Ciung Wanara
Dahulu kala di negara Galih Pakuan, bertahtalah seorang raja bernama Sang Permana di Kusuma. Negaranya subur makmur tak kurang suatu apa. Tidak heran jika negara ini sangat termashur. Baginda mempunyai dua orang isteri. Isteri yang pertama bernama Naganingrum, sedangkan yang kedua bernama Dewi Pangrenyep.
Baginda Sang Permana di Kusuma telah lama memohon kepada Tuhan agar diberi putera, tapi telah sekian lama, kedua isterinya tidak mengandung. Sekalipun baginda telah memohon dengan tekun, tapi permohonannya belum terkabul juga.
Sang Baginda mempunyai seorang menteri yang sangat disayanginya bernama Aria Kebonan. Seorang menteri yang menjadi kepercayaan baginda. Tidak mengherankan jika Aria Kebonan dapat keluar masuk istana dengan bebasnya.
Pada suatu hari, ketika sang Baginda sedang berbaring di kamar tidurnya, Aria Kebonan datang ke istana untuk menghadap kepada sang Baginda. Ketika Aria Kebonan mengetahui baginda sedang beristirahat, ia tidak jadi menghadap. Hatinya sangat menyesal tidak dapat langsung menghadap kepada rajanya.
Karena menyangka baginda sedang tidur, Aria Kebonan mengeluh, "Alangkah senangnya menjadi seorang raja. Segalanya serba dilayani. Tidak seperti diriku ini, sekalipun telah bekerja keras, tapi tak bertemu dengan kesenangan. Alangkah bahagianya jika aku bisa menjadi raja."
Sang raja yang mendengar keluhan Aria Kebonan, segera memanggilnya. Aria Kebonan yang mengira baginda tak mendengar keluhannya segara datang menghadap dan menyembah di hadapan rajanya.
"Kau ingin menjadi raja, Aria Kebonan?"
Aria Kebonan terkejut bukan kepalang, ia tak menyangka raja mendengar keluhannya. Karena merasa bersalah, Aria Kebonan tak dapat menjawab pertanyaan baginda.
"Jika benar-benar kau ingin menjadi raja, baiklah, aku akan memberikan kerajaanku, asalkan kau dapat menjalankan pemerintahan dengan adil dan jujur. Aku hendak pergi bertapa. Aku menitipkan kdua permaisuriku. Ingat, kau harus bertindak bijaksana selaku seorang raja," kata baginda.
"Mohon ampun Tuanku atas kesalahan hambamu ini. Tapi jika sekiranya memang baginda percaya dan bersedia menyerahkan kerajaan Galih Pakuan ini kepada hamba, sudah tentu hamba akan mengikuti pesan baginda," jawab Aria Kebonan.
"Syukurlah jika kau bersedia dan merasa sanggup. Mulai malam ini, dengan disaksikan oleh si Lengser, aku serahkan kerajaanku. Namamu sekarang kuganti menjadi Raden Galuh Barma Wijaya Kusuma."
Setelah serah terima, baginda segera bersemadi dan lenyaplah baginda dari hadapan Aria Kebonan dan Lengser. Di kemudian hari, raja Sang Permana di Kusuma, menjadi seorang brahmana bernama Ajar Sukaresi.
Aria Kebonan sangat gembira. Ia berganti nama menjadi Raden Galuh Barma Wijaya Kusuma. Sekarang ia telah menjadi raja yang kaya. Sedangkan Lengser kawannya sesama menteri, sekarang harus menyembah kepadanya.
"Lengser, sekarang juga kau harus memukul gong, dan umumkan kepada rakyat, bahwa Raja Sang Permana di Kusuma telah menjadi muda kembali. Dan ingat Lengser, kau dilarang membuka rahasia, jika jiwamu ingin selamat," kata raja yang baru ini.
Lengser dengan hati agak kesal meninggalkan rajanya untuk memukul gong. Dengan berjalan kaki, Lengser memukul gong sambil mengumumkan, bahwa rajanya telah berubah menjadi muda kembali. Rakyat Galih Pakuan semua percaya, karena mereka pun mengetahui, rajanya seorang yang sakti.
Raja Galih Pakuan yang baru, merasa dirinya berkuasa. Ia Telah lupa pada pesan-pesan Sang Permana di Kusuma. Tindakannya kejam.
Pada suatu hari, Naganingrum dan Dewi Pangrenyep telah datang menghadap. Maksud kedatangan kedua permaisuri baginda akan menceritakan tentang impian mereka semalam.
"Tadi malam, kami bermimpi. Mimpi kami berdua ternyata sama. Kami bermimpi kejatuhan bulan. Bulan itu jatuh ke atas pangkuan kami. Menurut seorang brahmana bernama Ajar Sukaresi, kami berdua akan mendapat putera."
Sudah tentu baginda terkejut. Kemudian ia menyuruh Lengser memanggil Ajar Sukaresi di gunung Padang. Tidak diceritakan perjalanan Lengser, Brahmana sakti yang bernama Ajar Sukaresi segera datang menghadap.
Baru saja Ajar Sukaresi menghadap. Baginda yang hendak mempermalukan Ajar Sukaresi telah siap-siap dengan tipu dayanya. Baginda telah menyuruh kedua permaisurinya memasang kuali pada perutnya, agar tampak seperti sedang mengandung.
"Coba katakan, apakah kedua permaisuriku ini sedang hamil atau tidak?" tanya baginda.
"Benar hamil, Tuanku," jawab Ajar Sukaresi tanpa ragu.
"Coba katakan laki-laki atau perempuan anak-anakku itu?"
"Menurut penglihatan hamba yang bodoh, putera Baginda keduanya laki-laki."
Alangkah marah baginda. Kuali yang diikatkan pada perut kedua istrinya segera diperlihatkan. Ajar Sukaresi diam saja. Rupanya kemarahan baginda tidak sampai di situ. Segera ia menyepak kuali itu jauh-jauh. Di kemudian hari, desa tempat jatuhnya kuali itu disebut Desa Kawali. Tiba-tiba baginda mencabut keris dan menikamkannya kepada Ajar Sukaresi. Tapi ajaib, kerisnya malah bengkok.
Baginda yang sangat terkejut melihat kejadian itu, untuk sesaat diam saja. Ki Ajar Sukaresi segera bersemadi. Tubuhnya segera jatuh ke lantai. Sedangkan nyawanya kembali ke gunung Padang. Di kemudian hari, Ki Ajar Sukaresi akan menjadi ular naga bernama Nagawiru, karena ular naga tersebut berwarna biru.
Apa yang dikatakan oleh Ajar Sukaresi ternyata benar. Kedua permaisuri baginda benar-benar hamil. Setelah sembilan bulan Dewi Pangrenyep melahirkan seorang putera. Anak laki-laki ini oleh baginda diberi nama Aria Banga. Sedangkan Naganingrum belum melahirkan. Naganingrum telah hamil sepuluh bulan, tapi belum ada tanda-tanda akan melahirkan.
Pada suatu hari, raja merasa heran, karena sudah sepuluh bulan, Naganingrum hamil, tapi belum melahirkan. Baginda datang ke tempat Naganingrum hendak menjenguk isterinya. Ketika baginda datang, nampak Naganingrum sedang menangis. Karena merasa kasihan, baginda menghiburnya. Naganingrum agak senang juga hatinya.
Ketika itu udara sangat nyaman. Baginda tak sadar tertidur di samping Naganingrum. Di dalam tidurnya baginda mendengar suara yang berkata, "Hai raja lalim! Kau telah menyiksa Ajar Sukaresi yang tak berdosa. Kelak kau akan menerima balasan."
Sudah tentu baginda sangat terkejut. Ia buru-buru bangun. Pada mulanya baginda menyangka suara yang didengarnya adalah suara Naganingrum. Tapi Naganingrum mengatakan, bahwa suara itu datang dari perutnya yang gendut.
Sepulang dari tempat Naganingrum, baginda merasa tidak tenang. Ia telah memanggil beberapa orang ahli nujum. Semua ditanyai tentang kandungan Naganingrum.
"Rupanya anak yang dikandung oleh permaisuri Naganingrum, seorang putera yang kelak akan membahayakan baginda, " kata beberapa nujum kepada baginda.
Mendengar keterangan ini, baginda sangat marah. Hari itu juga Naganingrum diusir dari istana dan ditempatkan di luar kota.
Pada suatu hari, Dewi Pangrenyep dipanggil oleh baginda. Dewi Pangrenyep segera menghadap. Ia segera menyembah kepada baginda.
"Pangrenyep, puteramu Aria Banga akan kujadikan penggantiku kelak," kata baginda.
Dewi Pangrenyep sangat gembira mendengar sabda baginda.
Lalu baginda berkata, "Tapi jika Naganingrum melahirkan, puteranya harus kau hanyutkan di sungai."
Dewi Pangrenyep menerima perintah suaminya. Segera ia mengatur siasat. Semua dukun beranak dilarang membantu Naganingrum melahirkan. Semua harus meninggalkan rumahnya, bila Naganingrum melahirkan.
Setelah hamil satu tahun, Naganingrum mencari dukun beranak. Tapi tak seorang pun yang dijumpainya. Semua telah pergi atas perintah Dewi Pangrenyep yang dengki itu. Dewi Pangrenyep yang mendengar Naganingrum akan melahirkan, datang pura-pura hendak menolong. Naganingrum belum tahu cara-cara orang melahirkan. Telinganya ditutup dengan kapas. Sedangkan matanya ditutup dengan malam pelekat yang terdapat pada sarang tawon. Tangannya diikat. Naganingrum yang tidak mengerti menurut saja.
Tak berapa lama, Naganingrum melahirkan seorang anak lelaki yang molek parasnya. Bayi tersebut cepat-cepat dimasukkan ke dalam kandaga oleh Dewi Pangrenyep. Kandaga ini diberi sebutir telur ayam. Setelah itu, kandaga bayi dihanyutkan di sungai Citanduy. Sedangkan pengganti bayi yang dilaporkan kepada raja adalah seekor anak anjing.
Baginda yang mendengar laporan Dewi Pangrenyep, sangat marah. Ia memerintahkan Lengser agar membunuh Naganingrum. Lengser tidak sampai hati membunuh Naganingrum. Ia hanya menyembunyikannya di sebuah hutan.
Kandaga yang berisi bayi itu hanyut masuk sungai Cipamali. Kandaga itu tersangkut pada bubu, alat penangkap ikan yang dipasang oleh seorang kakek, yang tinggal dekat sungai itu.
Pagi-pagi sekali, kakek Balangantrang dan nenek segera menuju ke bubu mereka. Semalam nenek Balangantrang telah bermimpi kejatuhan bulan. Menurut kepercayaan mereka, mimpi demikian berarti akan mendapatkan rejeki.
Ketika keduanya tiba di tepi sungai, mereka terkejut, karena pada bubuya tersangkut sebuah kandaga. Dan ketika kandaga tersebut dibuka, ternyata berisi bayi yang cakap. Kakek dan nenek Balangantrang senang sekali. Bayi tersebut segera dibawa pulang ke gubuk mereka di dalam hutan.
Bayi yang cakap itu mendapat perawatan penuh kasih sayang. Tidak mengherankan jika bayi itu tumbuh dengan sehat.
Beberapa tahun kemudian, bayi yang diketemukan dalam sungai sekarang telah berusia tujuh tahun. Kakek dan nenek sangat sayang kepadanya.
Pada suatu hari, anak tersebut ikut kakek Balangantrang mencari kayu bakar. Kayu tersebut akan dijual ke kota. Sebab mata pencaharian kakek memang menjual kayu.
Ketika kakek sedang asyik membelah kayu, anak si kakek melihat seekor burung. Burung itu sedang melompat-lompat di atas dahan.
"Burung apa itu, Kek?"
"Burung Ciung namanya," kata kakek.
"Bagus ya, Kek!"
"Ya," jawab kakeknya yang terus asyik dengan pekerjaannya.
Dari sebuah pohon, datang melompat-lompat seekor binatang yang tak dikenal anak itu. Maka bertanyalah ia kepada kakek.
"Binatang apakah itu, Kek?"
"Itu Wanara (monyet)," kata kakek.
"Kek, alangkah bagusnya, jika nama kedua binatang itu digabung dan menjadi nama aku," kata anak itu.
"Wah bagus! Bagus sekali! Jadi namamu Ciung Wanara!" kata Kakek senang sekali.
Setelah mendapat kayu yang cukup banyak, pulanglah keduanya bersama-sama.
Pada suatu hari, Ciung Wanara meminta seekor ayam adu kepada kakek Balangantrang. Tapi kakek sangat menyesal tak dapat memenuhi permintaan Ciung Wanara.
"Ini Nak, ada sebutir telur ayam, hanya ini yang kita miliki. Telur ini adalah telur yang dihanyutkan bersama-sama, ketika kau masih bayi dalam kandaga. Untuk menetaskan telur ini, pergilah kau ke gunung Padang, dan mintalah bantuan Nagawiru," kata kakek.
Ciung Wanara sangat senang mendengar petunjuk kakek dan segera berangkat ke gunung Padang mencari Nagawiru. Setelah telur menetas dan menjadi seekor ayam jago, Ciung Wanara senang sekali.
Sekembalinya dari gunung Padang, Ciung Wanara bertanya kepada kakek Balangantrang, siapa sebenarnya ayah dan ibunya. Mula-mula, kakek atak mau menjawab. Tapi akhirnya, kakek Balangantrang menerangkan, bahwa ayah Ciung Wanara beranama Sang Permana di Kusuma, Raja Galih Pakuan. Sedangkan yang sekarang menjadi raja, bukan ayahnya.
Setelah mengetahui asal usulnya, Ciung Wanara pamit pada kakek dan nenek Balangantrang yang telah memeliharanya. Kakek dan nenek sangat sedih ditinggalkan anak asuhannya.
"Aku akan segera kembali menjemput kakek dan nenek, setelah semua urusan selesai," kata Ciung Wanara.
"Baiklah, Nak! Hati-hatilah kau menjaga diri," pesan nenek.
Setelah menerima restu dan membawa ayam aduannya, Ciung Wanara berangkat menuju negeri Galih Pakuan.
Raja Galih Pakuan sangat terkejut mendengar ada seoran anak muda mengacau di depan istananya. Pemuda tersebut sangat tampan parasnya. Ciung Wanara menyampaikan maksud hatinya mengapa ia membuat gaduh. Ia ingin menghadap baginda.
Baginda segera memerintahkan para pengawal agar Ciung Wanara menghadap. Setelah berhadapan dengan raja Galih Pakuan, Ciung Wanara menyembah.
"Hai Anak Muda! Siapa namamu dan dari mana asalmu?"
"Nama hamba Ciung Wanara, putera kakek dan nenek Balangantrang dari desa Geger Sunten," jawab Ciung Wanara dengan lantang.
"Apa maksudmu kemari?"
"Begini, Tuanku. Hamba mempunyai seekora ayamsabung yang aneh. Induknya mengandung selama setahun. Sarangnya sebuah kandaga. Lebih aneh lagi, sebelum menetas, telur ini pernah hanyut di sungai," kata Ciung Wanara.
Baginda teringat pada Naganingrum yang mengandung selama setahun. Sedangkan Dewi Pangrenyep sudah mengira, bahwa yang sekarang berada di hadapannya adalah putera Naganingrum. Kedatangannya hendak membalas dendam.
"Ayamku bernama si Jelug. Ayamm pasti kalah. Apa taruhannya?" tanya baginda Galih Pakuan.
"Jika ayam hamba yang kalah, hamba bersedia menyerahkan nyawa hamba. Tapi sebaliknya, jika ayam baginda yang kalah, maka hamba mohon diberi separuh kerajaan Galih Pakuan," kata Ciung Wanara.
Karena raja Galih Pakuan merasa yakin, bahwa ayam jagonya akan menang, taruhan Ciung Wanara disetujui. Baginda segera membawa ayamnya ke halaman dan diikuti oleh Ciung Wanara.
Setelah segala perjanjian disetujui, mulailah kedua ayam jantan itu dilepaskan untuk diadu. Terjadilah perkelahian yang seru antara ayam Ciung Wanara dengan milik baginda Galih Pakuan. Ayam milik baginda ternyata kalah, mati seketika kena patuk ayam Ciung Wanara.
Sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui, Ciung Wanara mendapat negara sebelah Barat. Sedangkan sebelah Timur oleh baginda diserahkan kepada Aria Banga. Masing-masing bergelar Prabu.
Pada suatu hari, Ciung Wanara yang telah membuat penjara besi, memanggil ayah dan ibu tirinya, supaya memeriksa penjara. Baginda dan Dewi Pangrenyep tidak merasa curiga. Keduanya masuk ke dalam penjara. Ciung Wanara segera menguncinya. Aria Banga sangat marah, ketika mendengar ayah dan ibunya dipenjarakan.
Terjadilah perkelahian yang seru antara Ciung Wanara dengan Aria Banga. Tak seorangpun yang mengalah. Perkelahian dilakukan terus menerus siang dan malam.
Tiba-tiba, Ciung Wanara dapat menangkap Aria Banga. Kemudian melemparkannya ke seberang sungai Cipamali. Dan insyaflah Aria Banga, bahwa Ciung Wanara bukan lawan yang ringan. Ia mengaku kalah. Sungai Cipamali ditetapkan sebagai batas negara. Sebelah Timur milik Aria Banga dan sebelah Barat milik Ciung Wanara.
Ciung Wanara lalu menendang penjara besi yang berisi raja Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep. Penjara itu jatuh pada sebuah desa yang sampai sekarang terkenal sebagai desa Kandangwesi (Penjara Besi).
Dan Ciung Wanara segera menjemput ibunya Dewi Naganingrum juga kakek dan nenek Balangantrang. Mereka semua hidup berbahagia di dalam istananya yang kemudia bernama Pakuan Pajajaran.
No comments:
Post a Comment