Ular Sawah Ingin Menjadi Cantik
Pada jaman dahulu, di dunia ini tidak ada binatang yang berbisa. Tubuh Ular Sawah masih polos, tidak mempunyai kulit yang berwarna-warni seperti sekarang.
“Ular Sawah,” kata Ular Sendok.
“Kamu adalah raja segala ular. Tetapi mengapa kulit tubuhmu polos, tidak berwarna?”
Ular Sawah tidak pernah memikirkan hal itu. Baru kali inilah ia menyadari bahwa ia adalah ular yang paling jelek.
Beberapa saat lamanya ia memandang Ular Sendok.
“Mungkin kalau nanti kulit tubuhmu kamu buang, aku dapat memakainya,” kata Ular Sawah.
Ular Sendok tidak percaya karena tubuhnya lebih kecil daripada tubuh Ular Sawah. Ular Sendok mendapat akal.
“Kalau hanya sebuah kulitku tentu tidak akan cukup. Tetapi kalau kamu menggunakan dua buah, mungkin cukup. Suruhlah Burung Tempua menjahitkan kulitku ke tubuhmu.”
Ular Sawah gembira mendengar pendapat Ular Sendok itu. la pun mengambil dua buah kulit yang ditanggalkan oleh Ular Sendok, lalu menyuruh Burung Tempua supaya menjahitkan kulit itu ke tubuhnya. Dalam waktu yang singkat, Burung Tempua telah selesai menjahit. Meskipun pakaiannya ketat, tetapi Ular Sawah merasa puas. la segera mencari Ular Sendok.
“Lihatlah aku,” kata Ular Sawah. “Aku lebih menarik daripada kamu, karena warnaku dua kali warnamu.”
“Kamu betul-betul kelihatan cantik,” kata Ular Sendok menyetujui.
“Tetapi jangan memakan benda-benda yang besar. Sebab kalau kamu memakan benda-benda besar, pakaianmu pasti robek!”
Selama beberapa hari Ular Sawah mengurangi makannya. Tetapi akhirnya ia sangat lapar. la pun menyerang dan menelan seekor babi gemuk yang sangat digemarinya. Akibatnya, pakaian Ular Sawah itu robek dari kepala sampai ke ekor.
Ular Sawah marah sekali kepada Burung Tempua.
“Kalau kamu ingin nyawamu selamat, maka jahitkan pakaianku dengan lebih sempurna kali ini!”
Burung Tempua menjahit dengan benang yang lebih kuat dan jahitannya juga lebih kuat. Tetapi kali ini Ular Sawah hanya dapat menelan katak, sebagai makanannya yang terbesar. Meski pun hanya seekor katak, ia masih kesukaran, karena kerongkongannya menjadi ketat.
Tempat yang disukainya untuk menanti mangsanya ialah di Pohon Racunan.
Pada suatu hari Pohon Racunan berkata, “Mengapa kamu tidak menangkap binatang lezat yang lalu lalang? Apakah kamu sakit?”
Ular Sawah pun menceritakan semuanya kepada Pohon Racunan.
“Lebih baik berupa jelek daripada kelaparan!” kata Pohon Racunan menegaskan.
“Apakah pantas kalau ada Raja diejek oleh rakyatnya?” tanya Ular Sawah.
“Kamukan tahu, semua rakyatku cantik-cantik. Lebih baik aku mati kelaparan daripada diejek karena berupa jelek.”
Pohon Racunan itu mendapat akal. “Mengapa kulitmu tidak dicatkan saja? Setelah itu kamu dapat makan kenyang.”
Usul itu diterima Ular Sawah dengan gembira.
“Tetapi siapakah yang dapat mencat tubuhku?” tanya Ular Sawah dengan khawatir.
Di dahan lain bertengger seekor Burung Merpati yang sedang memasang telinga.
“Saya tahu,” kata Merpati menerangkan.
“Katakanlah!” kata Ular sawah dengan penuh harapan.
“Di sebuah kampung yang terletak di dekat Sungai Merah ada seekor Beruk. Beruk itu sangat disayangi manusia karena ia berbakat mencat warna yang indah. Mungkin Beruk itu dapat menolongmu.”
Ular Sawah gembira sekali. Kemudian ia menuju ke kampung itu dengan segera. Beruk yang berbakat mencat itu bernama Pandai.
Ketika Pandai melihat Ular Sawah, ia bertanya dengan heran, “Kamu ini binatang apa?”
Ular Sawah menceritakan semua yang terjadi. “Sekarang gunakanlah bakatmu untuk membuatku menjadi cantik,” kata Ular Sawah menyuruh.
Beberapa saat Pandai berpikir, “Kalau aku menolak, binatang ini pasti melilit dan membunuhku.”
Oleh karena itu, ia mengumpulkan semua catnya dan mulai bekerja. Ular Sawah gembira sekali sambil memperhatikan warna demi warna dioleskan ke tubuhnya oleh Pandai yang berbakat itu.
“Keindahanku tidak ada tandingannya,” kata Ular Sawah memuji.
“Di antara ular-ular yang hidup, akulah yang paling cantik. Aku tidak perlu lagi memakan katak dan kelaparan. Sekarang aku dapat makan makanan yang besar seperti babi.”
Pandai takut mendengar kata-kata ular itu. Ia pun mencat Ular Sawah itu dengan cepat, supaya ia dapat segera menjauhi binatang ganas itu.
Ketika Pandai mencat ekor Ular Sawah itu, Ular Sawah itu sudah mulai lapar. Ular Sawah itu mengangkat kepala untuk mencari makanan. Tetapi Ular Sawah itu tidak melihat apa-apa.
“Apakah kamu punya dua ekor ayam untuk makananku?” tanya Ular Sawah itu.
“Aku sangat lapar.”
Beruk itu bertambah takut. Ular Sawah yang lapar itu berbahaya bagi semua makhluk hidup. Beruk itu tidak mempunyai senjata untuk melawan ular itu. Tiba-tiba Pandai teringat kalau mempunyai semangkuk racun. Racun itu keras sekali, sampai-sampai dapat membunuh dalam sekejap mata saja.
“Aku mempunyai seekor babi yang gemuk dan sedap sekali. Aku akan mengambilnya. Tetapi sebelumnya kamu harus minum minuman yang kusediakan untukmu. Minumanku rasanya sejuk seperti embun di pagi hari.”
Ular Sawah itu gembira membayangkan babi yang akan dihidangkan oleh Beruk itu. Lagi pula sekarang ia ditawari minuman segar. la juga merasa bahwa ia perlu minum.
Pandai menuangkan racun ke dalam mulut Ular Sawah yang terbuka itu.
Setelah selesai ia berkata, “Aku akan mengambil babi itu.”
Pandai lari ke kamarnya dan mengunci pintunya.
Karena tubuh Ular Sawah itu besar, maka racun itu tidak mujarab seperti biasanya. Tetapi perlahan-lahan Ular Sawah mulai merasa.
“Minuman itu sungguh mujarab!” pikir Ular Sawah.
“Aku sudah kenyang. Aku mau pulang.”
Ketika Pohon Racunan melihat Ular Sawah menjalar di dahannya, pohon itu kagum. Begitu juga Ular Sendok yang sudah menanti kedatangannya.
“Memang benar. Sekarang kamu paling cantik di antara semua rakyatmu.”
Ular Sendok memanggil segala macam ular untuk melihat betapa cantiknya raja mereka.
Tetapi Ular Sawah merasa sakit sekali. Ia tidak mempedulikan kata-kata manis dari rakyatnya.
“Aku telah meminum racun,” katanya mengerang.
“Sekarang aku akan mati.”
“Jangan khawatir,” bujuk Pohon Racunan.
“Makanlah pucuk daunku. Pucuk daunku akan mencuci racun yang ada di perutmu.”
Ular Sawah memakan pucuk daun Pohon Racunan. Kemudian Ular Sawah memuntahkan semua racun yang telah diminumnya. Muntahnya melimpahi Pohon Racunan dan juga menetesi Ular Sendok dan ular-ular lain yang berkumpul di bawah pohon itu.
Itulah sebabnya mengapa ular-ular yang terkena racun itu mempunyai pagutan yang berbisa dan menyebabkan kematian. Getah Pohon Racunan juga menjadi racun yang berbisa. Sebaliknya Ular Sawah sendiri malah tidak berbisa, karena bisanya sudah dimuntahkan semua.
Pada jaman dahulu, di dunia ini tidak ada binatang yang berbisa. Tubuh Ular Sawah masih polos, tidak mempunyai kulit yang berwarna-warni seperti sekarang.
“Ular Sawah,” kata Ular Sendok.
“Kamu adalah raja segala ular. Tetapi mengapa kulit tubuhmu polos, tidak berwarna?”
Ular Sawah tidak pernah memikirkan hal itu. Baru kali inilah ia menyadari bahwa ia adalah ular yang paling jelek.
Beberapa saat lamanya ia memandang Ular Sendok.
“Mungkin kalau nanti kulit tubuhmu kamu buang, aku dapat memakainya,” kata Ular Sawah.
Ular Sendok tidak percaya karena tubuhnya lebih kecil daripada tubuh Ular Sawah. Ular Sendok mendapat akal.
“Kalau hanya sebuah kulitku tentu tidak akan cukup. Tetapi kalau kamu menggunakan dua buah, mungkin cukup. Suruhlah Burung Tempua menjahitkan kulitku ke tubuhmu.”
Ular Sawah gembira mendengar pendapat Ular Sendok itu. la pun mengambil dua buah kulit yang ditanggalkan oleh Ular Sendok, lalu menyuruh Burung Tempua supaya menjahitkan kulit itu ke tubuhnya. Dalam waktu yang singkat, Burung Tempua telah selesai menjahit. Meskipun pakaiannya ketat, tetapi Ular Sawah merasa puas. la segera mencari Ular Sendok.
“Lihatlah aku,” kata Ular Sawah. “Aku lebih menarik daripada kamu, karena warnaku dua kali warnamu.”
“Kamu betul-betul kelihatan cantik,” kata Ular Sendok menyetujui.
“Tetapi jangan memakan benda-benda yang besar. Sebab kalau kamu memakan benda-benda besar, pakaianmu pasti robek!”
Selama beberapa hari Ular Sawah mengurangi makannya. Tetapi akhirnya ia sangat lapar. la pun menyerang dan menelan seekor babi gemuk yang sangat digemarinya. Akibatnya, pakaian Ular Sawah itu robek dari kepala sampai ke ekor.
Ular Sawah marah sekali kepada Burung Tempua.
“Kalau kamu ingin nyawamu selamat, maka jahitkan pakaianku dengan lebih sempurna kali ini!”
Burung Tempua menjahit dengan benang yang lebih kuat dan jahitannya juga lebih kuat. Tetapi kali ini Ular Sawah hanya dapat menelan katak, sebagai makanannya yang terbesar. Meski pun hanya seekor katak, ia masih kesukaran, karena kerongkongannya menjadi ketat.
Tempat yang disukainya untuk menanti mangsanya ialah di Pohon Racunan.
Pada suatu hari Pohon Racunan berkata, “Mengapa kamu tidak menangkap binatang lezat yang lalu lalang? Apakah kamu sakit?”
Ular Sawah pun menceritakan semuanya kepada Pohon Racunan.
“Lebih baik berupa jelek daripada kelaparan!” kata Pohon Racunan menegaskan.
“Apakah pantas kalau ada Raja diejek oleh rakyatnya?” tanya Ular Sawah.
“Kamukan tahu, semua rakyatku cantik-cantik. Lebih baik aku mati kelaparan daripada diejek karena berupa jelek.”
Pohon Racunan itu mendapat akal. “Mengapa kulitmu tidak dicatkan saja? Setelah itu kamu dapat makan kenyang.”
Usul itu diterima Ular Sawah dengan gembira.
“Tetapi siapakah yang dapat mencat tubuhku?” tanya Ular Sawah dengan khawatir.
Di dahan lain bertengger seekor Burung Merpati yang sedang memasang telinga.
“Saya tahu,” kata Merpati menerangkan.
“Katakanlah!” kata Ular sawah dengan penuh harapan.
“Di sebuah kampung yang terletak di dekat Sungai Merah ada seekor Beruk. Beruk itu sangat disayangi manusia karena ia berbakat mencat warna yang indah. Mungkin Beruk itu dapat menolongmu.”
Ular Sawah gembira sekali. Kemudian ia menuju ke kampung itu dengan segera. Beruk yang berbakat mencat itu bernama Pandai.
Ketika Pandai melihat Ular Sawah, ia bertanya dengan heran, “Kamu ini binatang apa?”
Ular Sawah menceritakan semua yang terjadi. “Sekarang gunakanlah bakatmu untuk membuatku menjadi cantik,” kata Ular Sawah menyuruh.
Beberapa saat Pandai berpikir, “Kalau aku menolak, binatang ini pasti melilit dan membunuhku.”
Oleh karena itu, ia mengumpulkan semua catnya dan mulai bekerja. Ular Sawah gembira sekali sambil memperhatikan warna demi warna dioleskan ke tubuhnya oleh Pandai yang berbakat itu.
“Keindahanku tidak ada tandingannya,” kata Ular Sawah memuji.
“Di antara ular-ular yang hidup, akulah yang paling cantik. Aku tidak perlu lagi memakan katak dan kelaparan. Sekarang aku dapat makan makanan yang besar seperti babi.”
Pandai takut mendengar kata-kata ular itu. Ia pun mencat Ular Sawah itu dengan cepat, supaya ia dapat segera menjauhi binatang ganas itu.
Ketika Pandai mencat ekor Ular Sawah itu, Ular Sawah itu sudah mulai lapar. Ular Sawah itu mengangkat kepala untuk mencari makanan. Tetapi Ular Sawah itu tidak melihat apa-apa.
“Apakah kamu punya dua ekor ayam untuk makananku?” tanya Ular Sawah itu.
“Aku sangat lapar.”
Beruk itu bertambah takut. Ular Sawah yang lapar itu berbahaya bagi semua makhluk hidup. Beruk itu tidak mempunyai senjata untuk melawan ular itu. Tiba-tiba Pandai teringat kalau mempunyai semangkuk racun. Racun itu keras sekali, sampai-sampai dapat membunuh dalam sekejap mata saja.
“Aku mempunyai seekor babi yang gemuk dan sedap sekali. Aku akan mengambilnya. Tetapi sebelumnya kamu harus minum minuman yang kusediakan untukmu. Minumanku rasanya sejuk seperti embun di pagi hari.”
Ular Sawah itu gembira membayangkan babi yang akan dihidangkan oleh Beruk itu. Lagi pula sekarang ia ditawari minuman segar. la juga merasa bahwa ia perlu minum.
Pandai menuangkan racun ke dalam mulut Ular Sawah yang terbuka itu.
Setelah selesai ia berkata, “Aku akan mengambil babi itu.”
Pandai lari ke kamarnya dan mengunci pintunya.
Karena tubuh Ular Sawah itu besar, maka racun itu tidak mujarab seperti biasanya. Tetapi perlahan-lahan Ular Sawah mulai merasa.
“Minuman itu sungguh mujarab!” pikir Ular Sawah.
“Aku sudah kenyang. Aku mau pulang.”
Ketika Pohon Racunan melihat Ular Sawah menjalar di dahannya, pohon itu kagum. Begitu juga Ular Sendok yang sudah menanti kedatangannya.
“Memang benar. Sekarang kamu paling cantik di antara semua rakyatmu.”
Ular Sendok memanggil segala macam ular untuk melihat betapa cantiknya raja mereka.
Tetapi Ular Sawah merasa sakit sekali. Ia tidak mempedulikan kata-kata manis dari rakyatnya.
“Aku telah meminum racun,” katanya mengerang.
“Sekarang aku akan mati.”
“Jangan khawatir,” bujuk Pohon Racunan.
“Makanlah pucuk daunku. Pucuk daunku akan mencuci racun yang ada di perutmu.”
Ular Sawah memakan pucuk daun Pohon Racunan. Kemudian Ular Sawah memuntahkan semua racun yang telah diminumnya. Muntahnya melimpahi Pohon Racunan dan juga menetesi Ular Sendok dan ular-ular lain yang berkumpul di bawah pohon itu.
Itulah sebabnya mengapa ular-ular yang terkena racun itu mempunyai pagutan yang berbisa dan menyebabkan kematian. Getah Pohon Racunan juga menjadi racun yang berbisa. Sebaliknya Ular Sawah sendiri malah tidak berbisa, karena bisanya sudah dimuntahkan semua.
No comments:
Post a Comment