Si Timpang, Prajurit Laskar Timah Yang Gagah
Suatu ketika, ada sepasukan laskar timah. Pasukan itu terdiri dari dua puluh lima prajurit. Semuanya serba sama. Seperti adik kakak saja. Mereka memang dituangkan ke dalam cetakan yang sama.
Seragamnya indah berwarna biru laut. Selempangnya merah cerah. Senapannya memakai bayonet, tersandang di pundak. Sikapnya tegap-tegap. Pandangannya selalu lurus ke depan.
Bahkan di dalam dus nya pun mereka bersikap gagah. Selalu rapi berbaris bersiap siaga. Ketika dus tempat mereka dibuka, perkataan yang pertama mereka dengar adalah “laskar timah”. Mulai saat itu mereka baru tahu, bahwa mereka adalah laskar timah.
Si Buyung menerima laskar itu sebagai hadiah ulang tahun. Ia segera membuka dus itu. Isinya segera dibariskan di atas meja. Mereka benar-benar serupa. Tak dapat dibedakan yang satu dengan lainnya.
Hanya satu yang agak berbeda. Kakinya hanya sebuah. Ketika ia masuk cetakan, timahnya habis. Tidak cukup untuk kaki yang sebelah. Karena kakinya hanya satu, ia lalu dinamakan si Timpang.
Tetapi ia sama tegapnya dengan anggota pasukan yang lain. Ia pun selalu berdiri tegap. Sebagai layaknya seorang prajurit yang baik. Si Timpang inilah yang memegang peranan dalam ceritera ini.
Si Buyung membariskan pasukan itu di antara mainan-mainan barunya. Semuanya hadiah ulang tahunnya. Tetapi yang paling disayang, ialah sebuah istana terbuat dari karton.
Pada halaman di sekitar istana itu ada beberapa pohon. Di sela-sela pohon ada sebuah telaga, terbuat dari sebuah cermin. Pada cermin atau telaga itu berenanglah beberapa burung undan dari lilin.
Lewat jendela-jendelanya, dapat dilihat ruangan-ruangannya yang indah. Bahkan jika kepala kita cukup dekat, suara angin pun dapat terdengar. Gemerisik di antara daun-daunan pohon kertas.
Pintu gerbangnya terbuka. Di dekatnya berdiri boneka kecil mungil dari kertas. Kedua tangannya terentang t inggi di atas kepala. Sebelah kakinya menjulur lurus ke belakang. Memang boneka itu sedang menari. Melihat hal itu, si Timpang berbesar hati. Ia mengira, bahwa penari itu juga hanya mempunyai sebelah kaki.
“Ia juga hanya mempunyai sebuah kaki”, pikirnya.
“Tentunya ia cocok untuk menjadi istriku. Tetapi ia tentu orang terkemuka! Ia tinggal di istana. Sedangkan aku, tinggal berdesakan di dalam sebuah dus. Hal ini kurang sesuai. Tetapi aku harus belajar kenal kepadanya”.
Ia lalu merebahkan diri di atas meja. Dengan demikian ia akan lebih puas melihat penari pujaannya. Lagi pula berdiri pada sebelah kaki juga melelahkan. Ia tergeletak di dekat sebuah kotak tembakau. Tak puas-puasnya ia memandangi wajah si penari. Penari itu sendiri, tidak capai-capainya menari. Sepanjang hari ia mengangkat sebuah kakinya. Kedua tangannya merentang tinggi di atas kepala.
Ketika malam tiba, si Buyung pergi tidur. Ketika hendak tidur, dimasuk-masukkan dahulu semua permainannya. Begitu pula psukan laskar timahnya. Hanya si Timpang yang tertinggal. Ia tetap tergeletak. Tersembunyi di belakang kotak tembakau. Semua orang telah tidur.
Kini waktunya semua permainan itu main sendiri. Mereka bermain dan bernyanyi. Jika orang mau memperhatikan benar-benar, tentu akan mendengarnya.
Pasukan laskar timah, bergelatak geletuk di dalam dusnya. Tetapi mereka tak dapat membuka dusnya. Si anak batu tulis berderit-derit, menari-nari di atas batu tulis. Burung kenari tersentak mendengarnya. Ia lalu ikut bernyanyi dan bersajak.
Hanya si Timpang yang tidak. Ia tetap tergeletak di tempatnya. Tak jemu-jemunya matanya menatap wajah si penari. Penari itu tetap berdiri pada sebuah kaki. Ia tetap menari.
Jam tembok berdentang dua belas kali. Tiba-tiba tutup kotak tembakau mental terbuka. Apa yang terjadi? Kotak itu sama sekali tak berisi tembakau!
Di dalam kotak itu ternyata tinggal si iblis kerdil. Ia melompat ke luar dari kotak.
“He, Timpang”, kata iblis itu.
“Jangan melihat saya yang bukan urusanmu!”
Tetapi si Timpang pura-pura tak mendengarnya.
Iblis kerdil menjadi marah sekali.
Ia berkata, “Kurang ajar! Tunggu saja besok. Lihat, apa yang akan terjadi!’
Pagi hari si Buyung bangun dari tidurnya. Dilihatnya si Timpang menggeletak, lalu diambilnya. Setelah diamati sebentar, lalu ditaruhnya di tepi jendela.
Entah karena angin, entah karena kutukan iblis, tiba-tiba saja jendela terbuka. Tanpa ampun lagi, si Timpang jatuh ke bawah. Ia jatuh dengan kepala di bawah dari tingkat tiga.
Bukan main pusingnya kepala si Timpang. Dihentak-hentakkannya kakinya di udara. Ia jatuh dengan bayonet tertancap di sela batu. Kepalanya tetap ke bawah!
Si Buyung berlari-lari ke bawah. Diikuti pengasuhnya. Ke sana ke mari mereka mencarinya. Sia-sia saja. Si Timpang tak ditemuinya. Jika boleh, tentu si Timpang akan berteriak.
Ia akan berteriak, “Sini! Aku ada di sini!”.
Tetapi itu tidak sopan! Seorang prajurit tidak boleh berteriak-teriak! Apalagi ia sedang berseragam!
Tak lama kemudian, hujan pun turun pula. Lebat benar! Si Buyung dan pengasuhnya bergegas kembali. Mereka berlari-lari masuk ke dalam rumah. Si Timpang tetap menancap di sela-sela batu.
Ketika hujan telah reda, datanglah dua orang anak.
“Lihat”, kata yang seorang.
“Ada sebuah boneka timah”.
“Bagus”, kata yang seorang lagi.
“Kita buatkan saja sebuah perahu kertas. Biar ia berlayar di dalamnya”.
Mereka membuat sebuah perahu dari kertas. Si Timpang diletakkan di dalamnya. Kemudian dihanyutkan ke dalam selokan. Kedua anak itu mengikuti sambil bertepuk-tepuk.
Air mengalir sangat derasnya. Ombak pun besar. Memang lebat benar hujan tadi. Perahu kertas itu bergoyang dan berputar.
Si Timpang gemetar ketakutan. Tetapi ia tetap bersikap gagah. Bagaimana pun takutnya, sebenarnya.
Ia berpikir, “Tak pantas seorang prajurit takut”.
Bagaimanan pun olengnya perahu itu, senapannya tetap ada di pundaknya!
Tiba-tiba perahu itu masuk ke dalam gorong-gorong. Segalanya menjadi gelap pekat. Seperti di dalam dusnya!
“Sampai di mana aku ini?” pikir si Timpang.
“Semua ini tentu ulah si iblis kerdil! Ah, jika aku masih dapat melihat si penari saja. Biarlah menjadi dua kali lebih gelap!”
Sekonyong-konyong menghadang seekor tikus air. Ia memang tinggal di dalam selokan itu.
“Stop!”, katanya.
“Mana kartu penduduk! Perlihatkan dulu kartu pendudukmu!”
Tetapi si Timpang diam saja. Senapannya dipegang erat-erat. Sebenarnya ia memang tak punya kartu penduduk. Perahu itu melaju terus. Si tikus berenang mengejarnya.
Dengan geramnya ia berteriak, “Tahan dia! Tahan dia! Ia belum membayar uang jalan! Ia juga tak mau menunjukkan kartu penduduk!”
Perahu melaju makin kencang. Tikus itu tak dapat mengerjarnya. Jauh di depan mulai tampak terang. Tetapi bersama dengan itu, terdengar pula suara menderu.
Orang tua pun akan ngeri mendengarnya! Air selokan itu menuju ke sebuah sungai. Bagi si Timpang, hal ini berbahaya sekali. Sama saja, seperti kita menghadapi jeram yang tinggi!
Sungai itu makin dekat. Laju perahu tak dapat di tahan lagi. Si Timpang tetap berdiri tegak. Disembunyikannya rasa takutnya. Dua kali perahu itu terguling berputar-putar. Air yang masuk bertambah banyak. Kertasnya makin menjadi lunak. Sebuah ombak menyiram kepala.
Si Timpang teringat akan si penari. Ia menjadi putus asa. Tak mungkin ia dapat melihatnya kembali. Di dalam telinganya terdengar lagu yang menyedihkan.
Jangan sangka bahwa ia tak dapat mendengar. Boneka atau patung dapat mendengar. Tentu saja dengan cara mereka sendiri!
Perahu itu telah menjadi hancur. Pecah tercerai berai. Si Timpang jatuh ke luar. Ia terjatuh ke dalam air yang melimpah berputar-putar. Tiba-tiba ia masuk ke dalam mulut ikan besar.
Bukan main gelapnya! Lebih gelap daripada waktu di dalam gorong-gorong. Sempitnya juga bukan main, lebih sempit daripada di dalam dus. Tetapi ia tetap bersikap seperti prajurit sejati. Senapannya pun tetap di pundak.
Ikan itu berenang kian ke mari. Kemudian ia meronta-ronta hebat. Tidak lama kemudian tenang kembali. Si Timpang dengan sabar tetap berjaga. Ia tetap bersiap siaga.
Tiba-tiba saja menjadi terang sekali. Bukan main silau mata si Timpang. Sinar matahari menerangi isi perut ikan itu, kemudian terdengar suara teriakan kaget, “He! Si Timpang!”
Ternyata ikan itu telah tertangkap. Ia lalu dijual ke pasar. Pembantu rumah tangga telah membelinya. Setelah ikan itu dipotong dan dibersihkan, isi perutnya tampaklah si Timpang di dalamnya.
“Haa! Si Buyung harus segera diberitahu!” pikir pembantu itu.
Ia lari masuk ke dalam kamar Buyung. Si Timpang diletakkan di atas meja.
Kembali si Timpang berdiri tegak di atas meja. Di dalam kamar yang dulu juga. Istana karton masih tetap di tempatnya. Si penari masih setia menari di tempat semula. Kedua tangannya tetap ke atas, berdiri pada sebuah kaki.
Si Timpang menjadi sangat terharu. Ia ingin sekali menangis. Ia ingin mencucurkan air mata dari timah! Tetapi itu tidak sopan! Seorang prajurit sama sekali tidak boleh menangis!
Mereka saling berpandangan. Si Timpang dan si penari. Tetapi mereka tetap membisu tak bercakap.
Tiba-tiba saja si Buyung menangkap si Timpang. Begitu saja, tanpa alasan. Kemudian dilemparkannya ke dalam perapian. Tanpa alasan sama sekali! Seperti biasa terjadi pada anak kecil lainnya. Tetapi mungkin juga karena kutukan si iblis kerdil. Tak seorang pun akan tahu.
Itulah si Timpang. Ia berdiri tegak di dalam api. Tubuhnya mengkilat cemerlang terkena cahaya api. Sudah tentu ia merasa panas! Tetapi ia teap tegak dalam sikap. Warna seragamnya mulai luntur.
Apakah itu karena lusuh selama perjalanan atau luntur karena kesedihan, tak seorang pun dapat mengatakan.
Si Timpang dan penari tetap saling berpandangan. Si Timpang merasa sedih sekali. Tubuhnya mulai meleleh karena sedihnya. Tetapi senapannya tetap tak diturunkan! Tetap ada di pundaknya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Angin yang jahat meniup masuk. Si penari terbang tertiup. Akhirnya terhempas jatuh ke dalam perapian! Dengan segera penari itu meliuk-liuk. Tubuhnya hangus dimakan api. Bersama dengan itu, si Timpang meleleh hancur. Ia menetes ke dasar perapian.
Pagi harinya, perapian itu dibersihkan. Di dasar, di antar abu, terdapat segumpal timah. Tetapi dari tubuh si penari, tak ada bekasnya sama sekali.
Suatu ketika, ada sepasukan laskar timah. Pasukan itu terdiri dari dua puluh lima prajurit. Semuanya serba sama. Seperti adik kakak saja. Mereka memang dituangkan ke dalam cetakan yang sama.
Seragamnya indah berwarna biru laut. Selempangnya merah cerah. Senapannya memakai bayonet, tersandang di pundak. Sikapnya tegap-tegap. Pandangannya selalu lurus ke depan.
Bahkan di dalam dus nya pun mereka bersikap gagah. Selalu rapi berbaris bersiap siaga. Ketika dus tempat mereka dibuka, perkataan yang pertama mereka dengar adalah “laskar timah”. Mulai saat itu mereka baru tahu, bahwa mereka adalah laskar timah.
Si Buyung menerima laskar itu sebagai hadiah ulang tahun. Ia segera membuka dus itu. Isinya segera dibariskan di atas meja. Mereka benar-benar serupa. Tak dapat dibedakan yang satu dengan lainnya.
Hanya satu yang agak berbeda. Kakinya hanya sebuah. Ketika ia masuk cetakan, timahnya habis. Tidak cukup untuk kaki yang sebelah. Karena kakinya hanya satu, ia lalu dinamakan si Timpang.
Tetapi ia sama tegapnya dengan anggota pasukan yang lain. Ia pun selalu berdiri tegap. Sebagai layaknya seorang prajurit yang baik. Si Timpang inilah yang memegang peranan dalam ceritera ini.
Si Buyung membariskan pasukan itu di antara mainan-mainan barunya. Semuanya hadiah ulang tahunnya. Tetapi yang paling disayang, ialah sebuah istana terbuat dari karton.
Pada halaman di sekitar istana itu ada beberapa pohon. Di sela-sela pohon ada sebuah telaga, terbuat dari sebuah cermin. Pada cermin atau telaga itu berenanglah beberapa burung undan dari lilin.
Lewat jendela-jendelanya, dapat dilihat ruangan-ruangannya yang indah. Bahkan jika kepala kita cukup dekat, suara angin pun dapat terdengar. Gemerisik di antara daun-daunan pohon kertas.
Pintu gerbangnya terbuka. Di dekatnya berdiri boneka kecil mungil dari kertas. Kedua tangannya terentang t inggi di atas kepala. Sebelah kakinya menjulur lurus ke belakang. Memang boneka itu sedang menari. Melihat hal itu, si Timpang berbesar hati. Ia mengira, bahwa penari itu juga hanya mempunyai sebelah kaki.
“Ia juga hanya mempunyai sebuah kaki”, pikirnya.
“Tentunya ia cocok untuk menjadi istriku. Tetapi ia tentu orang terkemuka! Ia tinggal di istana. Sedangkan aku, tinggal berdesakan di dalam sebuah dus. Hal ini kurang sesuai. Tetapi aku harus belajar kenal kepadanya”.
Ia lalu merebahkan diri di atas meja. Dengan demikian ia akan lebih puas melihat penari pujaannya. Lagi pula berdiri pada sebelah kaki juga melelahkan. Ia tergeletak di dekat sebuah kotak tembakau. Tak puas-puasnya ia memandangi wajah si penari. Penari itu sendiri, tidak capai-capainya menari. Sepanjang hari ia mengangkat sebuah kakinya. Kedua tangannya merentang tinggi di atas kepala.
Ketika malam tiba, si Buyung pergi tidur. Ketika hendak tidur, dimasuk-masukkan dahulu semua permainannya. Begitu pula psukan laskar timahnya. Hanya si Timpang yang tertinggal. Ia tetap tergeletak. Tersembunyi di belakang kotak tembakau. Semua orang telah tidur.
Kini waktunya semua permainan itu main sendiri. Mereka bermain dan bernyanyi. Jika orang mau memperhatikan benar-benar, tentu akan mendengarnya.
Pasukan laskar timah, bergelatak geletuk di dalam dusnya. Tetapi mereka tak dapat membuka dusnya. Si anak batu tulis berderit-derit, menari-nari di atas batu tulis. Burung kenari tersentak mendengarnya. Ia lalu ikut bernyanyi dan bersajak.
Hanya si Timpang yang tidak. Ia tetap tergeletak di tempatnya. Tak jemu-jemunya matanya menatap wajah si penari. Penari itu tetap berdiri pada sebuah kaki. Ia tetap menari.
Jam tembok berdentang dua belas kali. Tiba-tiba tutup kotak tembakau mental terbuka. Apa yang terjadi? Kotak itu sama sekali tak berisi tembakau!
Di dalam kotak itu ternyata tinggal si iblis kerdil. Ia melompat ke luar dari kotak.
“He, Timpang”, kata iblis itu.
“Jangan melihat saya yang bukan urusanmu!”
Tetapi si Timpang pura-pura tak mendengarnya.
Iblis kerdil menjadi marah sekali.
Ia berkata, “Kurang ajar! Tunggu saja besok. Lihat, apa yang akan terjadi!’
Pagi hari si Buyung bangun dari tidurnya. Dilihatnya si Timpang menggeletak, lalu diambilnya. Setelah diamati sebentar, lalu ditaruhnya di tepi jendela.
Entah karena angin, entah karena kutukan iblis, tiba-tiba saja jendela terbuka. Tanpa ampun lagi, si Timpang jatuh ke bawah. Ia jatuh dengan kepala di bawah dari tingkat tiga.
Bukan main pusingnya kepala si Timpang. Dihentak-hentakkannya kakinya di udara. Ia jatuh dengan bayonet tertancap di sela batu. Kepalanya tetap ke bawah!
Si Buyung berlari-lari ke bawah. Diikuti pengasuhnya. Ke sana ke mari mereka mencarinya. Sia-sia saja. Si Timpang tak ditemuinya. Jika boleh, tentu si Timpang akan berteriak.
Ia akan berteriak, “Sini! Aku ada di sini!”.
Tetapi itu tidak sopan! Seorang prajurit tidak boleh berteriak-teriak! Apalagi ia sedang berseragam!
Tak lama kemudian, hujan pun turun pula. Lebat benar! Si Buyung dan pengasuhnya bergegas kembali. Mereka berlari-lari masuk ke dalam rumah. Si Timpang tetap menancap di sela-sela batu.
Ketika hujan telah reda, datanglah dua orang anak.
“Lihat”, kata yang seorang.
“Ada sebuah boneka timah”.
“Bagus”, kata yang seorang lagi.
“Kita buatkan saja sebuah perahu kertas. Biar ia berlayar di dalamnya”.
Mereka membuat sebuah perahu dari kertas. Si Timpang diletakkan di dalamnya. Kemudian dihanyutkan ke dalam selokan. Kedua anak itu mengikuti sambil bertepuk-tepuk.
Air mengalir sangat derasnya. Ombak pun besar. Memang lebat benar hujan tadi. Perahu kertas itu bergoyang dan berputar.
Si Timpang gemetar ketakutan. Tetapi ia tetap bersikap gagah. Bagaimana pun takutnya, sebenarnya.
Ia berpikir, “Tak pantas seorang prajurit takut”.
Bagaimanan pun olengnya perahu itu, senapannya tetap ada di pundaknya!
Tiba-tiba perahu itu masuk ke dalam gorong-gorong. Segalanya menjadi gelap pekat. Seperti di dalam dusnya!
“Sampai di mana aku ini?” pikir si Timpang.
“Semua ini tentu ulah si iblis kerdil! Ah, jika aku masih dapat melihat si penari saja. Biarlah menjadi dua kali lebih gelap!”
Sekonyong-konyong menghadang seekor tikus air. Ia memang tinggal di dalam selokan itu.
“Stop!”, katanya.
“Mana kartu penduduk! Perlihatkan dulu kartu pendudukmu!”
Tetapi si Timpang diam saja. Senapannya dipegang erat-erat. Sebenarnya ia memang tak punya kartu penduduk. Perahu itu melaju terus. Si tikus berenang mengejarnya.
Dengan geramnya ia berteriak, “Tahan dia! Tahan dia! Ia belum membayar uang jalan! Ia juga tak mau menunjukkan kartu penduduk!”
Perahu melaju makin kencang. Tikus itu tak dapat mengerjarnya. Jauh di depan mulai tampak terang. Tetapi bersama dengan itu, terdengar pula suara menderu.
Orang tua pun akan ngeri mendengarnya! Air selokan itu menuju ke sebuah sungai. Bagi si Timpang, hal ini berbahaya sekali. Sama saja, seperti kita menghadapi jeram yang tinggi!
Sungai itu makin dekat. Laju perahu tak dapat di tahan lagi. Si Timpang tetap berdiri tegak. Disembunyikannya rasa takutnya. Dua kali perahu itu terguling berputar-putar. Air yang masuk bertambah banyak. Kertasnya makin menjadi lunak. Sebuah ombak menyiram kepala.
Si Timpang teringat akan si penari. Ia menjadi putus asa. Tak mungkin ia dapat melihatnya kembali. Di dalam telinganya terdengar lagu yang menyedihkan.
Jangan sangka bahwa ia tak dapat mendengar. Boneka atau patung dapat mendengar. Tentu saja dengan cara mereka sendiri!
Perahu itu telah menjadi hancur. Pecah tercerai berai. Si Timpang jatuh ke luar. Ia terjatuh ke dalam air yang melimpah berputar-putar. Tiba-tiba ia masuk ke dalam mulut ikan besar.
Bukan main gelapnya! Lebih gelap daripada waktu di dalam gorong-gorong. Sempitnya juga bukan main, lebih sempit daripada di dalam dus. Tetapi ia tetap bersikap seperti prajurit sejati. Senapannya pun tetap di pundak.
Ikan itu berenang kian ke mari. Kemudian ia meronta-ronta hebat. Tidak lama kemudian tenang kembali. Si Timpang dengan sabar tetap berjaga. Ia tetap bersiap siaga.
Tiba-tiba saja menjadi terang sekali. Bukan main silau mata si Timpang. Sinar matahari menerangi isi perut ikan itu, kemudian terdengar suara teriakan kaget, “He! Si Timpang!”
Ternyata ikan itu telah tertangkap. Ia lalu dijual ke pasar. Pembantu rumah tangga telah membelinya. Setelah ikan itu dipotong dan dibersihkan, isi perutnya tampaklah si Timpang di dalamnya.
“Haa! Si Buyung harus segera diberitahu!” pikir pembantu itu.
Ia lari masuk ke dalam kamar Buyung. Si Timpang diletakkan di atas meja.
Kembali si Timpang berdiri tegak di atas meja. Di dalam kamar yang dulu juga. Istana karton masih tetap di tempatnya. Si penari masih setia menari di tempat semula. Kedua tangannya tetap ke atas, berdiri pada sebuah kaki.
Si Timpang menjadi sangat terharu. Ia ingin sekali menangis. Ia ingin mencucurkan air mata dari timah! Tetapi itu tidak sopan! Seorang prajurit sama sekali tidak boleh menangis!
Mereka saling berpandangan. Si Timpang dan si penari. Tetapi mereka tetap membisu tak bercakap.
Tiba-tiba saja si Buyung menangkap si Timpang. Begitu saja, tanpa alasan. Kemudian dilemparkannya ke dalam perapian. Tanpa alasan sama sekali! Seperti biasa terjadi pada anak kecil lainnya. Tetapi mungkin juga karena kutukan si iblis kerdil. Tak seorang pun akan tahu.
Itulah si Timpang. Ia berdiri tegak di dalam api. Tubuhnya mengkilat cemerlang terkena cahaya api. Sudah tentu ia merasa panas! Tetapi ia teap tegak dalam sikap. Warna seragamnya mulai luntur.
Apakah itu karena lusuh selama perjalanan atau luntur karena kesedihan, tak seorang pun dapat mengatakan.
Si Timpang dan penari tetap saling berpandangan. Si Timpang merasa sedih sekali. Tubuhnya mulai meleleh karena sedihnya. Tetapi senapannya tetap tak diturunkan! Tetap ada di pundaknya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Angin yang jahat meniup masuk. Si penari terbang tertiup. Akhirnya terhempas jatuh ke dalam perapian! Dengan segera penari itu meliuk-liuk. Tubuhnya hangus dimakan api. Bersama dengan itu, si Timpang meleleh hancur. Ia menetes ke dasar perapian.
Pagi harinya, perapian itu dibersihkan. Di dasar, di antar abu, terdapat segumpal timah. Tetapi dari tubuh si penari, tak ada bekasnya sama sekali.
No comments:
Post a Comment