Yakub, Pembantu Tukang Sepatu
Yakub adalah seorang pembantu tukang sepatu. Majikannya jahat dan pemarah. Setiap hari Yakub dipukulnya.
Bila ia menunjukkan muka yang tak menyenangkan, dia ditampar. Bila ia merintih-rintih kesakitan, ia ditampar sekali lagi.
Tentu saja Yakub sangat jengkel. Dia berusaha bekerja sebaik-baiknya supaya terhindar dari perlakuan jahat majikannya, tapi sia-sia. Walaupun bekerja dengan rajin, ia dipukul juga. Makin lama Yakub makin kesal.
Suatu hari sepasang sepatu yang sedang dikerjakannya dibantingnya kuat-kuat ke tanah seraya berkata, "Aku tak tahan lagi. Aku tak sudi di sini lagi. Lebih baik ke hutan saja dan membuat sepatu untuk rusa dan kijang!"
Mendengar ini, majikan yang jahat itu terbahak-bahak. Sambil mengucapkan selamat jalan, dia memukul lagi kepala Yakub.
Dengan kesal dan sakit, Yakub menuju ke hutan. Binatang-bintang yang cerdik segera mengerti akan pentingnya memiliki sepatu. Jadi mereka tak perlu lagi khawatir terhadap duri-duri tajam yang panjang.
Mendengar penjelasan dari rusa-rusa yang besar, tertariklah seluruh penghuni hutan itu. Mereka berbondong-bondong memesan sepatu pada Yakub. Semua ingin sepatu baru. Masing-masing ingin sepatu yang lebih bagus daripada yang lain.
Senang benar Yakub tinggal di hutan itu. Karena binatang-binatang itu tak kenal uang, mereka membayar Yakub dengan bahan makanan.
Tupai-tupai dan burung-burung membawakan buah-buahan. Rusa dan kijang menggali umbi-umbi manis serta cendawan.
Demikianlah Yakub hidup dengan senang hati di tengah hutan. Ia bertambah besar dan gemuk.
Tempat kerja Yakub itu berada tepat di bawah sebatang pohon cemara yang tinggi. Di situlah ia duduk setiap hari, memalu dan memaku sepatu. Bunyi ketukannya yang memantul ke pohon-pohon sangat mengasyikkan.
Suatu hari nampak olehnya seekor tupai. Binatang yang mungil itu sedang duduk di sebuah cabang di atas kepalanya. Yakub benar-benar kagum melihatnya. Bulunya luar biasa halusnya, putih bersih seperti salju. Kedua bola matanya hitam dan besar. Ekornya yang berbulu tebal itu diletakkannya di atas salah satu kaki depannya. Kelihatannya seperti seorang puteri raja dengan gaun pesta dansanya yang menakjubkan.
"Ahhhh!" terlontar kata-kata Yakub.
Lalu ia berkata, "Alangkah cantiknya. Maukah kau turun ke sini?"
Tupai itu pun melompat turun. Perlahan-lahan ia mendekati Yakub. Yakub tertegun. Tupai seindah ini belum pernah dilihatnya.
"Aku ingin sepasang sepatu dari kulit yang paling halus dan berwarna merah!" kata tupai itu.
Suaranya sangat merdu.
"Wah, di mana aku bisa mendapatkan kulit berwarna merah nona?"
"Ah...., kau kan pemuda yang pandai. Tentu kau bisa mencarinya. Sepatu merah tentu cocok dengan pakaianku yang putih ini bukan?" ujar tupai itu.
"Ya, betul indah, tapi apakah nona mungkin seorang puteri raja?" kata Yakub.
Dua butir air mata mengambang di sudut mata tupai yang indah itu, disertai tarikan napas panjang. Yakub merasa iba. Dia pergi duduk di dekat tupai itu. Kemudian meminta agar tupai itu mau menceritakan kesedihannya.
"Dugaanmu tepat," tupai cantik itu menjelaskan lalu menangis tersedu-sedu.
"Sebenarnya aku adalah seorang puteri raja!"
"Puteri raja tupai! Memang nyata sekali kelihatan karena kau sangat cantik," kata Yakub.
"Bukan!" teriak tupai itu dengan marah.
"Aku puteri raja. Puteri manusia! Karena itulah aku menangis!"
Karena teriakan itu Yakub juga menjadi jengkel.
Dia berteriak membalas, "Kau tentu bohong. Kalau benar-benar kau puteri raja, mengapa kulitmu berbulu dan serupa dengan tupai?"
"Itulah soalnya, aku telah disihir. Tapi walaupun kulitku ini putih bersih lagi indah, aku lebih suka menjadi manusia lagi dan tinggal bersama ayahku di istana!" jawab tupai itu dengan sedih.
Bagaikan disambar petir, Yakub terlompat dari duduknya.
"Kalau begitu, kaulah puteri raja kami yang menghilang, dan sangat membuat hati baginda begitu berduka."
"Benar," jawab tupai itu, lalu mengisahkan nasibnya.
"Setahun yang lalu raksasa yang jahat datang ke istana. Ia meminang puteri raja. Tapi puteri raja menjerit-jerit ketakutan melihat raksasa bermuka buruk itu."
"Melihat itu raja meminta dengan hormaat agar raksasa mencari puteri lain yang tidak takut melihat wajahnya. Tapi raksasa itu marah. Ia mengancam akan membalas dendam."
"Lalu ia pergi mendapatkan burung gagak, tukang sihir yang jahat. Melalui mantera dan sihir, puteri raja pun segera berubah menjadi seekor tupai mungil, putih, bersih dan istimewa."
Yakub termenung mendengar kisah tersebut. Sementara ia termenung dan merenung-renung itu, tupai mungil menutupi mukanya dengan ekornya. Ia menangis lagi.
"Sekarang, yakinkah puteri bahwa kekuatan sihir bisa dilenyapkan?" Yakub akhirnya bersuara.
"Bisa, tapi itu bukan pekerjaan yang mudah. Baginda raja telah mengirimkan banyak pasukan untuk membinasakan raksasa jahat itu. Tapi mereka tak bisa melawannya. Dia cukup menghalau mereka dengan potongan-potongan batu karang."
"Sudah pasti, puteri, orang tak sanggup bertarung dengan raksasa. Tetapi mungkin orang bisa mengalahkannya dengan akal. Apa hadiahnya kalau aku berhasil menundukkannya dan puteri jadi manusia kembali?"
"Aku bersedia jadi isterimu dan kau akan jadi pangeran."
"Baiklah! Aku berangkat sekarang," kata Yakub.
Segera ia merapikan tempat kerjanya itu. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada tupai, ia pun berangkatlah.
Raksasa itu tinggal di dalam sebuah gua. Ia sedang tidur berjemur di depan gua ketika Yakub sampai. Dengkurnya sangat dahsyat, sehingga pohon-pohon bergoyang ke sana ke mari.
Yakub terus mendekati dengan sangat hati-hati. Ia berjalan berkeliling sambil memperhatikan tubuh raksasa dengan cermat.
Seluruh tubuhnya terbungkus oleh pakaian dari kulit binatang yang tebal dan keras, tapi kakinya tak terlindung sama sekali.
Melihat itu Yakub bersiul karena girang. Dari tas yang disandangnya dikeluarkannya sebuah botol. Cairan dalam botol itu biasa digunakan Yakub untuk melembutkan dan menipiskan kulit-kulit sepatu.
Perlahan-lahan ia tuangkan cairan itu ke telapak kaki raksasa. Esok harinya ia kembali ke situ. Ketika raksasa itu tidur, ia menuang lagi sebanyak mungkin cairan ke telapaknya.
Setelah yakin bahwa kulit telapak kaki raksasa itu sudah lembut dan menipis, Yakub mengumpulkan batu-batu tajam serta duri-duri yang panjang. Batu-batu tajam dan duri-duri itu ditebarkan di sepanjang jalan serta tempat-tempat yang biasa dilalui raksasa bila hendak berburu. Sesudah itu ia bersembunyi di dalam semak-semak. Dan berdebar-debar menanti apa yang akan terjadi.
"Aduh, betapa malangnya nasibku ini!" Tak lama kemudian terdengarlah jeritan raksasa itu.
"Setiap melangkah kakiku seperti terkoyak-koyak. Aduh sakitnya!"
Yakub pun melompaat ke luar dari tempat persembunyiannya. Sambil bersiul ia berlari sekencang-kencangnya menuju raksasa.
"Heee, berhenti dulu!" teriak raksasa.
"Bagaimana jalanmu bisa secepat itu?"
"Karena aku bergembira!" sahut Yakub.
"Tidakkah kakimu sakit kena duri dan batu-batu tajam yang tersebar itu?"
"Di mana? Aku tak melihat duri dan batu tajam. Lagipula aku memakai sepatu!" jawab Yakub bangga.
"Sepatu?" tanya raksasa sambil mengangkat Yakub tinggi-tinggi untuk melihat kedua telapak kakinya.
"Dari mana kau mendapatkannya?"
"Aku membuatnya sendiri. Aku tukang sepatu!" jawab Yakub.
"Bisa kau buatkan untuk juga?" tanya raksasa.
Yakub mengerutkan keningnya.
"Kakimu terlalu besar, pak raksasa," katanya setelah berpikir sejenak.
"Sangat banyak kulit yang dibutuhkan. Lagi pula ini pekerjaan besar dan rumit!"
"Buatlah lekas," seru raksasa itu.
"Berapapun kubayar."
Setapak demi setapak, Yakub menjauhkan diri.
Sesudah agak jauh, ia berteriak, "Aku tak butuh uang. Aku cuma inginkan agar tupai putih kau jadikan manusia lagi. Ia puteri raja kami."
"Tidak!" teriak raksasa dengan suara parau.
Ia mau menangkap Yakub, tapi duri-duri tajam semakin menusuk telapaknya. Sakitnya luar biasa. Ia duduk di pinggir jalan lalu menyumpah-nyumpahi Yakub, batu-batu dan duri-duri serta seluruh dunia.
Tapi Yakub tidak takut. Malam harinya ia menyembarkan lebih banyak lagi duri-duri dan batu tajam. Demikianlah akhirnya raksasa itu tak berani berjalan lagi. Ia makin lemah karena kelaparan dan makin payah karena luka-luka tusukan. Dia merintih-rintih tak berdaya.
Karena sengsaranya, ia berteriak keras dari tengah hutan, "Yakub, Yakub, buatkan aku sepatu, akan kukembalikan tuan puterimu....!"
Mulailah Yakub mengumpulkan kulit sebanyak-banyaknya untuk membuat sepatu raksasa itu. Siang malam ia terus bekerja. Memalu dan mengetuk-ngetuk. Binatang-binatang besar kecil datang menengoknya. Butir-butir keringat terus mengalir di dahinya.
Sesudah sepatu itu jadi, raksasa pergi ke tempat burung gagak. Lalu tukang sihir ini mengucapkan mantera-mantera dan mengacungkan tongkatnya pada kepala tupai putih. Tak lama kemudian meletuplah ujung tongkat sihirnya disertai asap bergulung-gulung.
Kepulan-kepulan asap terus juga membubung, makin lama makin menipis. Tatkala asap yang menipis itu sudah lenyap sama sekali, tupai mungil itu pun berubah. Ia berubah kembali menjadi manusia, yaitu puteri raja yang sangat jelita.
Bersama Yakub ia meninggalkan hutan, kembali ke istana. Baginda merangkulnya dan menangis karena gembira. Tak lama kemudian mereka mengadakan pesta pernikahan puteri raja itu dengan Yakub. Mereka hidup dengan tenang.
Raksasa juga senang, karena duri dan batu tajam tak dapat menembusi sepatunya yang sangat tebal itu. Lain halnya dengan bekas majikan Yakub yang jahat itu. Sejak Yakub pergi, ia tak pernah mempunyai pembantu yang tahan lama.
Kadang-kadang pembantunya dipecatnya karena malas dan bodoh. Kadang-kadang ada pembantu yang pandai, tapi si pembantu segera keluar karena tak mau lagi bekerja pada majikan yang jahat dan pemarah itu. Ia sering rugi dan setiap hari selalu kesal.
No comments:
Post a Comment