Ratu Dilara Dan Raja Tibet
Raja Komara memerintah di tepi sungai Amur, la keturunan bangsa Nayaman. la ramah dan baik hati. Oleh karena itu ia dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Sayang, tak lama kemudian ia jatuh sakit, lalu meninggal. Raja Komara tak mempunyai anak laki-laki. Tetapi ia mempunyai seorang anak perempuan, namanya puteri Dilara.
Ketika ayahnya meninggal, Dilara baru berusia sepuluh tahun. la terpaksa mengganti ayahnya menjadi raja. Raja puteri disebut ratu. Karena ratu Dilara masih kecil. maka ia didampingi oleh perdana menteri. Perdana menteri ini bernama Ali bin Haitam. Ali bin Haitam adalah perdana menteri raja Komara. la sangat setia kepada raja Komara dan ratu Dilara. Lama-kelamaan ratu Dilara pandai memerintah juga.
la dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Akan tetapi ratu Dilara mempunyai saudara sepupu, namanya pangeran Muwafak. Pangeran Muwafak adalah orang jahat. la tidak rela Dilara jadi ratu. la ingin jadi raja, mengganti raja Komara. Oleh karena itu pangeran Muwafak mencari teman. la, beserta teman-temannya menyerbu istana. Dilara dipaksa turun dari tahta, dan dilarang meninggalkan kamarnya.
Meski pun begitu, Muwafak belum puas. la tahu, rakyat memihak Dilara. Hal ini sangat berbahaya bagi kedudukan Muwafak. Oleh karena itu ia merencanakan untuk membunuh Dilara. Untunglah perdana menteri Ali bin Haitam mengetahui rencana ini. Ali dan Dilara berganti pakaian.
Mereka menyamar sebagai tawanan, dan diam-diam menyelinap dari istana. Mereka berdua berangkat meninggalkan istana dan negaranya. Pada siang hari Ali dan Dilara bersembunyi. Pada malam hari mereka berjalan. Mereka berjalan melalui hutan dan lembah-lembah, menuruni jurang dan mendaki gunung-gunung. Mereka kerap kali menengok ke belakang, karena takut dicari dan dikejar Muwafak. Akhirnya, sampailah mereka berdua di Tibet.
Di negara ini Ali dan Dilara merasa aman, karena Muwafak tak mungkin berani mencarinya hingga tempat ini. Di Negara Tibet, Ali dan Dilara harus berhati-hati. Ada kemungkinan Muwafak menyewa pembunuh supaya membunuh Ali dan Dilara. Oleh karena itu, Ali dan Dilara tidak mau mengatakan nama sebenarnya.
Ali mencari makan dengan jalan jadi pelukis. Dilara dianggap anaknya sendiri. Lukisan Ali sangat bagus. Sebentar saja nama Ali sangat terkenal. Begitu terkenal dia, hingga para menteri dan pegawai tinggi memesan lukisan pada Ali. Ali sangat pandai melukis potret, hingga raja Tibet sendiri datang ke tempat Ali.
Raja masuk rumah Ali dengan tiba-tiba. Dilara tak punya kesempatan bersembunyi. Raja sudah terlanjur melihat Dilara. Padahal Dilara cantik sekali. Raja sangat kagum dan terpesona oleh kecantikan Dilara! Selama Ali sibuk memperlihatkan hasil lukisannya kepada raja, raja juga sibuk memandang dan memperhatikan Dilara. Pada pandangan pertama, raja jatuh cinta kepada Dilara!
Dilara merasa diamat-amati raja. Mukanya merah karena malu. Wajahnya bertambah cantik dan berseri-seri. Dia sendiri merasa tertarik kepada raja. Raja berwajah rupawan, badannya tegap, tingkah lakunya ramah dan sopan. “
“Alangkah bahagianya, apabila saya jadi permaisuri raja Tibet!” pikir Dilara.
Hari ke dua, raja datang lagi. la memandang Dilara sepuas-puasnya. Hari ke tiga raja juga datang lagi. la tidak kerasan tinggal di istana. Hatinya selalu teringat Dilara. la datang ke rumah Ali bukan untuk melihat-lihat lukisan, tetapi supaya dapat berjumpa dengan Dilara!
PADA hari ke empat, raja datang lagi. Raja sudah tidak dapat menahan isi hatinya lagi.
la berkata kepada Dilara, “Dilara, sejak aku melihat kamu, aku tak dapat melupakanmu. Makin hari makin berkobar-kobar cintaku. Maukah kamu jadi permaisuriku? Apabila ayahmu mengijinkan, kau kupindahkan ke istana. Apabila kau hanya orang biasa saja, hal itu akan kurahasiakan.”
Tentu saja Dilara menerima lamaran raja. Bahkan Ali membuka rahasia dirinya dan rahasia Dilara.
Ali berkata kepada raja, “Baginda, kami berdua adalah pelarian. Dilara adalah ratu Albasin, dari kerajaan Nayaman. Saya, Ali, bukanlah ayahnya, tetapi perdana menterinya. Muwafak merebut tahta Dilara.”
“Kalau begitu, Muwafak harus turun dari tahta curian itu! Kalau tidak mau, kuserbu negaranya. Kalau perlu, kubunuh dia!” jawab raja dengan tegas.
Pesta perkawinan besar segera diselenggarakan. Ali dan Dilara dipindah ke istana raja Tibet. Sementara itu, seorang duta diutus ke Albasin, ibu kota kerajaan Nayaman.
“Muwafak harus turun tahta, kalau tidak, negaranya akan dijadikan lautan api!” demikian perintah raja Tibet, yang dibawa duta tersebut.
Muwafak ketakutan sekali ketika menerima ancaman tersebut. Tentara Muwafak tak akan dapat melawan tentara raja Tibet. Tentara Muwafak pasti akan kalah. Akan tetapi jangan lupa, Muwafak sombong sekali.
Dengan menggembungkan dadanya, ia berkata kepada duta raja Tibet, “Aku, Muwafak, tak gentar berperang dengan raja Tibet! Akan kuhancurkan tentaranya hingga punah!”
Duta raja Tibet segera kembali ke negaranya, untuk menyampaikan jawaban Muwafak kepada raja Tibet.
Tetapi di tengah jalan dihentikan utusan Muwafak, katanya, “Sampaikan kepada raja Tibet, Muwafak mati mendadak karena serangan jantung!”
Semua orang gembira mendengar berita itu. Rakyat kerajaan Nayaman mengharapkan A!i dan Dilara kembali ke istana Albasin. Raja Tibet gembira, tak perlu menumpahkan darah tentara-tentaranya dalam perang. Di Tibet orang sibuk menyiapkan perarakan besar. Dilara akan ditahtakan kembali di istana Albasin, dan Ali akan diangkat kembali jadi perdana menterinya. Namun, sesuatu yang tak terduga-duga terjadi.
Pagi-pagi ratu Dilara sedang sibuk memetik bunga-bunga di taman. Maksudnya, untuk dipersembahkan kepada suaminya, raja Tibet. Ketika Dilara mengangkat kepala, ia melihat suaminya di taman itu juga. Raja Tibet juga sedang asyik memetik bunga-bunga. Ketika raja melihat Dilara, mata raja terbelalak karena terkejut dan tercengang.
Dilara heran, dan bertanya, “Mengapa Baginda terkejut?”
“Mengapa aku terkejut?” jawab raja.
“Karena aneh sekali! Aku baru saja dari kamar, dan aku melihatmu di kamar, sedang bercermin. Dan sekarang aku melihatmu di taman ini! Bagaimana mungkin Baginda, aku sudah setengah jam ada di taman ini. Tidakkah raja salah lihat?” tanya Dilara.
“Salah lihat? Aku tidak mimpi!” jawab raja.
“Aku baru saja melihatmu di kamar. Kamu sedang berhias diri. Bahkan aku bercakap-cakap dengan kau. Di sini kau berkata, sudah ada di taman setengah jam! Apakah kau mempermainkan diriku?”
Raja dan Dilara tidak mengerti apa yang terjadi. Mereka berdua heran dan bingung. Oleh karena itu raja mengajak Dilara kembali ke kamar untuk membuktikannya. Ketika tiba di ambang pintu kamar, raja dan Dilara berdiri terpaku di lantai. Mereka berdua sedemikian terkejut dan tercengang, hingga tak dapat bergerak. Mulutnya terbungkam seperti dikunci. Di depan cer-min, mereka melihat ratu Dilara yang lain!
Ratu di depan cermin menengok, dan berkata, “Siapa kau?”
“Aku Dilara, ratu Tibet, ahli waris kerajaan Nayaman!” jawab Dilara setelah sadar dari keheranannya.
Dilara pucat seperti mayat, kemudian wajahnya berubah jadi merah padam karena sangat marah.
“Kau pembohong dan pendusta!” bentak ratu di depan cermin.
“Akulah ratu Tibet dan ahli waris kerajaan Nayaman!”
Raja Tibet ternganga mulutnya. la tidak dapat membedakan mana ratu sebenarnya, mana ratu palsu. kedua-duanya sangat serupa, bahkan tepat sama!
“Kau pasti tukang sihir jahat, yang berusaha menyamai diriku, untuk merebut tahtaku!” kata ratu di depan cermin.
“Kau sendiri si tukang sihir jahat, yang ingin merebut tahtaku! Aku, Dilara, berani bersumpah, akulah permaisuri raja Tibet, ahli waris kerajaan Nayaman!” bantah Dilara.
“Baginda, bakar dia, tukang sihir jahat, perampok tahta kerajaan!” kata ratu palsu kepada raja, sambil menunjuk Dilara.
“Baginda, jangan dengarkan dia! Dialah si tukang sihir! Apabila baginda sungguh-sungguh mencintai saya, baginda pasti tahu, sayalah Dilara” jawab Dilara dengan geram.
Tetapi kata-kata Dilara sia-sia belaka. Raja Tibet terbengong-bengong, seperti orang linglung. la bingung, kacau pikirannya, pusing kepalanya. Matanya jarang berkedip, mulutnya selalu ternganga. la tidak dapat membedakan mana ratu tiruan, mana Dilara.
Dalam kebingungan itu, raja teringat Ali dan menyuruh memanggil Ali. Ketika Ali datang, dan melihat, kedua ratu, Ali seperti mayat berdiri. Mukanya pucat, matanya terbelalak, mulutnya terbuka, seperti orang melihat seribu hantu.
Ali baru sadar, ketika raja berteriak, “Ali! Yang mana ratu palsu, yang mana Dilara?”
Ali menanyai ratu itu satu per satu. Siapa nama ayahnya, nama ibunya, nama temannya, nama pelayannya, nama-nama tempat asal mereka. Kedua ratu menjawab sama. Kemudian Ali mengamati matanya, hidungnya, rambutnya, telinganya, dan gerak geriknya. Semua sama, tak ada perbedaan kecil satu pun.
“Saya teringat sekarang, ada bekas merah di belakang telinga Dilara!” teriak Ali.
Tetapi ratu di depan cermin itupun mempunyai bekas merah di belakang telinga! Habislah akal Ali ! Akhirnya Ali pun harus mengakui, tak dapat membedakan mana ratu palsu, mana ratu sebenarnya.
Raja tak dapat tidur. Ali pun tak dapat tidur. Kedua tokoh negara itu memeras otak, untuk mengetahui mana ratu palsu. Para menteri diundang dan dikumpulkan di istana. Kedua ratu diperlihatkan kepada mereka. Para menteri diberi tugas berat, harus berunding dan memutuskan, mana ratu palsu.
Setelah lama berunding dan berdebat para menteri mengatakan, “Ratu di taman bunga itulah ratu palsu, tukang sihir. perampok tahta!”
“Apa kataku?” seru ratu palsu.
“Sudah kukatakan, dia tukang sihir jahat. yang ingin merebut tahtaku! Baginda, bakar dia, biar dia binasa!”
Meski pun raja menerima keputusan para menteri, Dilara tidak dibakar. Raja masih tetap ragu-ragu, dan belum tahu dengan pasti. Jangan sampai terjadi ratu sebenarnya mati terbakar. Oleh karena itu, Dilara diusir dari istana dan dilarang kembali.
“Bagaimana mengenai diri saya?” tanya Ali.
“Bolehkah saya kembali ke Albasin, atas nama ratu Dilara?”
“Tidak, sama sekali tidak!” jawab ratu palsu.
“Kamu pun harus pergi bersama tukang sihir itu! Kamu, perdana menteri keparat, berani meragukan ratumu! Ayo, pergi dari sini.”
Sekarang, tahulah Ali. Dilara tak pernah berkata sekasar itu. Dilara selalu lemah lembut dan sopan. Tetapi semuanya telah terlambat. Raja sudah terlanjur mengusir Dilara. Raja sudah terlanjur menerima keputusan para menteri. Ali sudah putus asa, ia tidak ingin meyakinkan raja.
Dilara meninggalkan istana, menangis sepanjang jalan. Bermacam-macam perasaan berkecamuk dalam hatinya. Sedih, marah, kecewa, bingung, putus asa, merana, semua bercampur jadi satu. Siapa dapat melukiskan kesedihan hatinya? la kehilangan tahta, tempat tinggal, nama baik, dan yang paling menyayat hati, ia kehilangan suami!
Ali juga meninggalkan istana. la berjalan setengah lari. la mengejar Dilara. Ketika bertemu Dilara, Dilara dibimbingnya, dan di bawa ke rumah tempat ia jadi pelukis. Dilara dihiburnya dan dikuatkan hatinya.
“Jangan putus asa,” kata Ali,
“Kita masih dapat hidup dengan mencari makan sendiri. Mudah-mudahan nasib baik kembali kepada kita.”
Namun, Ali tak tahan akan penderitaan batin seberat itu. Tak lama kemudian ia meninggal dunia, karena sedih dan merana. Sekarang Dilara hidup sebatang kara, kehilangan sahabat paling setia. Dilara tidak berani kembali ke Albasin. Albasin sudah jadi milik ratu palsu. Dilara terpaksa jadi pembantu, kerjanya menenun dan mencuci pakaian. Kerap kali ia termenung-menung melamun, seperti orang bingung. Dalam lamunannya, ia melihat suaminya duduk di samping ratu palsu. Dilara sangat rindu pada suaminya, dan berharap-harap pada suatu hari dapat kembali ke istana, dijemput raja Tibet.
Waktu berjalan terus. Raja Tibet memerintah didampingi ratu palsu.
Pada suatu hari, ratu palsu berkata, “Baginda tentu lelah. Urusan negara dapat membuat baginda sakit. Tidakkah baginda ingin beristirahat, atau bersenang-senang? Baginda dapat berburu selama seminggu, untuk menyegarkan jiwa dan badan. Aku juga ingin bersenang-senang dengan dayang-dayangku.”
Raja berangkat berburu, diiringkan pegawai-pegawai istana. Satu minggu penuh, raja meninggalkan istana. Raja dapat berburu sepuas-puasnya. Sesudah itu raja segera kembali ke istana. Ketika sampai di pintu gerbang, para penjaga tercengang. Orang-orang yang melihat raja, juga keheran-heranan. Begitu heran mereka, hingga lupa memberi hormat kepada raja. Raja langsung menuju istana. Pakaiannya kotor berdebu. Di ambang pintu istana, raja bertemu perdana menteri. Perdana menteri inipun membelalakkan mata. la berdiri seperti patung, karena tercengang.
Raja lalu bertanya, “Mengapa kau memandangku seperti itu?”
“Bagaimana mungkin, baginda!? jawab perdana menteri.
“Saya baru saja menghadap baginda di istana. Sekarang saya bertemu dengan baginda di depan pintu. Saya tidak mengerti!”
“Aku baru saja pulang dari berburu. Pakaianku kotor berdebu. Tak mungkin aku ada di atas tahta. Mungkin kau salah lihat!” kata raja.
“Itulah yang saya tak mengerti. Lebih baik kita segera masuk istana!” jawab perdana menteri.
Raja masuk istana, diiringkan perdana menteri dan para pengawal. Mereka melalui beberapa buah pintu. Raja membuka pintu terakhir. Seperti disambar petir, raja terpaku di ambang pintu. la begitu terkejut dan keheran-heranan. la melihat dirinya duduk di atas tahta, di samping ratu. Lama raja tak dapat berbicara.
Tiba-tiba raja di atas tahta berkata, “Siapa kau?”
“Aku raja Tibet, suami ratu Nayaman !” jawab raja di ambang pintu.
“Kau pembohong dan pendusta.” bantah raja palsu.
“Kau tukang sihir jahat, yang ingin merebut tahta dan isteriku! Kau harus dibakar di atas onggokan kayu. Akulah raja Tibet, suami ratu Nayaman!”
Perdana menteri berdiri seperti orang tolol. la tidak mengerti, mana raja palsu mana raja sebenarnya.
“Kau sendiri si tukang sihir jahat! Kau sendiri yang ingin merebut tahta dan isteriku! Kau sendiri yang harus di bakar di atas onggokan kayu!” teriak raja sebenarnya.
Perdana menteri memandang raja yang di atas tahta dan raja di ambang pintu. Tetapi ia tidak dapat membedakannya. Tak ada perbedaan serambut pun.
“Akulah raja Tibet yang sebenarnya! Aku baru saja pulang dari berburu. Pengawal dan pengiringku dapat jadi saksi!” kata raja sebenarnya.
“Akulah raja Tibet sebenarnya! Aku selalu ada di istana. Aku selalu duduk di atas tahta. Aku selalu di samping permaisuriku, ratu Nayaman! Seluruh pegawai istana, para penjabat dan para menteri dapat jadi saksi!” jawab raja palsu.
“Lebih baik ratu mengambil keputusan. la lebih tahu mana raja palsu mana raja sebenamya,” usul perdana menteri.
“Raja yang sebenarnya ialah yang duduk di sampingku. Raja di ambang pintu adalah raja palsu,” kata ratu palsu.
“Aku bersumpah, aku raja Tibet, suami ratu Nayaman!” seru raja sebenarnya.
la teringat akan Dilara, yang ia usir.
Perdana menteri, yang sebenarnya tak tahu mana raja palsu. Ia percaya pada ratu palsu.
la berkata kepada pengawal, “Pengawal, tangkap raja ini, dan penjarakan!”
Pengawal memegang raja sebenarnya.
“Tunggu!” teriak raja sebenarnya.
“Awas, jangan berani menyentuh rajamu!”
Pengawal istana ragu-ragu. Raja dilepaskan.
Raja palsu, yang duduk di atas tahta, marah dan berteriak, “Tangkap dia! Penjarakan dia!”
Raja palsu sangat marah. la berteriak begitu keras. Tangannya diayunkan begitu bersemangat, hingga cincin yang dipakainya terlepas. Cincin itu jatuh di lantai, menggelinding seperti roda. Semua orang yang hadir terbelalak matanya. Mereka hampir tidak percaya apa yang dilihatnya.
Raja di atas tahta berubah jadi kakek tua! Kakek tua yang kulitnya berkeriput sangat buruk. Rambutnya putih semua, badannya kecil bungkuk dan kurus. Kakek tua itu segera bangkit dari tahta untuk mengambil cincin yang jatuh. Tetapi raja di ambang pintu jauh lebih cekatan.
Cincin dipungutnya. Cincin itu berupa ular bermata hijau. Kepalanya menggigit ekornya sendiri. Ratu palsu menjerit, ketakutan. Raja sebenarnya sekarang tahu, cincin itu mempunyai kekuatan sihir. Raja melihat ratu palsu juga memakai cincin. Oleh karena itu raja menyuruh pengawal merebut cincin ratu palsu.
“Rebut cincin itu!” perintah raja.
Pengawal maju dan berusaha mengambil cincin dari jari ratu palsu. Ratu palsu berusaha menyembunyikannya, ia meronta-ronta dan menggigit tangan pengawal. Tetapi sia-sia. Pengawal jauh lebih kuat. Cincin berhasil direbutnya dan diberikan kepada raja.
Seketika itu juga, ratu palsu berubah jadi nenek tua berkeriput sangat buruk. Rambutnya putih semua. Giginya ompong. Badannya bungkuk dan kurus kering.
“Nah, sekarang terbukalah kedokmu. Kalian berdua tukang sihir jahat. Kau yang menyuruh aku membakar Dilara. Kau sendiri yang harus dibakar di atas onggokan kayu. Tetapi aku wajib membunuhmu dengan tanganku sendiri!” kata raja, sambil menghunus pedangnya.
Kakek dan nenek buruk itu menjatuhkan diri di lantai. Mereka berdua tertelungkup di depan kaki raja.
Mereka menangis dan berkata, “Ampun baginda, ampun beribu-ribu ampun! Kasihanilah kami! Kami berdua jangan dibunuh. Kami sudah tak berdaya lagi! Ampun baginda, ampun beribu-ribu ampun”
Raja menyarungkan kembali pedangnya.
la berkata dengan tegas, “Siapakah kalian? Dari mana asal kalian? Untuk apa kalian datang kemari? Dengan maksud apa kalian memakai cincin sihir itu? Apa yang kalian inginkan?”
Mata raja memandang tajam kepada kakek dan nenek tua yang sudah tak berdaya.
Kemudian ia melanjutkan bicara, “Ayo, jawab segera, jawab terus terang, kalau kalian berdusta, kupenggal leher kalian!”
“Ampun baginda. Ijinkanlah saya berceritera.” jawab kakek tua memulai ceriteranya.
“Saya ini sebenarnya pangeran Muwafak. Wanita ini, isteri saya. Ketika baginda memaksa saya turun tahta, saya tahu, tentara saya tak dapat melawan tentara baginda. Oleh karena itu saya menyebar kabar bohong bahwa Raja Muwafak mati mendadak. Malam harinya, saya dan isteri saya ini, diam-diam meninggalkan istana. Jika berperang dengan baginda, saya pasti kalah. Tetapi dengan sihir, saya dapat menang.”
“Maka saya pergi ke gurun Faran, ke rumah Bedra, tukang sihir kenamaan. Bedra tinggal di sebuah gua. Ketika saya datang di pintu gua, berpuluh-puluh makhluk ajaib beterbangan keluar dari gua. Di dalam gua agak gelap. Di situ saya melihat ketel emas, berisi lumpur mendidih. Lumpur itu sangat panas, meski pun di bawah ketel tak ada apinya. Bedra duduk di atas sebuah batu, sambil membaca buku hitam tentang seni sihir.”
“Aku sudah tahu, mengapa kalian berdua datang kemari!” kata Bedra.
“Tak perlu kalian mengatakan sesuatu. Aku sendiri orang jahat. Dan kalian berniat jahat. Oleh karena itu aku mau membantu kalian!”
“Bedra mengambil dua buah cincin dari sebuah lubang. Cincin dilemparkan ke dalam ketel. Seketika itu juga lumpur di dalam ketel mendidih dengan hebat. Timbul api bernyala-nyala dengan asap tebal melingkar-lingkar. Suaranya gemuruh seperti seribu petir menyambar bersama-sama. Padahal di bawah ketel tak ada apinya. Ketika api dalam ketel padam, dan lumpur mendidih seperti biasa, Bedra mengambil tongkat.
Kedua cincin di ambil dari ketel dengan tongkat. la memberikan cincin tersebut kepada saya dan isteri saya.”
“Pakailah cincin ini, maka kalian dapat berubah rupa seperti yang kalian inginkan. Tetapi ingatlah, apabila cincin ini lepas dari jarimu, seketika itu juga kamu akan berubah jadi kakek tua yang bungkuk. Apabila kau sudah jadi kakek, tak ada sihir dapat menolongmu. Juga kau akan jadi nenek, bila cincin ini lepas dari jarimu,” kata Bedra sambil memberikan cincin kepada isteri saya.
“Kami berdua berterima kasih kepada Bedra dan meninggalkan guanya. Kejahatan kami bertambah. Kami berdua tidak hanya ingin jadi raja Nayaman, tetapi juga raja Tibet. Saya dan isteri saya menyamar sebagai pedagang, dan pergi ke Tibet. Dengan akal licik kami berdua dapat masuk kompleks istana.”
“Pada saat yang tepat, isteri saya berubah jadi Dilara. la dudukdi depan cermin, pura-pura menyisir rambut. la pura-pura menghias diri. la berhasil mengelabui raja, dan berhasil menyuruh raja mengusir Dilara. Kemudian tiba giliran saya. Pada waktu raja pergi berburu, saya masuk istana dengan pertolongan cincin sihir. Saya berubah jadi raja Tibet. Tak ada orang curiga. Semua orang percaya, saya raja Tibet sebenarnya. Seandainya cincin tidak lepas dari jari saya, sudah pasti saya dan isteri saya jadi raja Tibet, dan raja Nayaman selamanya. Tetapi nasib buruk sudah terlanjur menimpa kami berdua. Kami berdua sudah tak berdaya lagi. Oleh karena itu, kami minta ampun beribu-ribu ampun, dan jangan dibunuh.”
“Kalian berdua kami perkenankan hidup.” jawab raja.
“Aku tidak akan menghukum kalian, sebab kalian sudah dihukum oleh kejahatan kalian sendiri. Kalian boleh tinggal di Tibet, sambil menyaksikan orang yang kalian celakakan. Kalian jadi tua bangka, semua harapan kalian berantakan, kalian akan hidup dalam penyesalan dan rasa malu luar biasa. Kejahatan kalian yang mencelakakan diri kalian. Kalian ingin memisahkan aku dengan Dilara. Tetapi aku dan Dilara akan hidup bahagia dalam cinta abadi. Aku dan Dilara akan jadi raja dan ratu Tibet dan kerajaan Nayaman. Kalian sebaliknya akan jadi cemoohan orang dan hidup terbenci. Itulah neraka hidupmu!”
Raja segera berangkat mencari Dilara. Baginda diiringkan pegawai-pegawai istana dan para pejabat tinggi. Dilara ditemukan di rumah miskin, tempat Ali jadi pelukis. Dilara sedang mencuci pakaian. Dilara segera memeluk raja, tanpa mencuci tangan lebih dulu. Kebahagiaan mereka berdua tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Begitu bahagia Dilara, sehingga ia melupakan segala penderitaan masa lalu.
Dilara segera dipindah ke istana, dan tetap menjadi ratu Tibet dan Nayaman. Raja dan Dilara hidup bahagia sampai akhir hidupnya. Mereka memerintah dengan ramah dan bijaksana. Rakyat mencintai mereka berdua. Kerajaan Tibet dan Nayaman tenteram sejahtera, makmur dan aman.
Ketika ayahnya meninggal, Dilara baru berusia sepuluh tahun. la terpaksa mengganti ayahnya menjadi raja. Raja puteri disebut ratu. Karena ratu Dilara masih kecil. maka ia didampingi oleh perdana menteri. Perdana menteri ini bernama Ali bin Haitam. Ali bin Haitam adalah perdana menteri raja Komara. la sangat setia kepada raja Komara dan ratu Dilara. Lama-kelamaan ratu Dilara pandai memerintah juga.
la dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Akan tetapi ratu Dilara mempunyai saudara sepupu, namanya pangeran Muwafak. Pangeran Muwafak adalah orang jahat. la tidak rela Dilara jadi ratu. la ingin jadi raja, mengganti raja Komara. Oleh karena itu pangeran Muwafak mencari teman. la, beserta teman-temannya menyerbu istana. Dilara dipaksa turun dari tahta, dan dilarang meninggalkan kamarnya.
Meski pun begitu, Muwafak belum puas. la tahu, rakyat memihak Dilara. Hal ini sangat berbahaya bagi kedudukan Muwafak. Oleh karena itu ia merencanakan untuk membunuh Dilara. Untunglah perdana menteri Ali bin Haitam mengetahui rencana ini. Ali dan Dilara berganti pakaian.
Mereka menyamar sebagai tawanan, dan diam-diam menyelinap dari istana. Mereka berdua berangkat meninggalkan istana dan negaranya. Pada siang hari Ali dan Dilara bersembunyi. Pada malam hari mereka berjalan. Mereka berjalan melalui hutan dan lembah-lembah, menuruni jurang dan mendaki gunung-gunung. Mereka kerap kali menengok ke belakang, karena takut dicari dan dikejar Muwafak. Akhirnya, sampailah mereka berdua di Tibet.
Di negara ini Ali dan Dilara merasa aman, karena Muwafak tak mungkin berani mencarinya hingga tempat ini. Di Negara Tibet, Ali dan Dilara harus berhati-hati. Ada kemungkinan Muwafak menyewa pembunuh supaya membunuh Ali dan Dilara. Oleh karena itu, Ali dan Dilara tidak mau mengatakan nama sebenarnya.
Ali mencari makan dengan jalan jadi pelukis. Dilara dianggap anaknya sendiri. Lukisan Ali sangat bagus. Sebentar saja nama Ali sangat terkenal. Begitu terkenal dia, hingga para menteri dan pegawai tinggi memesan lukisan pada Ali. Ali sangat pandai melukis potret, hingga raja Tibet sendiri datang ke tempat Ali.
Raja masuk rumah Ali dengan tiba-tiba. Dilara tak punya kesempatan bersembunyi. Raja sudah terlanjur melihat Dilara. Padahal Dilara cantik sekali. Raja sangat kagum dan terpesona oleh kecantikan Dilara! Selama Ali sibuk memperlihatkan hasil lukisannya kepada raja, raja juga sibuk memandang dan memperhatikan Dilara. Pada pandangan pertama, raja jatuh cinta kepada Dilara!
Dilara merasa diamat-amati raja. Mukanya merah karena malu. Wajahnya bertambah cantik dan berseri-seri. Dia sendiri merasa tertarik kepada raja. Raja berwajah rupawan, badannya tegap, tingkah lakunya ramah dan sopan. “
“Alangkah bahagianya, apabila saya jadi permaisuri raja Tibet!” pikir Dilara.
Hari ke dua, raja datang lagi. la memandang Dilara sepuas-puasnya. Hari ke tiga raja juga datang lagi. la tidak kerasan tinggal di istana. Hatinya selalu teringat Dilara. la datang ke rumah Ali bukan untuk melihat-lihat lukisan, tetapi supaya dapat berjumpa dengan Dilara!
PADA hari ke empat, raja datang lagi. Raja sudah tidak dapat menahan isi hatinya lagi.
la berkata kepada Dilara, “Dilara, sejak aku melihat kamu, aku tak dapat melupakanmu. Makin hari makin berkobar-kobar cintaku. Maukah kamu jadi permaisuriku? Apabila ayahmu mengijinkan, kau kupindahkan ke istana. Apabila kau hanya orang biasa saja, hal itu akan kurahasiakan.”
Tentu saja Dilara menerima lamaran raja. Bahkan Ali membuka rahasia dirinya dan rahasia Dilara.
Ali berkata kepada raja, “Baginda, kami berdua adalah pelarian. Dilara adalah ratu Albasin, dari kerajaan Nayaman. Saya, Ali, bukanlah ayahnya, tetapi perdana menterinya. Muwafak merebut tahta Dilara.”
“Kalau begitu, Muwafak harus turun dari tahta curian itu! Kalau tidak mau, kuserbu negaranya. Kalau perlu, kubunuh dia!” jawab raja dengan tegas.
Pesta perkawinan besar segera diselenggarakan. Ali dan Dilara dipindah ke istana raja Tibet. Sementara itu, seorang duta diutus ke Albasin, ibu kota kerajaan Nayaman.
“Muwafak harus turun tahta, kalau tidak, negaranya akan dijadikan lautan api!” demikian perintah raja Tibet, yang dibawa duta tersebut.
Muwafak ketakutan sekali ketika menerima ancaman tersebut. Tentara Muwafak tak akan dapat melawan tentara raja Tibet. Tentara Muwafak pasti akan kalah. Akan tetapi jangan lupa, Muwafak sombong sekali.
Dengan menggembungkan dadanya, ia berkata kepada duta raja Tibet, “Aku, Muwafak, tak gentar berperang dengan raja Tibet! Akan kuhancurkan tentaranya hingga punah!”
Duta raja Tibet segera kembali ke negaranya, untuk menyampaikan jawaban Muwafak kepada raja Tibet.
Tetapi di tengah jalan dihentikan utusan Muwafak, katanya, “Sampaikan kepada raja Tibet, Muwafak mati mendadak karena serangan jantung!”
Semua orang gembira mendengar berita itu. Rakyat kerajaan Nayaman mengharapkan A!i dan Dilara kembali ke istana Albasin. Raja Tibet gembira, tak perlu menumpahkan darah tentara-tentaranya dalam perang. Di Tibet orang sibuk menyiapkan perarakan besar. Dilara akan ditahtakan kembali di istana Albasin, dan Ali akan diangkat kembali jadi perdana menterinya. Namun, sesuatu yang tak terduga-duga terjadi.
Pagi-pagi ratu Dilara sedang sibuk memetik bunga-bunga di taman. Maksudnya, untuk dipersembahkan kepada suaminya, raja Tibet. Ketika Dilara mengangkat kepala, ia melihat suaminya di taman itu juga. Raja Tibet juga sedang asyik memetik bunga-bunga. Ketika raja melihat Dilara, mata raja terbelalak karena terkejut dan tercengang.
Dilara heran, dan bertanya, “Mengapa Baginda terkejut?”
“Mengapa aku terkejut?” jawab raja.
“Karena aneh sekali! Aku baru saja dari kamar, dan aku melihatmu di kamar, sedang bercermin. Dan sekarang aku melihatmu di taman ini! Bagaimana mungkin Baginda, aku sudah setengah jam ada di taman ini. Tidakkah raja salah lihat?” tanya Dilara.
“Salah lihat? Aku tidak mimpi!” jawab raja.
“Aku baru saja melihatmu di kamar. Kamu sedang berhias diri. Bahkan aku bercakap-cakap dengan kau. Di sini kau berkata, sudah ada di taman setengah jam! Apakah kau mempermainkan diriku?”
Raja dan Dilara tidak mengerti apa yang terjadi. Mereka berdua heran dan bingung. Oleh karena itu raja mengajak Dilara kembali ke kamar untuk membuktikannya. Ketika tiba di ambang pintu kamar, raja dan Dilara berdiri terpaku di lantai. Mereka berdua sedemikian terkejut dan tercengang, hingga tak dapat bergerak. Mulutnya terbungkam seperti dikunci. Di depan cer-min, mereka melihat ratu Dilara yang lain!
Ratu di depan cermin menengok, dan berkata, “Siapa kau?”
“Aku Dilara, ratu Tibet, ahli waris kerajaan Nayaman!” jawab Dilara setelah sadar dari keheranannya.
Dilara pucat seperti mayat, kemudian wajahnya berubah jadi merah padam karena sangat marah.
“Kau pembohong dan pendusta!” bentak ratu di depan cermin.
“Akulah ratu Tibet dan ahli waris kerajaan Nayaman!”
Raja Tibet ternganga mulutnya. la tidak dapat membedakan mana ratu sebenarnya, mana ratu palsu. kedua-duanya sangat serupa, bahkan tepat sama!
“Kau pasti tukang sihir jahat, yang berusaha menyamai diriku, untuk merebut tahtaku!” kata ratu di depan cermin.
“Kau sendiri si tukang sihir jahat, yang ingin merebut tahtaku! Aku, Dilara, berani bersumpah, akulah permaisuri raja Tibet, ahli waris kerajaan Nayaman!” bantah Dilara.
“Baginda, bakar dia, tukang sihir jahat, perampok tahta kerajaan!” kata ratu palsu kepada raja, sambil menunjuk Dilara.
“Baginda, jangan dengarkan dia! Dialah si tukang sihir! Apabila baginda sungguh-sungguh mencintai saya, baginda pasti tahu, sayalah Dilara” jawab Dilara dengan geram.
Tetapi kata-kata Dilara sia-sia belaka. Raja Tibet terbengong-bengong, seperti orang linglung. la bingung, kacau pikirannya, pusing kepalanya. Matanya jarang berkedip, mulutnya selalu ternganga. la tidak dapat membedakan mana ratu tiruan, mana Dilara.
Dalam kebingungan itu, raja teringat Ali dan menyuruh memanggil Ali. Ketika Ali datang, dan melihat, kedua ratu, Ali seperti mayat berdiri. Mukanya pucat, matanya terbelalak, mulutnya terbuka, seperti orang melihat seribu hantu.
Ali baru sadar, ketika raja berteriak, “Ali! Yang mana ratu palsu, yang mana Dilara?”
Ali menanyai ratu itu satu per satu. Siapa nama ayahnya, nama ibunya, nama temannya, nama pelayannya, nama-nama tempat asal mereka. Kedua ratu menjawab sama. Kemudian Ali mengamati matanya, hidungnya, rambutnya, telinganya, dan gerak geriknya. Semua sama, tak ada perbedaan kecil satu pun.
“Saya teringat sekarang, ada bekas merah di belakang telinga Dilara!” teriak Ali.
Tetapi ratu di depan cermin itupun mempunyai bekas merah di belakang telinga! Habislah akal Ali ! Akhirnya Ali pun harus mengakui, tak dapat membedakan mana ratu palsu, mana ratu sebenarnya.
Raja tak dapat tidur. Ali pun tak dapat tidur. Kedua tokoh negara itu memeras otak, untuk mengetahui mana ratu palsu. Para menteri diundang dan dikumpulkan di istana. Kedua ratu diperlihatkan kepada mereka. Para menteri diberi tugas berat, harus berunding dan memutuskan, mana ratu palsu.
Setelah lama berunding dan berdebat para menteri mengatakan, “Ratu di taman bunga itulah ratu palsu, tukang sihir. perampok tahta!”
“Apa kataku?” seru ratu palsu.
“Sudah kukatakan, dia tukang sihir jahat. yang ingin merebut tahtaku! Baginda, bakar dia, biar dia binasa!”
Meski pun raja menerima keputusan para menteri, Dilara tidak dibakar. Raja masih tetap ragu-ragu, dan belum tahu dengan pasti. Jangan sampai terjadi ratu sebenarnya mati terbakar. Oleh karena itu, Dilara diusir dari istana dan dilarang kembali.
“Bagaimana mengenai diri saya?” tanya Ali.
“Bolehkah saya kembali ke Albasin, atas nama ratu Dilara?”
“Tidak, sama sekali tidak!” jawab ratu palsu.
“Kamu pun harus pergi bersama tukang sihir itu! Kamu, perdana menteri keparat, berani meragukan ratumu! Ayo, pergi dari sini.”
Sekarang, tahulah Ali. Dilara tak pernah berkata sekasar itu. Dilara selalu lemah lembut dan sopan. Tetapi semuanya telah terlambat. Raja sudah terlanjur mengusir Dilara. Raja sudah terlanjur menerima keputusan para menteri. Ali sudah putus asa, ia tidak ingin meyakinkan raja.
Dilara meninggalkan istana, menangis sepanjang jalan. Bermacam-macam perasaan berkecamuk dalam hatinya. Sedih, marah, kecewa, bingung, putus asa, merana, semua bercampur jadi satu. Siapa dapat melukiskan kesedihan hatinya? la kehilangan tahta, tempat tinggal, nama baik, dan yang paling menyayat hati, ia kehilangan suami!
Ali juga meninggalkan istana. la berjalan setengah lari. la mengejar Dilara. Ketika bertemu Dilara, Dilara dibimbingnya, dan di bawa ke rumah tempat ia jadi pelukis. Dilara dihiburnya dan dikuatkan hatinya.
“Jangan putus asa,” kata Ali,
“Kita masih dapat hidup dengan mencari makan sendiri. Mudah-mudahan nasib baik kembali kepada kita.”
Namun, Ali tak tahan akan penderitaan batin seberat itu. Tak lama kemudian ia meninggal dunia, karena sedih dan merana. Sekarang Dilara hidup sebatang kara, kehilangan sahabat paling setia. Dilara tidak berani kembali ke Albasin. Albasin sudah jadi milik ratu palsu. Dilara terpaksa jadi pembantu, kerjanya menenun dan mencuci pakaian. Kerap kali ia termenung-menung melamun, seperti orang bingung. Dalam lamunannya, ia melihat suaminya duduk di samping ratu palsu. Dilara sangat rindu pada suaminya, dan berharap-harap pada suatu hari dapat kembali ke istana, dijemput raja Tibet.
Waktu berjalan terus. Raja Tibet memerintah didampingi ratu palsu.
Pada suatu hari, ratu palsu berkata, “Baginda tentu lelah. Urusan negara dapat membuat baginda sakit. Tidakkah baginda ingin beristirahat, atau bersenang-senang? Baginda dapat berburu selama seminggu, untuk menyegarkan jiwa dan badan. Aku juga ingin bersenang-senang dengan dayang-dayangku.”
Raja berangkat berburu, diiringkan pegawai-pegawai istana. Satu minggu penuh, raja meninggalkan istana. Raja dapat berburu sepuas-puasnya. Sesudah itu raja segera kembali ke istana. Ketika sampai di pintu gerbang, para penjaga tercengang. Orang-orang yang melihat raja, juga keheran-heranan. Begitu heran mereka, hingga lupa memberi hormat kepada raja. Raja langsung menuju istana. Pakaiannya kotor berdebu. Di ambang pintu istana, raja bertemu perdana menteri. Perdana menteri inipun membelalakkan mata. la berdiri seperti patung, karena tercengang.
Raja lalu bertanya, “Mengapa kau memandangku seperti itu?”
“Bagaimana mungkin, baginda!? jawab perdana menteri.
“Saya baru saja menghadap baginda di istana. Sekarang saya bertemu dengan baginda di depan pintu. Saya tidak mengerti!”
“Aku baru saja pulang dari berburu. Pakaianku kotor berdebu. Tak mungkin aku ada di atas tahta. Mungkin kau salah lihat!” kata raja.
“Itulah yang saya tak mengerti. Lebih baik kita segera masuk istana!” jawab perdana menteri.
Raja masuk istana, diiringkan perdana menteri dan para pengawal. Mereka melalui beberapa buah pintu. Raja membuka pintu terakhir. Seperti disambar petir, raja terpaku di ambang pintu. la begitu terkejut dan keheran-heranan. la melihat dirinya duduk di atas tahta, di samping ratu. Lama raja tak dapat berbicara.
Tiba-tiba raja di atas tahta berkata, “Siapa kau?”
“Aku raja Tibet, suami ratu Nayaman !” jawab raja di ambang pintu.
“Kau pembohong dan pendusta.” bantah raja palsu.
“Kau tukang sihir jahat, yang ingin merebut tahta dan isteriku! Kau harus dibakar di atas onggokan kayu. Akulah raja Tibet, suami ratu Nayaman!”
Perdana menteri berdiri seperti orang tolol. la tidak mengerti, mana raja palsu mana raja sebenarnya.
“Kau sendiri si tukang sihir jahat! Kau sendiri yang ingin merebut tahta dan isteriku! Kau sendiri yang harus di bakar di atas onggokan kayu!” teriak raja sebenarnya.
Perdana menteri memandang raja yang di atas tahta dan raja di ambang pintu. Tetapi ia tidak dapat membedakannya. Tak ada perbedaan serambut pun.
“Akulah raja Tibet yang sebenarnya! Aku baru saja pulang dari berburu. Pengawal dan pengiringku dapat jadi saksi!” kata raja sebenarnya.
“Akulah raja Tibet sebenarnya! Aku selalu ada di istana. Aku selalu duduk di atas tahta. Aku selalu di samping permaisuriku, ratu Nayaman! Seluruh pegawai istana, para penjabat dan para menteri dapat jadi saksi!” jawab raja palsu.
“Lebih baik ratu mengambil keputusan. la lebih tahu mana raja palsu mana raja sebenamya,” usul perdana menteri.
“Raja yang sebenarnya ialah yang duduk di sampingku. Raja di ambang pintu adalah raja palsu,” kata ratu palsu.
“Aku bersumpah, aku raja Tibet, suami ratu Nayaman!” seru raja sebenarnya.
la teringat akan Dilara, yang ia usir.
Perdana menteri, yang sebenarnya tak tahu mana raja palsu. Ia percaya pada ratu palsu.
la berkata kepada pengawal, “Pengawal, tangkap raja ini, dan penjarakan!”
Pengawal memegang raja sebenarnya.
“Tunggu!” teriak raja sebenarnya.
“Awas, jangan berani menyentuh rajamu!”
Pengawal istana ragu-ragu. Raja dilepaskan.
Raja palsu, yang duduk di atas tahta, marah dan berteriak, “Tangkap dia! Penjarakan dia!”
Raja palsu sangat marah. la berteriak begitu keras. Tangannya diayunkan begitu bersemangat, hingga cincin yang dipakainya terlepas. Cincin itu jatuh di lantai, menggelinding seperti roda. Semua orang yang hadir terbelalak matanya. Mereka hampir tidak percaya apa yang dilihatnya.
Raja di atas tahta berubah jadi kakek tua! Kakek tua yang kulitnya berkeriput sangat buruk. Rambutnya putih semua, badannya kecil bungkuk dan kurus. Kakek tua itu segera bangkit dari tahta untuk mengambil cincin yang jatuh. Tetapi raja di ambang pintu jauh lebih cekatan.
Cincin dipungutnya. Cincin itu berupa ular bermata hijau. Kepalanya menggigit ekornya sendiri. Ratu palsu menjerit, ketakutan. Raja sebenarnya sekarang tahu, cincin itu mempunyai kekuatan sihir. Raja melihat ratu palsu juga memakai cincin. Oleh karena itu raja menyuruh pengawal merebut cincin ratu palsu.
“Rebut cincin itu!” perintah raja.
Pengawal maju dan berusaha mengambil cincin dari jari ratu palsu. Ratu palsu berusaha menyembunyikannya, ia meronta-ronta dan menggigit tangan pengawal. Tetapi sia-sia. Pengawal jauh lebih kuat. Cincin berhasil direbutnya dan diberikan kepada raja.
Seketika itu juga, ratu palsu berubah jadi nenek tua berkeriput sangat buruk. Rambutnya putih semua. Giginya ompong. Badannya bungkuk dan kurus kering.
“Nah, sekarang terbukalah kedokmu. Kalian berdua tukang sihir jahat. Kau yang menyuruh aku membakar Dilara. Kau sendiri yang harus dibakar di atas onggokan kayu. Tetapi aku wajib membunuhmu dengan tanganku sendiri!” kata raja, sambil menghunus pedangnya.
Kakek dan nenek buruk itu menjatuhkan diri di lantai. Mereka berdua tertelungkup di depan kaki raja.
Mereka menangis dan berkata, “Ampun baginda, ampun beribu-ribu ampun! Kasihanilah kami! Kami berdua jangan dibunuh. Kami sudah tak berdaya lagi! Ampun baginda, ampun beribu-ribu ampun”
Raja menyarungkan kembali pedangnya.
la berkata dengan tegas, “Siapakah kalian? Dari mana asal kalian? Untuk apa kalian datang kemari? Dengan maksud apa kalian memakai cincin sihir itu? Apa yang kalian inginkan?”
Mata raja memandang tajam kepada kakek dan nenek tua yang sudah tak berdaya.
Kemudian ia melanjutkan bicara, “Ayo, jawab segera, jawab terus terang, kalau kalian berdusta, kupenggal leher kalian!”
“Ampun baginda. Ijinkanlah saya berceritera.” jawab kakek tua memulai ceriteranya.
“Saya ini sebenarnya pangeran Muwafak. Wanita ini, isteri saya. Ketika baginda memaksa saya turun tahta, saya tahu, tentara saya tak dapat melawan tentara baginda. Oleh karena itu saya menyebar kabar bohong bahwa Raja Muwafak mati mendadak. Malam harinya, saya dan isteri saya ini, diam-diam meninggalkan istana. Jika berperang dengan baginda, saya pasti kalah. Tetapi dengan sihir, saya dapat menang.”
“Maka saya pergi ke gurun Faran, ke rumah Bedra, tukang sihir kenamaan. Bedra tinggal di sebuah gua. Ketika saya datang di pintu gua, berpuluh-puluh makhluk ajaib beterbangan keluar dari gua. Di dalam gua agak gelap. Di situ saya melihat ketel emas, berisi lumpur mendidih. Lumpur itu sangat panas, meski pun di bawah ketel tak ada apinya. Bedra duduk di atas sebuah batu, sambil membaca buku hitam tentang seni sihir.”
“Aku sudah tahu, mengapa kalian berdua datang kemari!” kata Bedra.
“Tak perlu kalian mengatakan sesuatu. Aku sendiri orang jahat. Dan kalian berniat jahat. Oleh karena itu aku mau membantu kalian!”
“Bedra mengambil dua buah cincin dari sebuah lubang. Cincin dilemparkan ke dalam ketel. Seketika itu juga lumpur di dalam ketel mendidih dengan hebat. Timbul api bernyala-nyala dengan asap tebal melingkar-lingkar. Suaranya gemuruh seperti seribu petir menyambar bersama-sama. Padahal di bawah ketel tak ada apinya. Ketika api dalam ketel padam, dan lumpur mendidih seperti biasa, Bedra mengambil tongkat.
Kedua cincin di ambil dari ketel dengan tongkat. la memberikan cincin tersebut kepada saya dan isteri saya.”
“Pakailah cincin ini, maka kalian dapat berubah rupa seperti yang kalian inginkan. Tetapi ingatlah, apabila cincin ini lepas dari jarimu, seketika itu juga kamu akan berubah jadi kakek tua yang bungkuk. Apabila kau sudah jadi kakek, tak ada sihir dapat menolongmu. Juga kau akan jadi nenek, bila cincin ini lepas dari jarimu,” kata Bedra sambil memberikan cincin kepada isteri saya.
“Kami berdua berterima kasih kepada Bedra dan meninggalkan guanya. Kejahatan kami bertambah. Kami berdua tidak hanya ingin jadi raja Nayaman, tetapi juga raja Tibet. Saya dan isteri saya menyamar sebagai pedagang, dan pergi ke Tibet. Dengan akal licik kami berdua dapat masuk kompleks istana.”
“Pada saat yang tepat, isteri saya berubah jadi Dilara. la dudukdi depan cermin, pura-pura menyisir rambut. la pura-pura menghias diri. la berhasil mengelabui raja, dan berhasil menyuruh raja mengusir Dilara. Kemudian tiba giliran saya. Pada waktu raja pergi berburu, saya masuk istana dengan pertolongan cincin sihir. Saya berubah jadi raja Tibet. Tak ada orang curiga. Semua orang percaya, saya raja Tibet sebenarnya. Seandainya cincin tidak lepas dari jari saya, sudah pasti saya dan isteri saya jadi raja Tibet, dan raja Nayaman selamanya. Tetapi nasib buruk sudah terlanjur menimpa kami berdua. Kami berdua sudah tak berdaya lagi. Oleh karena itu, kami minta ampun beribu-ribu ampun, dan jangan dibunuh.”
“Kalian berdua kami perkenankan hidup.” jawab raja.
“Aku tidak akan menghukum kalian, sebab kalian sudah dihukum oleh kejahatan kalian sendiri. Kalian boleh tinggal di Tibet, sambil menyaksikan orang yang kalian celakakan. Kalian jadi tua bangka, semua harapan kalian berantakan, kalian akan hidup dalam penyesalan dan rasa malu luar biasa. Kejahatan kalian yang mencelakakan diri kalian. Kalian ingin memisahkan aku dengan Dilara. Tetapi aku dan Dilara akan hidup bahagia dalam cinta abadi. Aku dan Dilara akan jadi raja dan ratu Tibet dan kerajaan Nayaman. Kalian sebaliknya akan jadi cemoohan orang dan hidup terbenci. Itulah neraka hidupmu!”
Raja segera berangkat mencari Dilara. Baginda diiringkan pegawai-pegawai istana dan para pejabat tinggi. Dilara ditemukan di rumah miskin, tempat Ali jadi pelukis. Dilara sedang mencuci pakaian. Dilara segera memeluk raja, tanpa mencuci tangan lebih dulu. Kebahagiaan mereka berdua tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Begitu bahagia Dilara, sehingga ia melupakan segala penderitaan masa lalu.
Dilara segera dipindah ke istana, dan tetap menjadi ratu Tibet dan Nayaman. Raja dan Dilara hidup bahagia sampai akhir hidupnya. Mereka memerintah dengan ramah dan bijaksana. Rakyat mencintai mereka berdua. Kerajaan Tibet dan Nayaman tenteram sejahtera, makmur dan aman.
No comments:
Post a Comment