berdarah, akhirnya menaklukkan salah satu tetangganya yang sama kuatnya. Tuan yang menang, Gin Li, bermaksud untuk membantai setiap tawanan perang dan memperbudak seluruh warga kota tersebut.

“Tolong, Tuan yang Agung, untuk kebaikan kita bersama, selamatkanlah musuh anda,” seorang komisioner bernama Fan Shieh (Fan Win-Zye) dengan sopan menyarankan.

“Hanya seorang yang sangat bijaksana yang dapat selalu menjaga negerinya bebas dari masalah. Bagi seorang negarawan biasa, selalu ada masalah baik dari dalam mau pun dari luar. Tetapi dengan tidak membunuh musuh kita, menjaga mereka tetap hidup tetapi lemah, kita secara cerdik menciptakan suatu lawan, yang akan senantiasa mengingatkan kita akan pentingnya eksistensi diri kita dan membuat kita tetap waspada. Jika tidak, sebuah periode yang bebas masalah akan terjadi. Kita mungkin menjadi manja dan bahkan, jika aku boleh bilang, dihancurkan oleh kemakmuran kita sendiri.”

Tuan itu mencemooh perkiraan tersebut dan tanpa ampun memerintahkan pasukannya untuk membantai orang-orang tawanan dan menghancurkan kota itu.

Sesudah kemenangan yang mutlak ini, reputasi dan gengsi negeri itu berada di puncaknya. Berada di antara segelintir penguasa-penguasa yang paling kuat, tuan itu menjadi angkuh dan boros. Rakyatnya merasa tersanjung oleh status baru mereka di antara bangsa-bangsa lain. Mereka menjadi egois dan hidup mewah. Pemerintah melakukan korupsi dan warga negara menjadi tamak. Banyak uang dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebagai akibatnya, pajak yang tinggi dibebankan pada kelas buruh, yang tidak mempunyai suara dalam politik dan paling menderita.

Selama periode bencana alam, banyak petani yang tidak dapat membayar pajak mereka yang sudah jatuh tempo, memberontak melawan pemerintah. Para prajurit di panggil untuk mengatasi mereka. Ribuan orang mati dalam konflik ini. Dalam pemberontakan lain, sang tuan dibunuh dan rezimnya digulingkan.

Seorang yang ambisius harus selalu memiliki rasa kebijaksanaan. Dia harus sepenuhnya siap berhadapan dengan masalah apa pun, dan waspada terhadap krisis yang munqkin terjadi. Hidup yang terlalu bebas dari masalah secara perlahan dapat mengikis kebijaksanaan dan pada akhirnya menjadi sumber kehancuran.

No comments:

Post a Comment