Tuesday, December 31, 2013

Kisah Sebuah Batu Pemantik



Kisah Sebuah Batu Pemantik 


Satu, dua! Satu, dua! Satu, dua! Seorang prajurit berbaris seorang diri di jalan. Ia menyandang ransel di punggungnya. Di pinggang tergantung pedang. Ia baru saja dari berperang. Sekarang ia akan pulang. Ia telah berbuat jasa. Oleh karena itu ia dinamakan pak Bintang.

Jalanan amat sunyi. Tiba-tiba ia berjumpa dengan nenek tukang sihir. Nenek itu rupanya amat buruk. Mulutnya lebar. Bibirnya panjang tergantung sampai ke dagu. Ia amat kurus. Badannya bergontai bagaikan daun tertiup angin.

“Selamat malam, Bintang!” tegur tukang sihir itu.

“Ransel dan pedangmu bagus benar. Engkau benar-benar seperti prajurit. Bintang, engkau dapat memperoleh uang yang amat banyak. Jika engkau mau.”

“Terima kasih banyak, “jawab pak Bintang setengah percaya.

“Siapa tidak mau uang.”

Tukang sihir itu menunjuk sebatang pohon yang amat besar.

Ia berkata, “Aku berkata sungguh-sungguh. Pohon ini, seluruh batangnya berlubang di dalamnya. Panjatlah hingga ke puncak. Kemudian masuklah ke dalam lubang itu. Aku akan mengikat pinggangmu dengan seutas tali. Turunlah dengan tali itu hingga sampai ke bawah. Jika engkau akan naik ke atas lagi, berteriaklah. Aku akan menarikmu ke luar.”

“Tetapi, untuk apa aku harus masuk ke dalam lubang segala?” tanya pak Bintang.

“Mengambil uang!” jawab nenek itu.

“Bila engkau sudah sampai di bawah, lubang itu menjadi amat luas. Seperti sebuah ruangan yang besar saja. Ada tiga ratus batang lilin yang meneranginaya. Di dalam ruangan itu ada tiga buah kamar. Masing-masing berpintu. Kalau engkau memasuki kamar pertama, di tengah kamar itu ada sebuah peti besar.


Di atas peti duduk seekor anjing yang menunggui. Matanya sebesar cawan. Engkau tidak usah takut. Hamparkan saja selendangku ini. Dudukkan anjing itu di atasnya. Engkau boleh mengambil uang sebanyak-banyaknya. Peti pertama ini berisi uang tembaga.

Bila engkau lebih suka akan uang perak, masuk saja ke kamar kedua. Di sana anjingnya lebih besar. Matanya sebesar bola. Tetapi engkau tak perlu takut. Perbuatlah seperti tadi. Hamparkan selendangku, lalu dudukkan anjing itu di atas selendang. Ambillah uang sebanyak engkau kuat membawanya.

Kalau engkau lebih suka akan uang emas, engkau harus masuk ke kamar ketiga. Di sini anjingnya luar biasa. Matanya sebesar jam kota! Percayalah, ia adalah anjing yang paling jahat! Tetapi jangan takut. Dudukkanlah ia ke atas selendangku. Ia akan menjadi anjing yang paling jinak. Ambillah uang emas sesukamu!”

Bukan main! Semuanya serba baik.

“Tetapi Nenek, apa yang harus kuberikan kepadamu?”

“Aku tidak minta apa,” jawab nenek sihir itu.

“Sepeser pun aku tak mau menerima darimu. Hanya ada satu permintaanku. Ambilkan untukku sebuah batu pemantik. Batu itu peninggalan nenekku. Ia lupa membawanya, ketika keluar dari lubang itu.”

“Baik,” kata pak Bintang.

“Aku terima permintaanmu. Ikat saja segera pinggangku.”

Nenek segera mengikat pinggang pak Bintang. Diberikannya pula selendangnya. Pak Bintang segera memanjat pohon. Talinya diulurkan oleh si nenek. Sampai di puncak, pak Bintang segera masuk ke dalam lubang. Dengan bergantung kepada tali, ia turun hingga ke bawah. Tepat perkataan nenek sihir. Ruangan di bawah amat luas. Tiga ratus batang lilin menyala menerangi. Dengan segera ia masuk ke pintu pertama. Di atas sebuah peti duduk seekor anjing

Ia selalu memandangi segala gerak gerik pak Bintang. Benar, matanya sebesar cawan.

“Haa,” kata pak Bintang,

“Anjing yang baik.”

Ia segera menghamparkan selendang di atas lantai

“Duduklah baik-baik,” katanya lagi.

Anjing itu diangkatnya, lalu didudukkan ke atas selendang. Setelah itu ia lalu mengambil uang sebanyak-banyaknya. Anjing itu dikembalikan ke atas peti. Selendang nenek dibawa lagi.

Kemudian ia memasuki kamar kedua. Anjing yang menjaga di sini lebih besar lagi. Dengan mata bolanya, ia memandangai pak Bintang!

“Jangan memandang saja!” kata pak Bintang.

“Nanti matamu meloncat ke luar!”

Seperti tadi, anjing itu didudukkan ke atas selendang nenek. Ketika ia melihat uang perak, dibuangnya segala uang tembaganya. Ranselnya dipenuhi dengan uang perak. Demikian juga saku baju dan celananya!

Kemudian ia masuk ke kamar yang ketiga. Luar biasa. Pemandangannya sungguh mengerikan. Di sana duduklah seekor anjing raksasa! Matanya sebesar jam kota. Kedua mata jam kota itu selalu berputar. Mengikuti segala gerak gerik pak Bintang.

“Selamat malam!” kata pak Bintang.

Mau tak mau ia harus menghormati anjing istimewa ini! Belum pernah ia melihat anjing sebesar itu. Ia memang seorang militer tulen. Sedang anjing itu pantas mendapat hormat. Maka segera ia mengangkat tangan menghormat secara militer! Tetapi, hormat atau tidak, anjing itu didudukkan ke atas selendang. Bukan main! Belum pernah ia melihat uang emas sebanyak itu!

‘Wah! Banyak amat!” kata pak Bintang.

Ranselnya segera dijungkirkan. Saku baju dan celana dibalikkan. Berhamburan uang perak itu di lantai. Kemudian ranselnya dipenuhi dengan uang emas. Demikian juga saku-sakunya. Bahkan sepatunya diisi dengan uang emas!

Sambil menghormat lagi, anjing itu didudukkan lagi ke atas peti. Pintu kamar ditutup lalu keluar.

Ia berteriak, “Sudah, Nek! Tarik aku ke luar!”

“Engkau tidak lupa batu pemantik?” seru nenek dari luar.

“Wah, hampir lupa!” kata pak Bintang.

Ia kembali sebentar mengambil batu itu. Ia lalu ditarik ke atas. Setelah turun, ia berjalan dengan langkah berat. Ransel, saku baju dan celana penuh semua. Bahkan topi dan sepatunya!

Ia menghampiri nenek sihir.

“Untuk apakah sebenarnya batu ini?” tanyanya kepada nenek sihir.

Tetapi nenek itu menjawab, “Itu bukan urusanmu! Engkau harus sudah puas dengan uang emas!”

“Kau licik!” hardik pak Bintang.

“Itu bukan jawaban! Kalau engkau tak mau mengatakan, kubunuh engkau!”

“Jangan”, teriak nenek sihir, tetapi ia sudah mati.

Semua uang emasnya, lalu dibungkus dengan selendang si nenek. Setelah itu, bungkusan itu lalu dipanggulnya di pundak. Kemudian ia pergi berjalan ke arah kota.

Kota itu sungguh bagus. Besar dan ramai Ia memilih sebuah penginapan yang paling mahal. Kamarnya yang paling mewah. Setelah itu ia memesan makanan kegemarannya. Ia makan sekenyang-kenyangnya.

Hatinya puas. Bukankah kini ia kaya raya?

Hanya pelayan penggosok sepatu yang agak kurang ajar. Ia berkata, bahwa sepatu pak Bintang sudah lusuh!

Esok harinya, pak Bintang segera membeli sepatu baru. Juga pakaian yang paling bagus. Sekarang ia benar-benar seperti orang terkemuka!

Ia mulai bergaul mencari teman. Dari mereka ia banyak mendengar sesuatu yang bagus di kota itu. Ia juga mendengar, tentang puteri raja yang terkenal amat cantik.

“Apakah aku boleh melihatnya?” tanya pak Bintang.

Tak seorang pun diperbolehkan melihat. Puteri itu tinggal di dalam istana terbuat dari tembaga. Dikelilingi tembok yang tinggi dan tebal. Menaranya pun tinggi-tinggi. Tak seorang pun diperkenankan masuk. Kecuali raja dan permaisuri tentu saja.

Semua itu sebabnya ialah, dulu pernah diramalkan, bahwa puteri itu kelak akan kawin dengan seorang prajurit. Bahkan seorang prajurit rendahan biasa.

“Ah, aku ingin melihat semua itu!” pikir pak Bintang.

Tetapi bagaimana pun, ia tak diijinkan masuk ke dalam istana tembaga.

Pak Bintang hidup menuruti kesenangannya. Ia selalu berkeliling kota. Kemana-mana selalu naik kereta. Tiap malam, ia nonton wayang atau sandiwara. Ia makan di restoran yang paling mahal. Tetapi ia juga banyak memberi uang kepada oran miskin. Sebab ia pernah merasakan sendiri, bagaimana pedih rasanya perut yang lapar.

Karena ia kaya dan selalu berpakaian bagus, dengan cepat ia mendapat banyak teman. Mereka selalu memuji. Mereka berkata, bahwa ia gagah dan tampan. Seperti seorang ksatria! Tentu saja, karena ia banyak uangnya! Tetapi uang itu cepat berkurang.

Pak Bintang hanya tahu mengeluarkan uang. Ia tak pernah berhemat. Ia pun tak mengerti untuk mencari. Apalagi bekerja mencari upah!

Pada suatu haru uangnya tinggal dua keping. Itulah akibatnya kalau terlalu boros!

Ia terpaksa berpindah. Meninggalkan kamarnya yang mewah. Tinggal menumpang di kamar loteng. Sekarang ia harus menggosok sepatunya sendiri. Teman-temannya tak ada yang mengunjunginya lagi. Siapa mau bersusah-susah naik tangga ke kamar loteng?

Pada suatu senja, ia duduk di depan kamar. Ia merenung di dalam kegelapan. Uang untuk membeli lilin pun ia tak punya. Tiba-tiba saja ia teringat batu pemantik.

Ia segera masuk ke dalam kamar. Setelah dapat, ia lalu memantik. Maksudnya mau membuat api. Tetapi begitu api meletik, seketika itu juga pintu kamar terbuka lebar. Seekor anjing bermata sebesar cawan melompat masuk ke dalam.

Si mata cawan segera bertanya, “Tuan menginginkan apa?”

Pak Bintang terkejut juga.

Pikirnya, “Apakah ini artinya?”

Ternyata batu pemantik itu ajaib luar biasa. Jika dipantik sekali, si mata cawan segera datang. Jika dipantik dua kali, si mata bola yang datang. Jika dipantik tiga kali, si mata jam kota yang datang. Mereka selalu dapat membawakan apa yang dikehendaki pak Bintang.

Dalam sekejab, ia menjadi kaya lagi! Ia kembali menempati kamarnya yang mewah. Pakaiannya bagus-bagus. Teman-temannya datang lagi. Sekarang mereka tak perlu lagi naik tangga!

Pada suatu hari pak Bintang berpikir. Mengapa puteri raja itu tinggal di istana tembaga? Tak seorang pun boleh melihatnya? Apa gunanya ia begitu cantik, jika tinggal terasing di tempat tertutup?

Malam itu ia memantik batu pemantiknya. Dengan segera datang si mata cawan.

Pak Bintang berkata, “Sekarang memang tengah malam, tetapi aku ingin sekali melihat tuan puteri. Biar pun hanya sedetik.”

Anjing itu segera melompat pergi. Sebelum pak Bintang menyadari, si mata cawan telah kembali. Di punggungnya, tuan puteri sedang tidur nyenyak! Benar, puteri itu sungguh cantik. Sekilas orang memandangnya, segera ia akan mengaku, itulah puteri sejati!

Pak Bintang tersentak, ia segera berdiri tegak.

“Bersi-ap! Beri Horr-mat!” katanya di dalam hati.

Ia memang prajurit sejati.

Anjing itu segera pula balik kanan. Dalam sekejab, puteri telah sampai di istana.

Puteri itu merasa seperti mimpi. Keesokan harinya, ketika ia bersantap bersama kedua orang tuanya, ia bercerita. Ia berkata, tadi malam ia bermimpi: seekor anjing ajaib telah datang, ia di bawa oleh anjing itu ke suatu tempat, di sana ia dihormat oleh seorang prajurit.

Permaisuri berkata, “Aneh benar. Aku heran sekali!” Tetapi permaisuri memang amat cerdik. Pada malam berikutnya, ia memerintahkan seorang dayang. Dayang itu harus berjaga di kamar tidur tuan puteri. Dayang itu harus membuktikan, apakah puteri itu betul-betul hanya mimpi.

Pak Bintang benar-benar rindu kepada puteri. Malam itu, sekali lagi ia memanggil si mata cawan. Disuruhnya membawa tuan puteri.

Nah, itulah dia, si mata cawan datang lagi membawa tuan puteri. Tetapi dayang tua itu lari mengikuti. Ia melihat anjing itu memasuki sebuah rumah besar.

Dengan hati-hati, pintu rumah itu diberi tanda dengan kapur. Pikirnya, esok pagi ia akan mudah menemukan rumah itu kembali. Dengan diam-diam dayang itu kembali ke istana.

Tetapi si mata cawan melihat tanda pada pintu itu. Ia pun membuat tanda-tanda yang sama pada setiap pintu di kota itu! Sekarang dayang itu boleh mencari rumah pak Bintang!

Keesokan harinya, raja dan permaisuri pergi mencari. Mereka diiringkan segenap perwira pengawalnya. Ditelitinya setiap pintu rumah, mencari tanda dengan kapur.

Dengan segera sang raja menemukan sebuah tanda pada sebuah pintu. Ia berseru: “Ini dia, rumah itu!”

“Bukan yang itu,” kata permaisuri.

“Lihat ini, di seberang ini. Inilah tandanya”.

Tetapi para perwira pun semua melihat tanda-tanda di banyak pintu. Akhirnya mereka menghentikan pencarian itu. Mereka menjadi bingung. Tetapi Permaisuri memang cerdik. Kecuali pandai naik kereta, ia pun bisa segala hal.

Permaisuri itu mengambil gunting emasnya. Sehelai kain sutera dipotongnya menjadi dua. Lalu dijahitnya menjadi sebuah kantong. Salah satu sudutnya diberi lubang kecil. Kemudian kantong itu diisi dengan gabah. Setelah itu lalu dijahitkan pada baju tuan puteri.

Malam itu si mata cawan datang lagi. Ia tak tahu akal permaisuri. Ketika ia membawa tuan puteri, gabah itu berjatuhan sepanjang jalan.

Sementara itu pak Bintang melamun. Seandainya saja ia seorang pangeran. Atau seorang ksatria. Tentu ia diperkenankan melamar tuan puteri.

Pagi harinya, raja dan permaisuri mengetahui ke mana tuan puteri malam tadi dibawa. Ia segera memerintahkan untuk menangkap pak Bintang.

Pak Bintang terpaksa mendekam di dalam penjara. Ia merasa bosan dan kesal sekali. Pada suatu hari, seorang penjaga berkata: “Besok pagi engkau akan digantung!”

Pak Bintang menyesal, bahwa batu pemantiknya tertinggal di kamarnya. Pagi harinya, pagi-pagi benar, ia melihat ke luar melalui jendela kamar tahanannya.

Orang-orang berbondong-bondong pergi ke luar kota. Mereka ingin menyaksikan pak Bintang akan digantung. Ia pun mendengar suara genderang. Terdengar pula langkah-langkah para prajurit. Semua penghuni kota rupanya tertumpah di jalanan.

Begitu pula seorang pembantu tukang sepatu. Pembantu itu berlari-lari cepat. Karena cepatnya, sebelah sandalnya terlepas. Sandal itu terpental jatuh tepat di bawah jendela kamar tahanan. Pembantu itu segera lari berbalik untuk mengambilnya.

Pak Bintang berkata: “He, Bung! Engkau tak perlu tergesa-gesa. Engkau tak akan terlambat. Upacara tak dapat dimulai, sebelum aku datang. Kalau engkau ingin hadiah empat keping uang emas, ambilkan batu pemantikku. Aku terlupa, tertinggal di atas meja penginapanku. Larilah secepat kilat!”

Tentu saja pembantu tukang sepatu itu mau. Siapa yang tidak ingin empat keping uang emas?

Di luar kota ada sebuah lapangan tempat penggantungan. Beribu-ribu penduduk berdesak-desakan. Bercampur baur dengan para prajurit. Semua ingin melihat penggantungan.

Raja dan permaisuri duduk di sebuah panggung. Di hadapannya duduk para hakim pengadilan.

Saat penggantungan telah tiba. Pak Bintang dibawa maju ke hadapan raja. Pak Bintang mengajukan sebuah permohonan.

“Paduka,” katanya.

“Ijinkanlah aku merokok dulu. Aku ingin sekali menghisap pipaku. Inilah terakhir kali aku merokok.”

Untuk permohonan yang sederhana itu, raja tak dapat menolak. Pak Bintang segera mengambil pipanya. Ia memantik batu pemantiknya.

Satu, dua, tiga. Ia memantik tiga kali. Seketika itu juga datanglah tiga ekor anjing. Si mata cawan, si mata bola dan si mata jam kota.

Pak Bintang berkata, “Bebaskanlah aku. Aku tak mau digantung.”

Anjing-anjing itu segera bertindak. Mula-mula mereka melompat ke arah para hakim. Hakim-hakim itu digigit kaki, tangan, baju dan sebagainya. Kemudian dilemparkan ke atas, jatuh berdebum ke tanah.

“Jangan ganggu aku,” teriak raja ketakutan.

Tetapi si mata jam kota segera menerkamnya. Raja dan permaisuri pun terpelanting ke tanah.

Para penonton berteriak, “Bagus, bagus! Hee, Pak Bintang! Engkaulah yang harus menjadi raja. Menikahlah dengan tuan puteri.”

Para penduduk segera mengelu-elukannya. Mereka mendudukkan pak Bintang ke atas kereta kerajaan. Ketiga ekor anjing menjadi pengawal depan. Semua bersorak kegirangan.

Para prajurit pengawal segera berbaris menghormat, “Hormat senjataaa….. ! Geraaak!”

Puteri raja keluar dari istana tembaga. Ia kini menjadi permaisuri. Mereka merasa amat berbahagia.

Pesta pernikahan berlangsung delapan hari delapan malam. Ketiga ekor anjing ikut duduk di meja perjamuan.

No comments:

Post a Comment