Kambing, Kelinci Dan Ayam Jago
Suatu waktu, hiduplah seorang laki-laki tua dengan isterinya yang sudah tua, anak perempuannya dan seekor kambing putih.
Anak perempuan itu harus menjaga kambing. Kambing itu makan sepanjang hari dengan tidak henti-hentinya.
Di pinggir ladang ia makan rumput hijau segar. Di tepi hutan ia makan daun-daun hijau yang lunak. Di jurang ia makan sayur-sayuran yang hijau dan muda.
Malam harinya anak perempuan itu bertanya, "Apakah sudah kenyang kenyang kambingku?"
Kambing itu menjawab, "Kenyanglah aku sudah, satu daunpun tidak suka tambah. Mbekkk... mbekkk...!"
Kemudian mereka pulanglah.
Ayahnya yang sudah tua itu menunggu di pintu.
Ia mengelus-elus punggung kambing itu dan bertanya, "Apakah engkau sudah kenyang kambingku?"
Kambing mengembek-embek, "Bagaimana dapat kenyang begitu? Hanya diantar ke kayu dan batu-batu! Daunpun tidak ada. Sayur-sayur tak ada. Rumputpun tak ada!"
Langsung sang ayah menjadi marah. Ia mengambil tongkat dan mengusir anak perempuan itu dari rumah. Esok harinya isterinya yang tua itu harus menjaga kambing.
Kambing itu makan tidak henti-hentinya sepanjang hari. Di pinggir ladang ia makan rumput hijau dan segar. Di tepi hutan ia makan daun-daun hijau yang lunak. Di jurang ia makan sayur-sayuran hijau dan muda.
Pada malam hari isterinya bertanya, "Apakah sudah kenyang, kambingku?"
Kambing itu menjawab, "Kenyanglah aku sudah, satu daunpun tidak suka tambah. Mbekkk... mbekkk...!"
Dan kambing itu dibawa pulang oleh isteri yang tua itu. Si suami telah menunggu di muka pintu.
Ia mengelus-elus punggung kambingnya dan bertanya, "Apakah engkau sudah kenyang, kambingku?"
Kambing mengembek-embek, "Bagaimana aku dapat kenyang begitu? Hanya diantar ke kayu dan batu-batu! Daunpun tak ada. Sayur-sayur tak ada. Rumputpun tak ada!"
Langsung suaminya menjadi marah. Ia mengambil tongkat dan mengusir isterinya.
Esok harinya orang tua itu sendiri menjaga kambingnya. Kambing itu makan tidak henti-hentinya sepanjang hari. Di pinggir ladang ia makan rumput hijau dan segar. Di tepi hutan ia makan daun-daun hijau dan lunak. Di jurang ia makan sayur-sayuran yang hijau dan muda.
Malam hari, orang tua itu bertanya, "Apakah sudah kenyang kambingku?"
Kambing menjawab, "Kenyanglah aku sudah. Satu daunpun tak suka tambah. Mbekkk... mbekkk...!"
Kemudian mereka pulang. Di kandangnya ia sekali lagi mengelus-elus kambing pada punggungnya dan berkata, "Hari ini engkau benar-benar kenyang bukan, kambingku?"
Kambing mengembek-embek, "Bagaimana aku dapat kenyang begitu? Hanya diantar ke kayu dan batu-batu! Daun-daun tak ada. Sayur-sayur tak ada. Rumputpun tak ada!"
Si orang tua itu menjadi gugup dan berteriak, "Bukankah engkau sepanjang hari makan saja? Di pinggir ladang kau makan rumput segar. Daun-daun lunak kau makan di tepi hutan! Sayur-sayur muda di jurang!"
Tetapi kambing itu tetap mengembek-embek, "Mbekkk... mbekkk...!!! Diantarlah aku ke kayu dan batu. Daun-daun tidak...."
Sekarang orang tua itu menjadi marah dan sangat marah. Diikatnya kambing itu kuat-kuat. Kemudian ia mulai mengasa pusaunya. Cis, cas, cis, cas, bunyi pisau di batu asah.
Si kambing mendengar bunyi itu. Bulu-bulu kuduknya berdiri. Cis, cas, cis, cas....
Karena ketakutan kambingi tu berontak, berusaha melepaskan diri dari ikatannya. Ia lari secepat kilat. Orang tua itu menjatuhkan pusaunya dan mengejar kambing itu. Tetapi kambing itu lebih cepat.
Dengan sedih hati orang tua itu pulang ke rumah. Begitulah nasibnya. Isterinya pergi. Anaknya pergi. Kambingnya pergi. Di lantai terletaklah pisaunya. Orang tua itu menutup mukanya dan menangis.
Dan kambingnya?
Kambing itu lari dan lari terus. Akhirnya ia sampai di sebuah rumah kecil yang pintunya terbuka. Kambing itu masuk dan lompat ke atas tungku masak. Di situ ia duduk terengah-engah.
Di rumah kecil itu tinggal seekor kelinci. Kelinci itu pulang dan ia mendengar kambing itu terengah-engah. Ia terkejut. Berdebar-debar hatinya yang sudah ciut itu. Ia membuka dan menutup lagi pintunya dengan gerendel. Dan ia berdiri lagi di luar rumahnya sendiri.
Siapa yang datang di situ?
Ayam Jago datang. Ia datang dengan langkah tegap dan mengenakan sepatu boot berwarna merah. Pacu (Barang tajam atau roda kecil bergigi yang dipasang pada tumit sepatu untuk menggertak kuda.) emasnya gemerincing. Di pundaknya tergantung sebuah arit.
Ayam Jago melihat kelinci yang malang itu. Kelinci itu dengan gemetar duduk di bawah semak-semak dan menangis.
"Hai, kelinci! Mengapa engkau menangis? Mengapa engkau begitu gemetar?"
"Bagaimana aku tidak menangis dan gemetar begini? Di rumahku ada seekor binatang besar dan mengerikan. Ia berbaring di atas tungku dan gemeretuk giginya! Binatang itu mau memakan diriku. Mari kita lari, kalau tidak, ia akan memakan kita berdua!"
Tetapi Ayam Jago dengan sepatu boot merah dan pacu emasnya tidak gentar. Ia melangkah ke pintu rumah dan ia bunyikan pacunya kuat-kuat.
Kemudian ia mengambil arit dari pundaknya dan mulai mengasahnya. Cis, cas, cis, cas, bunyinya arit di atas batu asah.
Kambing mendengar bunyi itu. Bulu-bulunya di kuduk berdiri. Ia melompat dari tungku. Karena ketakutan, ia bingung dan berputar-putar di bilik itu. Dan menabrak meja dan bangku sampai semuaya jatuh berantakan. Akhirnya ia melompat ke pintu belakang, lari ke luar, jatuh ke dalam parit dan patahlah lehernya.
Baru kelinci berani masuk ke dalam rumahnya. Cepat-cepat ia membereskan lagi semuanya yang sudah kacau balau.
Lalu si kelinci mengundang Ayam Jago ke dalam rumahanya. Ia menghidangkan kue dan makanan apa saja yang ada di dapurnya. Ayam Jago, si penyelamat jiwa, makan dan minum sekenyang-kenyangnya.
Jauh malam ia baru pamit, membawa aritnya dan pergi dengan langkah tegap dengan sepatu boot merah. Pacu emasnya gemerincing.
Begitu Ayam Jago berangkat, si kelinci menutup pintu rumahnya dan menguncinya dengan gerendel besar! Hari itu sungguh sangat berkesan!
Ayam jago m
Suatu waktu, hiduplah seorang laki-laki tua dengan isterinya yang sudah tua, anak perempuannya dan seekor kambing putih.
Anak perempuan itu harus menjaga kambing. Kambing itu makan sepanjang hari dengan tidak henti-hentinya.
Di pinggir ladang ia makan rumput hijau segar. Di tepi hutan ia makan daun-daun hijau yang lunak. Di jurang ia makan sayur-sayuran yang hijau dan muda.
Malam harinya anak perempuan itu bertanya, "Apakah sudah kenyang kenyang kambingku?"
Kambing itu menjawab, "Kenyanglah aku sudah, satu daunpun tidak suka tambah. Mbekkk... mbekkk...!"
Kemudian mereka pulanglah.
Ayahnya yang sudah tua itu menunggu di pintu.
Ia mengelus-elus punggung kambing itu dan bertanya, "Apakah engkau sudah kenyang kambingku?"
Kambing mengembek-embek, "Bagaimana dapat kenyang begitu? Hanya diantar ke kayu dan batu-batu! Daunpun tidak ada. Sayur-sayur tak ada. Rumputpun tak ada!"
Langsung sang ayah menjadi marah. Ia mengambil tongkat dan mengusir anak perempuan itu dari rumah. Esok harinya isterinya yang tua itu harus menjaga kambing.
Kambing itu makan tidak henti-hentinya sepanjang hari. Di pinggir ladang ia makan rumput hijau dan segar. Di tepi hutan ia makan daun-daun hijau yang lunak. Di jurang ia makan sayur-sayuran hijau dan muda.
Pada malam hari isterinya bertanya, "Apakah sudah kenyang, kambingku?"
Kambing itu menjawab, "Kenyanglah aku sudah, satu daunpun tidak suka tambah. Mbekkk... mbekkk...!"
Dan kambing itu dibawa pulang oleh isteri yang tua itu. Si suami telah menunggu di muka pintu.
Ia mengelus-elus punggung kambingnya dan bertanya, "Apakah engkau sudah kenyang, kambingku?"
Kambing mengembek-embek, "Bagaimana aku dapat kenyang begitu? Hanya diantar ke kayu dan batu-batu! Daunpun tak ada. Sayur-sayur tak ada. Rumputpun tak ada!"
Langsung suaminya menjadi marah. Ia mengambil tongkat dan mengusir isterinya.
Esok harinya orang tua itu sendiri menjaga kambingnya. Kambing itu makan tidak henti-hentinya sepanjang hari. Di pinggir ladang ia makan rumput hijau dan segar. Di tepi hutan ia makan daun-daun hijau dan lunak. Di jurang ia makan sayur-sayuran yang hijau dan muda.
Malam hari, orang tua itu bertanya, "Apakah sudah kenyang kambingku?"
Kambing menjawab, "Kenyanglah aku sudah. Satu daunpun tak suka tambah. Mbekkk... mbekkk...!"
Kemudian mereka pulang. Di kandangnya ia sekali lagi mengelus-elus kambing pada punggungnya dan berkata, "Hari ini engkau benar-benar kenyang bukan, kambingku?"
Kambing mengembek-embek, "Bagaimana aku dapat kenyang begitu? Hanya diantar ke kayu dan batu-batu! Daun-daun tak ada. Sayur-sayur tak ada. Rumputpun tak ada!"
Si orang tua itu menjadi gugup dan berteriak, "Bukankah engkau sepanjang hari makan saja? Di pinggir ladang kau makan rumput segar. Daun-daun lunak kau makan di tepi hutan! Sayur-sayur muda di jurang!"
Tetapi kambing itu tetap mengembek-embek, "Mbekkk... mbekkk...!!! Diantarlah aku ke kayu dan batu. Daun-daun tidak...."
Sekarang orang tua itu menjadi marah dan sangat marah. Diikatnya kambing itu kuat-kuat. Kemudian ia mulai mengasa pusaunya. Cis, cas, cis, cas, bunyi pisau di batu asah.
Si kambing mendengar bunyi itu. Bulu-bulu kuduknya berdiri. Cis, cas, cis, cas....
Karena ketakutan kambingi tu berontak, berusaha melepaskan diri dari ikatannya. Ia lari secepat kilat. Orang tua itu menjatuhkan pusaunya dan mengejar kambing itu. Tetapi kambing itu lebih cepat.
Dengan sedih hati orang tua itu pulang ke rumah. Begitulah nasibnya. Isterinya pergi. Anaknya pergi. Kambingnya pergi. Di lantai terletaklah pisaunya. Orang tua itu menutup mukanya dan menangis.
Dan kambingnya?
Kambing itu lari dan lari terus. Akhirnya ia sampai di sebuah rumah kecil yang pintunya terbuka. Kambing itu masuk dan lompat ke atas tungku masak. Di situ ia duduk terengah-engah.
Di rumah kecil itu tinggal seekor kelinci. Kelinci itu pulang dan ia mendengar kambing itu terengah-engah. Ia terkejut. Berdebar-debar hatinya yang sudah ciut itu. Ia membuka dan menutup lagi pintunya dengan gerendel. Dan ia berdiri lagi di luar rumahnya sendiri.
Siapa yang datang di situ?
Ayam Jago datang. Ia datang dengan langkah tegap dan mengenakan sepatu boot berwarna merah. Pacu (Barang tajam atau roda kecil bergigi yang dipasang pada tumit sepatu untuk menggertak kuda.) emasnya gemerincing. Di pundaknya tergantung sebuah arit.
Ayam Jago melihat kelinci yang malang itu. Kelinci itu dengan gemetar duduk di bawah semak-semak dan menangis.
"Hai, kelinci! Mengapa engkau menangis? Mengapa engkau begitu gemetar?"
"Bagaimana aku tidak menangis dan gemetar begini? Di rumahku ada seekor binatang besar dan mengerikan. Ia berbaring di atas tungku dan gemeretuk giginya! Binatang itu mau memakan diriku. Mari kita lari, kalau tidak, ia akan memakan kita berdua!"
Tetapi Ayam Jago dengan sepatu boot merah dan pacu emasnya tidak gentar. Ia melangkah ke pintu rumah dan ia bunyikan pacunya kuat-kuat.
Kemudian ia mengambil arit dari pundaknya dan mulai mengasahnya. Cis, cas, cis, cas, bunyinya arit di atas batu asah.
Kambing mendengar bunyi itu. Bulu-bulunya di kuduk berdiri. Ia melompat dari tungku. Karena ketakutan, ia bingung dan berputar-putar di bilik itu. Dan menabrak meja dan bangku sampai semuaya jatuh berantakan. Akhirnya ia melompat ke pintu belakang, lari ke luar, jatuh ke dalam parit dan patahlah lehernya.
Baru kelinci berani masuk ke dalam rumahnya. Cepat-cepat ia membereskan lagi semuanya yang sudah kacau balau.
Lalu si kelinci mengundang Ayam Jago ke dalam rumahanya. Ia menghidangkan kue dan makanan apa saja yang ada di dapurnya. Ayam Jago, si penyelamat jiwa, makan dan minum sekenyang-kenyangnya.
Jauh malam ia baru pamit, membawa aritnya dan pergi dengan langkah tegap dengan sepatu boot merah. Pacu emasnya gemerincing.
Begitu Ayam Jago berangkat, si kelinci menutup pintu rumahnya dan menguncinya dengan gerendel besar! Hari itu sungguh sangat berkesan!
Ayam jago m
No comments:
Post a Comment