Si Bungkuk Dan Si Buta
Di sebuah desa tinggallah dua orang cacat, orang buta dan orang bungkuk. Keduanya hidup bertetangga dengan baik. Pada suatu hari mereka berdamai untuk bekerja sama. Si Buta sebenarnya cacat sejak kecil. Kulit matanya tertutup dan tak dapat melihat. Sebaliknya si Bungkuk cacatnya tidak sejak kecil. Menurut ceritanya, ia bungkuk karena bekerja sebagai kuli angkut karung beras. Ketika masih muda si Bungkuk sanggup mengangkat karung yang beratnya satu kwintal. Tapi sejak ia menjadi bungkuk, namanya yang semula pak Saman telah berganti jadi si Bungkuk. Dia tidak lagi sanggup mengangkat karung berisi beras. Usianya tak memungkinkannya lagi.
Si Buta lain lagi riwayat hidupnya. la buta sejak kecil.. Kulit matanya tak dapat dibuka. Namanya Aman, orang menyebut si Buta untuk memudahkan mengenalnya. Pekerjaan si Buta setiap hari membuat kerajinan tangan. la membuat sapu lidi dan sapu ijuk. Si Buta juga pandai membuat kosetan kaki dari sabut kelapa. Dahulu ketika isterinya masih hidup, si Buta dituntun oleh isterinya setiap kali menjual hasil kerajinannya. Sekarang setelah isterinya meninggal, si Buta harus berjualan sendiri. la berjualan dengan pertolongan tongkatnya yang terbuat dari kayu ruyung pohon enau. Tongkat itu karena seringnya dipergunakan sampai mengkilat.
Hidup mereka yang sederhana sebagai orang yang bertetangga sangat rukun. Setiap berjumpa, mereka saling menegur dan saling menghormati. Maka terjalin suatu persahabatan yang akrab di antara mereka.
Pada suatu hari si Bungkuk datang berkunjung ke rumah si Buta, sahabatnya. Sahabatnya ketika itu sedang asyik menganyam kosetan dari sabut kelapa.
“Man, rajin benar kau?”
“Oh, yang datang tentu Pak Saman, ya?”
“Benar.”
“Ayo silahkan duduk. Silahkan duduk,” kata si Buta.
“Terima kasih. Sudah, jangan repot-repot.”
“Apa kabarnya, Pak Saman?”
“Ya baik-baik saja. Sukar benar sekarang mencari nafkah,” kata si Bungkuk.
“Memang, aku juga mengalami kesukaran. Ketika isteriku masih hidup…. ah aku dapat berjualan bersamanya sampai ke desa tetangga yang jauh. Sekarang karena mataku buta, aku tak dapat berjalan terlalu jauh dari kampung kita. Sedang daganganku di desa kita lakunya tak seberapa,” kata si Buta, nadanya penuh sesal.
“Memang tidak mungkin, jika hanya mengandalkan sebuah tongkat saja. Apalagi kau sudah tua,” kata si Bungkuk.
“Ya jika saja perkawinanku dahulu dikaruniai seorang anak…. Ah, aku tak dapat berangan-angan,” kata si Buta.
“Aku lebih celaka lagi. Sampai sekarang aku tidak pernah menikah. Maklum keadaanku yang sangat susah,” kata si Bungkuk.
“Aku bermaksud mencari seorang anak lelaki yang dapat menuntun dan membantu aku menjual sapu.”
“Kau bermaksud mencari pembantu?”
“Ya, agar aku dapat berjualan ke tempat yang agak jauh. Aku kira langgananku di tempat jauh sudah tak punya lagi sapu dan kosetan.”
“Aku…. ah,” si Bungkuk tak melanjutkan kata-katanya.
“Mengapa berhenti? Apa yang hendak kau katakan?”
“Aku mau menuntunmu. Kalau perlu, menggendongmu jika kau kecapaian. Tapi aku khawatir kau tak menyetujuinya,” kata si Bungkuk.
“Kau? Kau mau membantuku?”
“Ya, jika kau bersedia menerima bantuan dariku.”
“Oh, dengan senang hati. Mulai besok kita akan berjalan bersama. Mencari nafkah bersama, dalam suka dan duka, setuju?”
“Syukurlah jika kau mau.”
Setelah membuat rencana dan perjanjian, si Bungkuk permisi dari kawannya. Si Buta sangat senang mendapat pekerjaan baru. Mereka akan bekerja sama. Sekali pun mereka cacat, tapi mereka tak ingin menjadi pemalas. Mereka akan mencari nafkah yang halal.
Keesokan harinya, si Bungkuk berjalan di muka sambil menuntun si Buta. Mereka berjualan hasil kerajinan tangannya. Sesuai dengan perjanjiannya, jika si Buta kecapaian, si Bungkuklah yang menggendongnya. Perjalanan yang mereka tempuh cukup jauh. Kadang-kadang mereka makan di warung nasi, kadang-kadang di sembarang tempat.
Si Bungkuk sekarang, selain bertugas sebagai penunjuk jalan, karena matanya normal dan tenaganya kuat, juga bertugas sebagai pemegang keuangan. Si Bungkuk juga mulai belajar membuat kosetan dari sabut kelapa. la membantu membuat dagangan. Si Buta sangat bersyukur dapat seorang sahabat. Sekarang ia dapat menjual hasil pekerjaannya ke tempat-tempat yang jauh. Penghasilan mereka sekarang agak lumayan.
Yang mengatur uang belanja sekarang si Bungkuk. Sebab si Buta tak dapat melihat dan takut dibohongi. Si Buta percaya penuh pada sahabat barunya. Jika mereka pulang siang, mereka masak sendiri. Semua urusan rumah tangga dilaksanakan oleh si Bungkuk. la yang membelikan rokok untuk si Buta. la juga yang mengatur membuat sayur untuk makan mereka setiap hari. Pendeknya, segalanya diatur oieh si Bungkuk.
Tak ada gading yang tak retak, kata sebuah pepatah. Begitu juga yang terjadi atas persahabatan si Bungkuk dan si Buta. Di dalam hati si Bungkuk telah timbul suatu perasaan yang kurang baik. la merasa seolah ia lebih penting dari sahabatnya. Perasaan yang sebenarnya sangat buruk.
“Akulah yang menuntun si Buta. Akulah yang tahu tempat calon pembeli. Dan akulah yang dapat melihat dan menentukan berapa harus kujual daganganku,” pikir si Bungkuk pada suatu hari.
“Sebenarnya sudah sepantasnya jika aku mendapat bagian yang lebih besar dari si Buta,” pikir si Bungkuk lagi.
Di waktu malam otak si Bungkuk bekerja keras. la ingin punya kedudukan lebih berkuasa dari si Buta. Si Bungkuk telah lupa, bahwa pekerjaan yang sekarang ia kerjakan, adalah berkat kebaikan si Buta.
Karena ada pikiran-pikiran jelek yang menggoda hatinya, si Bungkuk jadi pemurung. Hatinya tidak sebersih ketika mereka baru bekerja sama. la akan merencanakan suatu kecurangan.
“Aku dapat berbuat sesuka hatiku. Si Buta pasti tak akan mengetahuinya, karena matanya buta,” pikir si Bungkuk.
Si Buta sendiri tak mengetahui niat buruk sahabatnya. la tetap, bersikap manis terhadap sahabatnya. Sebagai orang yang cacat matanya, ia menyadari bahwa pada jasmaninya terdapat suatu kekurangan. Dengan bekerja sama dengan si Bungkuk kekurangan itu dapat ditutupinya. la berterima kasih atas kesediaan si Bungkuk. Apabila dalam perjalanan jauh ia letih, sahabat yang bertenaga kuat ini mau menggendongnya. Memang pada saat akhir-akhir ini.
Kaki si Buta terasa mulai agak lumpuh. la mulai tak sanggup melakukan perjalanan yang agak jauh. Jika penjualan hasil sapu ijuk dan sapu lidinya dipercayakan kepada si Bungkuk saja, langganannya banyak yang tak percaya kalau sapu itu buatannya.
Sebenarnya ia tak ingin membebani si Bungkuk. Sudah melakukan perjalanan jauh, masih harus menggendong tubuhnya yang tak sanggup berjalan. Si Buta juga tahu perasaan, dan ia juga merasakan keringat si Bungkuk yang mengucur deras, jika ia sedang menggendong dirinya.
“Aku sebenarnya hanya membebani engkau saja, kawanku.”
“Ah, tak apa. Sebab jika aku berjualan sendirian, langganan kita tak mau membelinya,” kata si Bungkuk.
Padahal hatinya sebenarnya mendongkol.
“Memang kau hanya membebani aku saja,” pikir si Bungkuk dalam hati dongkolnya.
Pada suatu hari mereka berjualan ke desa yang cukup jauh.
Pada tengah hari keduanya kembali pulang. Yang laku hanya beberapa buah sapu lidi dan sebuah kosetan saja. Hari itu hari naas baginya.
“Aku lapar, Kuk.” Kata si Buta ketika mereka tiba di sebuah warung nasi langganannya.
Ini diketahui oleh si Buta dengan penciumannya yang tajam. Warung nasi itu letaknya tak berjauhan dengan sebuah sungai. Sebuah warung yang cukup banyak pengunjungnya.
“Ayo kita makan,” kata si Bungkuk yang terus menuntun si Buta ke tempat rumah makan.
Keduanya segera mencari tempat duduk. Seperti biasanya, si Bungkuk memesan nasi dan lauk pauknya. Ketika memilih lauknya ini, timbullah kedengkian si Bungkuk. la memilih limpa dan hati sapi yang digoreng. Sedangkan untuk si Buta, ia memilihkan daging yang berurat dan alot sekali.
Si Buta karena laparnya melahap nasi yang disediakan. la mendapat kesulitan dengan daging yang alot itu. Berkali-kali ia menggigitnya, tapi rupanya giginya tak sanggup memotong daging yang banyak uratnya itu.
“Kuk tak ada daging yang lain?”
“Tidak ada. Aku juga makan daging yang sama,” kata si Bungkuk.
“Coba kau pilihkan yang agak empuk,” pinta si Buta.
“Semuanya sama saja.”
Akhirnya si Buta diam. la berusaha memakan daging yang liat itu. Giginya segera menggigit kuat-kuat, tangannya juga menarik daging itu kuat-kuat pula. Tubuhnya berkeringat, karena berjuang melawan daging yang alot itu.
Si Bungkuk yang memperhatikan perjuangan si Buta, sedikit pun tak menaruh kasihan. Si Bungkuk acuh tak acuh, membiarkan sahabatnya berjuang keras. Sedangkan dia enak-enak menikmati goreng limpa dan hati. Yang hadir di warung itu mendongkol atas kecurangan si Bungkuk. Tapi mereka tak dapat ber-buat apa-apa, sebab mereka tak mengetahui siapa di antara mereka sebenarnya yang berkuasa atas uang belanja mereka.
Gigi-gigi si Buta yang kuat telah tertanam di daging urat dengan kuat sekali. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk memutuskan daging yang digigitnya. Mata si Buta yang tadinya terpejam, karena kuatnya berusaha mengalahkan daging, kelopak mata si Buta tiba-tiba terbuka.
Aneh bin ajaib, mata yang buta itu tiba-tiba dapat melihat. Hal ini tidak diketahui oleh sahabatnya si Bungkuk. Si Buta terperanjat karena sukacita. Sekarang dengan matanya yang baru melek itu ia dapat menikmati keindahan dunia. la dapat melihat terang, ia dapat melihat warna hijau daun.
Dan ketika ia memandang ke piring si Bungkuk, hatinya menjadi marah bukan main. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan kecurangan sahabatnya. Di piring si Bungkuk masih terdapat goreng limpa dan hati. Sedang pada piring yang dipegangnya ada dua kerat daging yang terdiri dari urat yang keras dan alot sekali.
“Kurang ajar,” pikir si Buta.
Diam-diam diambilnya tongkatnya yang terbuat dari ruyung pohon aren. Tanpa berpikir panjang punggung si Bungkuk dipukulnya kuat-kuat.
“Aduh! Aduh apa salahku? Aduh, ampun!”
“Kurang ajar, kau curang, Bungkuk. Kau makan makanan yang enak-enak, sedangkan aku kau biarkan berjuang melawan urat yang keras!”
Si Buta tak hentinya memukul-mukul punggung si Bungkuk. la tak dapat menahan kemarahan si Buta yang sekarang telah berubah. Matanya telah celik, matanya telah dapat melihat dunia yang tadinya hanya hitam semata. Dengan pertolongan Tuhan, matanya yang buta telah menjadi celik kembali.
Si Bungkuk yang dipukuli pun tiba-tiba pingsan. Barulah si Buta menghentikan pukulannya. Orang banyak segera melerai perselisihan mereka. Si Bungkuk ditolong dan disiram dengan air. Dan perlahan-lahan ia menggeliat bangun. Ketika ia bangun kembali telah terjadi suatu mujizat. Si Bungkuk telah berdiri tegap. la tidak bungkuk lagi. la telah pulih dari bungkuknya seperti ketika ia masih muda.
Setelah banyak orang mengerumuninya. si Buta dapat disabarkan. la tidak marah dan ia pun heran telah terjadi mujizat atas mereka berdua. Matanya telah dapat melihat, sedangkan si Bungkuk telah menjadi manusia sehat. la tidak bungkuk lagi seperti tadi, ketika mereka datang ke warung nasi itu.
“Kalian harus bersyukur kepada Tuhan. Tuhan telah menolong kalian. Jasmani kalian telah dipulihkan secara sempurna,” kata orang-orang di warung nasi tersebut.
Si Bungkuk dan si Buta saling bermaafan. Mereka sangat senang atas kesembuhan yang berlaku pada diri mereka. Keduanya juga sangat berterima kasih pada Tuhan. Seperti anjuran orang banyak mereka mengucapkan doa syukur.
“Sekali lagi maafkan atas kecuranganku kepadamu, Ta,” kata si Bungkuk penuh haru.
“Sudahlah, Kuk. Jika tadi kau tidak mencurangi aku, tak mungkin aku dapat melihat,” jawab si Buta.
“Sebaliknya maafkan aku tadi memukulmu,” kata si Buta.
“Aku juga memaafkan perbuatanmu. Sebab jika kau tidak memukuliku, bungkukku tak sembuh. Seharusnya kita berterima kasih kepada Tuhan. Sebab Tuhanlah yang Pengasih dan Penyayang yang memiliki segala mujizat.”
Si Buta kembali menghadapi nasinya. Tapi sekarang lauknya telah ditukar. Bukan dengan urat yang keras, tapi sama seperti yang dimakan si Bungkuk. Keduanya sambil makan bercakap-cakap. Orang di kedai nasi itu ramai memperbincangkan keajaiban yang baru terjadi. Setiap hari si Buta dan si Bungkuk memuji nama Tuhan, karena Tuhan telah menyembuhkan cacatnya.
Berita keagungan Tuhan yang telah memulihkan mata si Buta dan menyelamatkan si Bungkukdari bungkuknya, menyebar ke seluruh kampung. Kabar kesukaan ini disampaikan orang dari mulut ke mulut. Dalam beberapa minggu berita ini mendengung membesarkan keagungan nama Tuhan.
Si Bungkuk dan si Buta tetap bersahabat. Mereka juga tetap menjalankan pekerjaan mereka menjual sapu. Keduanya tak meninggalkan pekerjaan yang telah membawa mujizat dan merubah jalan hidupnya. Si Buta telah lama merindukan ingin melihat dunia yang indah. Sebab seumurnya ia hanya mengenal satu warna, warna hitam dan gelap. la tak dapat membedakan siang yang disinari sang surya. Dan malam gelap yang kadang-kadang disinari rembulan. Rembulan yang dahulu dikatakan indah oleh orang-orang yang melek, sekarang ia dapat menikmatinya.
Si Bungkuk sendiri telah jemu pada kebungkukan badannya. Padahal ketika ia muda, badannya tegap kuat. Pekerjaan sebagai kuli angkut karung yang telah menyebabkan tubuhnya menjadi bungkuk. Sekarang bungkuknya telah hilang. Sekarang keadaannya telah normal kembali seperti ketika ia masih muda.
Setiap hari kedua sahabat ini bercerita. Si Bungkuk bercerita tentang masa mudanya. la dilahirkan sebagai pemuda yang kuat. Karena orang tuanya tidak kaya. la terpaksa bekerja sebagai kuli angkut pada sebuah gudang beras. Tentang kesanggupannya mengangkuti karung-karung berisi beras sekwintal, tak jemu-jemunya diceritakan kepada si Buta.
Si Buta yang dilahirkan buta sejak lahir tak banyak bercerita. Sebab ketika ia baru berumur sembilan tahun ayah dan ibunya meninggal. Menurut cerita yang didengar dari tetangganya, ayah dan ibunya meninggal karena penyakit kholera.
Penyakit kholera yang ganas dan sangat banyak meminta korban telah menyerang desanya. Kepandaian si Buta menganyam kosetan dari serat kelapa dan membuat sapu ijuk dipelajarinya dari orang tuanya.
“Aku sangat bersyukur. Telah bertahun-tahun aku berdoa memohon kepada Tuhan agar mataku dapat melihat. Aku sangat ingin melihat dunia. Pada akhirnya doaku terkabul,” kata si Buta terharu.
“Tuhan maha Pengasih dan Penyayang. Dan kita sebagai umatnya harus berbakti.”
“Benar kita harus taat kepada Tuhan.”
Jika si Buta dan si Bungkuk lewat di kedai bersejarah yang menyebabkan terjadinya mujizat Tuhan. orang-orang di kedai itu tak puas-puasnya bertanya tentang terjadinya keajaiban itu. Karena seringnya mereka bercerita tentang keajaiban itu, pada akhirnya mereka hafal di luar kepala.
Si Bungkuk kadang-kadang bercerita ke Barat dan ke Timur. la menonjolkan cerita-cerita tentang masa hidupnya. Ketika cerita-cerita yang diceritakannya telah habis. si Bungkuk tak kehabisan akal. la bercerita tentang keakhliannya. Si Bungkuk mengaku, ketika masa mudanya ia seorang pelompat jauh. Orang asyik saja mendengar cerita si Bungkuk yang sekarang telah terlatih sebagai tukang cerita yang mahir. Ini karena seringnya ia bercerita tentang keajaiban yang menimpa dirinya dan si Buta.
“Kuk kalau bercerita jangan mengada-ngada. Itu tidak baik, berbohong adalah dosa,” nasihat si Buta pada suatu hari.
“Bukan salahku. Mereka yang memintanya. Ya aku hanya memenuhi keinginan mereka,” jawab si Bungkuk.
Ketika mendengar jawaban sahabatnya, si Buta tak mau bertengkar. la mengalah dan tak menarik persoalan panjang-panjang. Bualan si Bungkuk setiap hari dibumbuinya. Di antara para penggemar ceritanya mulai timbul rasa curiga. Mereka ingin mengetahui tentang kebenaran ceritanya.
“Abang dahulu seorang pelompat jauh?”
“Ya. Mengapa?”
“Ah tidak apa-apa,” kata penanya itu penasaran.
“Untuk melompati selokan yang ada di depan kedai ini aku masih dapat. Jangan kau kira karena aku sudah setua ini jadi tidak mampu,” kata si Bungkuk.
“Ada dua hal yang penting dalam hidup manusia,” kata salah seorang tua yang hadir di kedai itu.
“Apakah itu, Pak?” tanya seorang anak muda di samping orang tua itu.
“Yang pertama orang tak boleh takabur, sombong dan memandang rendah orang lain. Yang kedua menertawakan orang lain yang mendapat kesusahan, itu juga suatu dosa.”
“Eh rupanya Bapak seorang pengkhotbah yang baik,” si Bungkuk kurang senang.
la tersinggung oleh kata-kata orang tua itu. Si Buta juga kurang senang sahabatnya diejek orang lain. Sekali pun apa yang dikatakan orang tua itu benar.
“Bapak sendiri sebenarnya telah menghina seseorang. Jika Bapak tak mau mendengar cerita saya, Bapak boleh saja menutup telinga Bapak,” kata si Bungkuk mulai panas.
“Janqan marah, Nak. Bapak tidak bermaksud menghina siapa pun. Bapak telah tua, ajaran itu Bapak dapat dari ayah Bapak,” kata orang tua itu sabar.
“Apa yang dikatakan Bapak ini benar, Saudara,” kata tukang nasi.
“Kita boleh memakainya. Barangkali ada manfaatnya dan jika tidak, tak apalah. Sebab tak merugikan kita, bukan?”
Nasihat tukang kedai nasi rupanya tak meredakan suasana yang mulai panas. Si Bungkuk yang merasa terhina tak mau mengalah. Dengan wajah merah padam ia berdiri dari bangkunya. Orang yang di kedai jadi tegang. Rupanya bakal terjadi keributan. Tapi beruntung si Bungkuk tidak menghampiri orang tua yang berkata tadi.
la berdiri kemudian berkata, “Kawan-kawan mari aku buktikan. Apa yang aku katakan memang benar. Aku akan melompati selokan yang ada di muka kedai ini!”
Si Buta mendekati dan menasihati kawannya. la ragu-ragu pada kemampuan kawannya. Sebab ia tahu itu hanya bualannya saja.
“Jangan kaulakukan, Kuk,” bisik si Buta.
“Tidak! Kau tak boleh turut campur. Ini urusanku!”
Si Buta jadi menyesal ketika sahabatnya tak mau mendengar nasihatnya. la tak setuju dengan sikap si Bungkuk. Menurut ukuran orang tua itu, ia sudah bersikap sombong. Tapi si Buta tak berdaya. la hanya sanggup mengikuti langkah sahabatnya ke tepi selokan dan diikuti oleh orang-orang dari belakang. Orang tua itu pun datang ke tempat itu.
“Lihat! Aku akan melompati selokan ini!”
Selesai berkata-kata si Bungkuk melompat sekuatnya. Karena amarah yang meluap-luap, selokan yang cukup lebar tak dihiraukannya.
“Hup!” melompatlah si Bungkuk.
Dan tiba-tiba si Bungkuk berteriak, “Aduh! Aduh!”
Orang-orang menjadi kaget ketika si Bungkuk sampai di seberang selokan. Tibanya sangat keras, tak diduga-duga tubuhnya yang telah baik kini kembali menjadi bungkuk.
“Aduh, tolong aku. Tolong aku,” ratapnya.
Nasi telah jadi bubur, ia telah menjadi si Bungkuk kembali. Ia menangis sejadi-jadinya. Semua segera menolong si Bungkuk. Si Buta yang melihat keadaan si Bungkuk, tak tahan geli. la tertawa terpingkal-pingkal mengejek sahabatnya yang sombong. la tak menghiraukan sahabatnya yang menderita. Tertawa si Buta melewati batas, sampai ia memegang perutnya. Matanya tertutup dan mengeluarkan air.
“Hai, apa yang terjadi? Gelap. Hitam. Oh, mataku!”
Tiba-tiba, si Buta berteriak-teriak tak sadar. Matanya yang sudah dapat melihat tiba-tiba sekarang menjadi buta kembali.
“Oh, oh, mataku… Tolong mataku jadi buta.”
Si Bungkuk karena kesombongannya sekarang telah kembali menjadi bungkuk. Sedangkan si Buta yang menertawakan kemalangan orang lain, juga mendapat upahnya. Matanya telah kembali menjadi buta.
Apa yang dikatakan orang tua di warung nasi tadi benar. Ketika orang-orang teringat pada orang tua itu, mereka mencarinya. Tapi orang tua itu telah menghilang, pergi entah ke mana.
Sedangkan si Bungkuk dan si Buta menangisi nasibnya yang malang. Mereka menyesal telah bersikap sombong dan takabur, seolah ia sendiri yang hebat. Si Buta menyesal telah menertawakan si Bungkuk yang malang nasibnya. Bukan menolong tapi menertawakannya. la menertawakan hal yang sebenarnya perlu dikasihani. Bukan tontonan yang lucu, sekalipun tingkah si Bungkuk ketika itu memang lucu.
Mereka mencari orang tua yang memberi nasihat itu. Tapi setiap kali si Bungkuk menggendong si Buta datang makan di kedai, orang tua itu tak pernah dijumpainya lagi. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.
No comments:
Post a Comment