Tanah kuburan
Panas, bringsang dan sangat- sangat tidak nyaman. Tiga kalimat itulah yang bisa dipakai untuk mendiskripsikan secara ringkas suasana rumahku saat ini, rumah yang sangat teduh dan sangat adem alias Home sweet home hampir tidak ada bekasnya sama sekali. Rasanya selalu pengin keluar dari rumah, tidak kerasan. Persoalan yang remeh-remeh bisa menjadi awal pertengkaran yang hebat diantara kami. Kami sendiri merasa heran dengan kondisi ini, rasanya semua pintu jadi tertutup, termasuk rezeki yang biasanya melimpah dari Allah SWT. Uang jadi mudah keluar, masuk sedikit keluarnya lebih banyak. Begitu seterusnya. Bahkan, tetangga yang biasanya ramah jadi kelihatan aneh. Mereka seperti ketakutan ketika melintas didepan rumah kami itu.
Ketika rapat warga beberapa hari yang lalu, masuk informasi yang bikin tambah puyeng, dengan sangat serius pak Hadi tetangga depan rumah membisikiku "..pak RT, mohon maaf ya…beberapa hari yang lalu, bapak-bapak yang sedang giliran ronda kampung melihat jelas tiga sosok pocongan masuk dan hilang di rumah bapak" katanya dengan mimik serius. "masuknya lewat atap pak" timpal mas samsul sok yakin.
Rapat RT yang seharusnya membahas masalah parkir mobil warga, jadi bergeser. Beberapa bapak yang lain juga menyampaikan info yang sama, malah pak gatot yang rumahnya mepet denganku dengan terbata-bata memberikan info tambahan "…pocongan itu muncul dari arah gang besar dan terbang masuk kerumah pak RT kira-kira pukul 11 malam, belum terlalu malam lho pak" katanya dengan bergidik sambil tangannya meraih potongan pisang goreng.
Aku cuma bisa diam, kepalaku mendadak pusing. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan rumahku. Terus apa yang diinginkan dengan diriku, pikirku dalam hati. Sebagai ketua RT, aku sudah menjalankan amanah warga dengan baik, anak dan isterikupun termasuk cekatan, dan sangat familier dengan seluruh tetangga. Jadi menurutku semua "fine-fine" saja, tapi kok jadi begini.
Belum sempat aku menemukan jawabannya, pak Hassan koordinator ketenteraman lingkungan sudah memberikan pernyataan yang membuat pertemuan jadi heboh "mungkin…ada yang tidak suka dengan pak RT, dan menginginkan pak RT pindah rumah, atau menjual rumahnya segera. Kalau pak RT mau, mbok segera sowan ke gus lutfi untuk minta penerang" katanya. "…penerang ?! baik pak, nanti saya segera sowan gus lutfi, mumpung kamis depan, beliau memberi tauziah di masjid kita" kataku mendinginkan suasana. Pertemuan warga kemudian bubar kurang lebih sekitar pukul 10 malam. Dengan wajah tegang dan takut-takut bapak-bapak itu meninggalkan balai pertemuan warga yang letaknya hanya lima rumah dari tempat tinggalku. Pos kamling yang biasanya ramai jadi sepi. Penjual tahu campur dan mie dok-dok lebih memilih jalan melingkar, menghindari gang rumahku.
Aku sendiri kemudian memilih cangkruan didepan rumah ditemani pak Gatot yang pensiunan marinir dan pak hadi. "biar saya dan pak hadi melekan disini pak RT" katanya ramah. Kami bertiga lalu ngobrol ngalor ngidul dan menghindari pembicaraan yang menjurus kearah munculnya pocongan itu. Hawa dingin di akhir bulan Desember membuat suasana malam itu agak lain. Angin yang bertiup agak kencang menerobos daun-daun yang cukup rindang di kompleks perumahan kami itu. Menjatuhkan daun-daun yang sudah tua.
Pelan tapi pasti angin kemudian bertiup makin kencang, suaranya cukup gaduh. Kami bertiga terdiam, hanya pak gatot yang terdengar berdzikir sambil memutar-mutarkan isi tasbehnya. Sementara aku dan pak hadi siaga menyikapi gejala alam yang lain dari biasanya itu. "hati-hati pak RT " bisik pak Hadi sambil tangannya meraih tasbih yang ada disaku bajunya. Akupun mulai membaca tasbih dalam hati. Dibarengi dengan tiupan angin yang luar biasa kencang, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang cukup keras dari pohon serut pojok rumah, disusul munculnya asap yang cukup tebal turun dari atas pohon itu.
Meskipun kami sudah sama-sama menduga, namun tak urung kaget juga dengan beringsut kami bertiga agak bergeser menjauh. Kelihatannya asap tebal itu turun dengan energi yang cukup besar, turunnya seperti gulungan-gulungan asap dengan bulatan yang besar menggoncang seluruh pepohonan yang ada didepan rumahku. Bersamaan dengan hilangnya asap itu muncul sosok yang membuat hati kami berdebar cukup kencang. Untung anak isteriku sudah tidur nyenyak sejak sore tadi, pikirku. Kalau tidak dijamin mereka bisa pingsan berdiri. Pak Gatot yang pensiunan marinir saja, terlihat agak goyah melihat ujud pocongan yang mirip guling besar itu.
Mungkin kalau yang muncul itu adalah pocongan dalam bentuk yang wajar, kami masih sanggup menatapnya dengan hati yang tegar. Namun pocongan itu muncul dengan sosok yang begitu menakutkan, kain kafannya tercabik-cabik dengan lelehan darah busuk disana-sini, wajahnya penuh luka sayat yang menebarkan aroma yang memuakkan. warna kain kafannya tidak lagi putih melainkan sudah berubah menjadi merah kecoklat-coklatan.
Pak Hadi yang memang lulusan pesantren kemudian maju, dengan dialog bathin langsung mengajukan pertanyaan yang tegas terhadap sosok pocongan itu " kisanak, siapakah anda i…dari mana dan kesini mau apa?" " aku sudirman…dari daerah Krian (kota kecamatan di daerah mojokerto). Aku kesini mau meminta kembali barangku yang disimpan dirumah ini…" jawabnya dengan nada yang tidak ramah sama sekali. "apa wujud barangmu dan siapa pula yang membawa kerumah ini?" pertanyaan dari pak Gatot untuk mencari informasi lebih lanjut. "barangku itu berujud tanah, meskipun hanya tanah namun bagiku itu sangat penting, karena tanah itu rumahku yang sudah bagus jadi rusak.
Yang bawa tanah itu orangnya tidak ada disini…!" jawabnya dengan suara yang berat tanpa mau menyebutkan orang yang telah membawa tanah itu masuk dalam rumahku. Mendengar itu, aku jadi paham kenapa rumahku suasananya jadi berubah, panas dan penuh dengan hawa amarah yang bikin tidak kerasan. "kurang ajar…ada yang mau main-main denganku" kataku dalam hati. Pak hadi langsung tanggap dan mencoba menahan diriku yang mulai agak emosi "..sepuranane mas dirman, nek bener barang iku onok kene (maaf, mas dirman kalau toh barang itu ada disini) aku ora iso mbalekake nong awakmu..nek kowe tetap ora gelem nyebutno sopo sing ndelek barang iku nong kene (aku tetap tidak akan memberikan sebelum kamu menyebutkan siapa yang narok barang itu disini)" katanya tegas. Aku dan pak gatot kemudian sama-sama berdzikir dan bermunajat kehadirat Allah SWT memohon perlindungan dari semua godaan setan yang ada didepan kami itu. Cukup lama dialog itu terjadi, sementara bau busuk dari pocongan itu semakin membuat kami mual.
Dengan gencar kami terus berdzikir, sementara dalam bathin aku terus mengamalkan Qulhu Geni dari Guru beladiriku. Pocongan itu nampak goyah, tubuhnya pelan-pelan menguap dan kemudian hilang kearah timur gang rumah kami. Pelan-pelan suasana mencekam itu mencair, tinggal bau bunga kuburan dan bau bangkai yang masih menguar disekitar kami. "sudah pak RT, semua sudah kembali normal" kata pak Hadi yang disusul oleh pak gatot dengan nada yang sama, namun mereka memintaku segera menemui gus lutfi tanpa harus menunggu pengajian di malam Jumat. Aku menyanggupi, dan setelah mengucapkan terima kasih, aku kemudian mempersilakan mereka berdua untuk beristirahat. Kami lalu masuk ke rumah masing-masing.
Akupun segera mengambil air wudhu untuk mendirikan sholat hajat khusus dan sholat malam memohon perlindungan Allah SWT. Setelah itu baru tidur. Belum lama aku terlelap, aku sudah bermimpi didatangi pocongan itu kembali, dengan ngotot mereka meminta kembali tanah kuburannya itu. Aku kembali mengelak dan bersikukuh tidak menyimpan barang itu dan tidak tahu barang itu ada dimana.
Pocongan itu dengan beringas mendorongku, matanya yang hitam legam dengan nanar memandangi seluruh penjuru rumahku, hidungnya yang growong dan penuh belatung seperti mengendus-endus sesuatu, setelah itu terbang menuju tumpukan dos-dos yang ada dibawah tangga lantai atas. Tanpa menggerakkan tanggannya sama sekali, dos-dos yang sangat berat itu seperti terhempas bergerak kesamping kanan dan kiri, akhirnya persis dipojokan gudang nampak bungkusan putih sebesar pisang ambon. Dengan gaya kinetis bungkusan itu terbang menuju kearah pocongan itu.
Setelah mendapat bungkusan yang dicarinya itu, pocongan itu hilang. Bersamaan dengan hilangnya pocongan itu aku terbangun. Tubuhku basah kuyup oleh keringat dingin. "mana….mana pocongan itu? Kurang ajar" kataku dengan nafas terengah-engah. "pocongan apa mas….mana..dimana" kata isteriku dengan panik. Aku kemudian menghela nafas panjang "aku cuma mimpi kok ma…" kataku menghibur dirinya. Takut suasana yang panas ini menjadi bertambah mencekam.
Setelah sholat subuh, seperti biasanya aku lalu ikut bersih-bersih rumah. Cuma kali ini sasarannya di gudang dekat tangga. Mumpung anak isteriku masih belum bangun, aku mulai membongkar satu demi satu dos-dos yang ada di gudang itu. Semua kutata ulang, dan kubersihkan satu demi satu. Benar, persis dipojokan gudang kutemukan bungkusan yang sangat kecil, sebesar pisang emas yang terbungkus kain putih. "ini….bungkusan ini yang bikin suasana rumahku jadi tidak betul" kataku sambil memasukkan dalam katong celana. Pelan dos-dos itu aku susun ulang, dan lantainya kebersihkan dari timbunan debu dan kotoran cicak maupun tikus. Setelah rapi, aku memutuskan segera mandi. Niatku pagi-pagi nanti sebelum berangkat ke kantor, aku mau kerumah gus Lutfi untuk menanyakan masalah bungkusan kain mori yang ketemukan digudang, serta menceritakan kejadian malam tadi dan mimpi yang menuntunku menemukan bungkusan mori putih itu.
Tepat pukul 08.00 aku sudah berada di rumah gus lutfi. Nampaknya kyai kharismatik bekas anggota DRPRD dua periode itu baru selesai sholat dhuha, wajahnya yang teduh dengan senyumnya yang khas langsung menyapaku " ada apa mas haji maktab?" katanya bercanda. Memang gus lufi selalu menjulukiku kaji maktab, karena waktu musim haji lima tahun yang lalu, aku termasuk salah satu jemaahnya yang paling malas berkunjung ke masjidil Haram, dan lebih suka sholat lima waktu di maktab. Setelah basa-basi sebentar, aku kemudian menerangkan maksud dan tujuannya menemui beliau.
Mendengar ceritaku, gus lutfi cukup lama termenung matanya dengan seksama melihat bungkusan mori putih itu, setelah menghela nafas panjang, Gus lutfi masuk ke ruang ibadahnya. Setelah keluar beliau membawa botol isi minyak wisik. "begini mas kaji, ini cuma sarana saja, yang penting mulai nanti malam mas kaji harus mendirikan sholat hajat khusus, empat rokaat , dua rokaat salam. Masing-masing setelah fatekah baca surat ikhlas 7 x, semua dijalani selama tujuh hari jangan sampai bolong, dan ini setiap bakdo maghrib dipercikkan di tiap-tiap pojokan rumah" katanya sambil menyerahkan botol itu, dan mengembalikan bungkusan mori putih itu kepadaku.
"maaf gus lutfi, sebetulnya ada kejadian apa to dengan rumah saya?" tanyaku ingin tahu. Gus lutfi menhela nafas panjang lagi, dengan nada dalam beliau berkata "…rumah sampean itu, dipasangi tanah kuburan yang terbungkus mori putih itu…., kuburannya orang yang meninggal di hari Selasa Kliwon atau Jumat Wage yang kebetulan meninggalnya karena dibunuh orang. Jadi bersamaan dengan khodamnya yang ingin membalas dendam, jadi siapa sih yang tidak jengkel bila rumahnya dirusak didodos untuk diambil tanahnya. Khodam jenazah itu juga punya rasa jengkel dan sakit hati. Jadi tidak aneh bila suasana rumah mas kaji ini jadi gerah, penuh rasa tidak nyaman, nggih…nopo nggih" katanya melucu. "lha terus tujuannya apa gus?" " ya jelas to mas kaji, nek sampean tidak kerasan…tentu sampean segera pengin pindah rumah, syukur-syukur rumah sampean nanti dijual dengan harga yang murah" katanya dengan nada arif. Aku jadi maklum. Setelah diwejang banyak-banyak, aku kemudian pamit. Gus lutfi mengantarkanku sampai didepan rumah.
Malamnya aku mulai menjalankan semua amanahnya, ditambah dengan wiridan semampuku. Pelan tapi pasti kondisi rumahku mulai membaik. Suasana panas berangsur dingin. Penampakan Pocong yang tiap hari muncul sudah tidak terdengar lagi gosipnya. Genap lima hari aku menjalani sholat malam seperti yang diwejangkan oleh Gus Lutfi, kejadian persis tempo hari terulang lagi, cuma kali ini pocong tersebut hanya bisa berada di luar pagar halaman, sepertinya setiap mau masuk dia terpental jauh, dan pada hari ke tujuh terdengar ledakan yang cukup keras, dan pocongan tersebut seperti terbakar habis. Paginya aku mendengar kabar, bahwa bu Pudji tetangga jauh yang tinggal di gang sebelah masuk rumah sakit karena tiba-tiba sakit keras.
Kata keluarga besarnya, bu pudji sakit mendadak persis ketika terjadi ledakan dan pocongan itu terbakar hebat. Informasi dari isteri yang membezuknya bersama ibu-ibu PKK, penyakit bu Pudji belum bisa didiagnose dokter. Belum sempat bu Pudji diobati dengan baik, menyusul berita lain bahwa Pak Pudji makaelar tanah dan rumah yang kekayaannya luar biasa di kompleks rumahku menyusul masuk rumah sakit. Kali ini menurut dokter karena serangan jantung. Keluarga Pak Pudji memang terkenal kayanya, bahkan rumahnya hampir merata disetiap gang, di gangku saja ada tiga rumah yang statusnya menjadi hak milik putra-putrinya.
Tepat pukul 15.30 bakda sholat ashar, pak achmadi seksi sosial mengetuk pagar rumahku, "…inalillahi wa ina ilaihi rojiun…" " siapa yang meninggal pak?" seruku sambil memintanya masuk. " mas djamrodji, putranya pak pudji yang kuliah di Jogja" katanya "jenazahnya akan tiba dikampung ini pukul 1 malam pak RT" sambil menyodorkan blanko untuk mengurus surat kematian di kelurahan. Malam itu kampungku jadi heboh, aku selaku ketua RT mewakili pak Pudji untuk menerima tamu dan mengurusi semuanya, maklum pak pudji dan bu pudi masih dirawat di rumah sakit, sementara mbak lia dan dik retno putrinya masih menunggu penerbangan terakhir menuju Surabaya. Dari informasi yang saya peroleh, kematian mas djamrodji cukup mendadak.
Sore itu mereka masih guyonan dengan teman-temannya, malam tepat ketika aku mengakhiri sholat malamku yang terakhir dari yang diwejangkan gus lutfi, tiba-tiba dari kamarnya engar jeritan kesakitan yang luar biasa keras. Teman-temannya masih mengira mas djamrodji guyonan dan menggoda teman-temannya. jadi dibiarkan saja, baru setelah habis dhuhur kamar mas djamrodji tetap tertutup rapat, teman-temannya mulai merasakan ada hal yang tidak beres. Benar, ketika pintu didobrak ramai-ramai mereka semua terkejut dan menjerit setelah melihat mas djamrodji sudah jadi mayat dengan kondisi yang mengerikan, matanya melotot, lidahnya terjulur sementara tubuhnya penuh dengan bekas cakaran.
Siangnya selepas jenazah dikuburkan, aku dihampiri gus lutfi dengan berbisik beliau berkata "gimana mas kaji, buntelan morinya mau diapakan " "terserah gus lutfi saja" jawabku takzim. Gus lufi lalu memintaku datang ke masjid sehabis sholat isya, dan meminta buntelan itu untuk dijaga dengan baik. Malamnya sehabis sholat isya, gus lufi mengumpulkan beberapa bapak-bapak yang merupakan jamaah tetap masjid dilingkunganku. Dengan mengucap Bismillah gus lufi lalu membuka bungkusan mori itu. Ternyata isinya memang tanah, lalu gus lufi membawanya ke serambi masjid.
Dengan alas Koran tanah tersebut beserta kain morinya lalu dibakar. Pelan tapi pasti api itu mulai membakar kertas Koran tersebut, selanjutnya morinya ikut terbakar dan akhirnya tanah kuburan itupun tidak luput dari jamahan api. Kami semua kaget, karena ketika api itu menyentuh tanah kuburan itu, terdengar suara berdesis persis bubuk mercon yang terbakar, ngobros seperti bubuk mesiu, Makin lama makin besar apinya.
Semua mundur sambil terus menyebut nama Allah SWT. Bersamaan dengan suara ngobros itu terdengar ledakan yang cukup keras dari rumah pak pudji yang jaraknya hanya 10 rumah dari masjid kami itu. "Astaghfirullahaladzim….Allah hu Akbar…..! " teriak kami hampir berbarengan. Pagi-pagi buta, kembali rumahku diketuk pak Achmadi, kali ini membawa berita yang cukup mengejutkan, pak pudji meninggal dunia "…inalillahi wa ina lillahi rojiun…" hanya itu yang terucap dibibirku. Aku tidak bisa menghubungkan rangkaian kejadian yang ada, karena semua menjadi rahasia Allah SWT.
Panas, bringsang dan sangat- sangat tidak nyaman. Tiga kalimat itulah yang bisa dipakai untuk mendiskripsikan secara ringkas suasana rumahku saat ini, rumah yang sangat teduh dan sangat adem alias Home sweet home hampir tidak ada bekasnya sama sekali. Rasanya selalu pengin keluar dari rumah, tidak kerasan. Persoalan yang remeh-remeh bisa menjadi awal pertengkaran yang hebat diantara kami. Kami sendiri merasa heran dengan kondisi ini, rasanya semua pintu jadi tertutup, termasuk rezeki yang biasanya melimpah dari Allah SWT. Uang jadi mudah keluar, masuk sedikit keluarnya lebih banyak. Begitu seterusnya. Bahkan, tetangga yang biasanya ramah jadi kelihatan aneh. Mereka seperti ketakutan ketika melintas didepan rumah kami itu.
Ketika rapat warga beberapa hari yang lalu, masuk informasi yang bikin tambah puyeng, dengan sangat serius pak Hadi tetangga depan rumah membisikiku "..pak RT, mohon maaf ya…beberapa hari yang lalu, bapak-bapak yang sedang giliran ronda kampung melihat jelas tiga sosok pocongan masuk dan hilang di rumah bapak" katanya dengan mimik serius. "masuknya lewat atap pak" timpal mas samsul sok yakin.
Rapat RT yang seharusnya membahas masalah parkir mobil warga, jadi bergeser. Beberapa bapak yang lain juga menyampaikan info yang sama, malah pak gatot yang rumahnya mepet denganku dengan terbata-bata memberikan info tambahan "…pocongan itu muncul dari arah gang besar dan terbang masuk kerumah pak RT kira-kira pukul 11 malam, belum terlalu malam lho pak" katanya dengan bergidik sambil tangannya meraih potongan pisang goreng.
Aku cuma bisa diam, kepalaku mendadak pusing. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan rumahku. Terus apa yang diinginkan dengan diriku, pikirku dalam hati. Sebagai ketua RT, aku sudah menjalankan amanah warga dengan baik, anak dan isterikupun termasuk cekatan, dan sangat familier dengan seluruh tetangga. Jadi menurutku semua "fine-fine" saja, tapi kok jadi begini.
Belum sempat aku menemukan jawabannya, pak Hassan koordinator ketenteraman lingkungan sudah memberikan pernyataan yang membuat pertemuan jadi heboh "mungkin…ada yang tidak suka dengan pak RT, dan menginginkan pak RT pindah rumah, atau menjual rumahnya segera. Kalau pak RT mau, mbok segera sowan ke gus lutfi untuk minta penerang" katanya. "…penerang ?! baik pak, nanti saya segera sowan gus lutfi, mumpung kamis depan, beliau memberi tauziah di masjid kita" kataku mendinginkan suasana. Pertemuan warga kemudian bubar kurang lebih sekitar pukul 10 malam. Dengan wajah tegang dan takut-takut bapak-bapak itu meninggalkan balai pertemuan warga yang letaknya hanya lima rumah dari tempat tinggalku. Pos kamling yang biasanya ramai jadi sepi. Penjual tahu campur dan mie dok-dok lebih memilih jalan melingkar, menghindari gang rumahku.
Aku sendiri kemudian memilih cangkruan didepan rumah ditemani pak Gatot yang pensiunan marinir dan pak hadi. "biar saya dan pak hadi melekan disini pak RT" katanya ramah. Kami bertiga lalu ngobrol ngalor ngidul dan menghindari pembicaraan yang menjurus kearah munculnya pocongan itu. Hawa dingin di akhir bulan Desember membuat suasana malam itu agak lain. Angin yang bertiup agak kencang menerobos daun-daun yang cukup rindang di kompleks perumahan kami itu. Menjatuhkan daun-daun yang sudah tua.
Pelan tapi pasti angin kemudian bertiup makin kencang, suaranya cukup gaduh. Kami bertiga terdiam, hanya pak gatot yang terdengar berdzikir sambil memutar-mutarkan isi tasbehnya. Sementara aku dan pak hadi siaga menyikapi gejala alam yang lain dari biasanya itu. "hati-hati pak RT " bisik pak Hadi sambil tangannya meraih tasbih yang ada disaku bajunya. Akupun mulai membaca tasbih dalam hati. Dibarengi dengan tiupan angin yang luar biasa kencang, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang cukup keras dari pohon serut pojok rumah, disusul munculnya asap yang cukup tebal turun dari atas pohon itu.
Meskipun kami sudah sama-sama menduga, namun tak urung kaget juga dengan beringsut kami bertiga agak bergeser menjauh. Kelihatannya asap tebal itu turun dengan energi yang cukup besar, turunnya seperti gulungan-gulungan asap dengan bulatan yang besar menggoncang seluruh pepohonan yang ada didepan rumahku. Bersamaan dengan hilangnya asap itu muncul sosok yang membuat hati kami berdebar cukup kencang. Untung anak isteriku sudah tidur nyenyak sejak sore tadi, pikirku. Kalau tidak dijamin mereka bisa pingsan berdiri. Pak Gatot yang pensiunan marinir saja, terlihat agak goyah melihat ujud pocongan yang mirip guling besar itu.
Mungkin kalau yang muncul itu adalah pocongan dalam bentuk yang wajar, kami masih sanggup menatapnya dengan hati yang tegar. Namun pocongan itu muncul dengan sosok yang begitu menakutkan, kain kafannya tercabik-cabik dengan lelehan darah busuk disana-sini, wajahnya penuh luka sayat yang menebarkan aroma yang memuakkan. warna kain kafannya tidak lagi putih melainkan sudah berubah menjadi merah kecoklat-coklatan.
Pak Hadi yang memang lulusan pesantren kemudian maju, dengan dialog bathin langsung mengajukan pertanyaan yang tegas terhadap sosok pocongan itu " kisanak, siapakah anda i…dari mana dan kesini mau apa?" " aku sudirman…dari daerah Krian (kota kecamatan di daerah mojokerto). Aku kesini mau meminta kembali barangku yang disimpan dirumah ini…" jawabnya dengan nada yang tidak ramah sama sekali. "apa wujud barangmu dan siapa pula yang membawa kerumah ini?" pertanyaan dari pak Gatot untuk mencari informasi lebih lanjut. "barangku itu berujud tanah, meskipun hanya tanah namun bagiku itu sangat penting, karena tanah itu rumahku yang sudah bagus jadi rusak.
Yang bawa tanah itu orangnya tidak ada disini…!" jawabnya dengan suara yang berat tanpa mau menyebutkan orang yang telah membawa tanah itu masuk dalam rumahku. Mendengar itu, aku jadi paham kenapa rumahku suasananya jadi berubah, panas dan penuh dengan hawa amarah yang bikin tidak kerasan. "kurang ajar…ada yang mau main-main denganku" kataku dalam hati. Pak hadi langsung tanggap dan mencoba menahan diriku yang mulai agak emosi "..sepuranane mas dirman, nek bener barang iku onok kene (maaf, mas dirman kalau toh barang itu ada disini) aku ora iso mbalekake nong awakmu..nek kowe tetap ora gelem nyebutno sopo sing ndelek barang iku nong kene (aku tetap tidak akan memberikan sebelum kamu menyebutkan siapa yang narok barang itu disini)" katanya tegas. Aku dan pak gatot kemudian sama-sama berdzikir dan bermunajat kehadirat Allah SWT memohon perlindungan dari semua godaan setan yang ada didepan kami itu. Cukup lama dialog itu terjadi, sementara bau busuk dari pocongan itu semakin membuat kami mual.
Dengan gencar kami terus berdzikir, sementara dalam bathin aku terus mengamalkan Qulhu Geni dari Guru beladiriku. Pocongan itu nampak goyah, tubuhnya pelan-pelan menguap dan kemudian hilang kearah timur gang rumah kami. Pelan-pelan suasana mencekam itu mencair, tinggal bau bunga kuburan dan bau bangkai yang masih menguar disekitar kami. "sudah pak RT, semua sudah kembali normal" kata pak Hadi yang disusul oleh pak gatot dengan nada yang sama, namun mereka memintaku segera menemui gus lutfi tanpa harus menunggu pengajian di malam Jumat. Aku menyanggupi, dan setelah mengucapkan terima kasih, aku kemudian mempersilakan mereka berdua untuk beristirahat. Kami lalu masuk ke rumah masing-masing.
Akupun segera mengambil air wudhu untuk mendirikan sholat hajat khusus dan sholat malam memohon perlindungan Allah SWT. Setelah itu baru tidur. Belum lama aku terlelap, aku sudah bermimpi didatangi pocongan itu kembali, dengan ngotot mereka meminta kembali tanah kuburannya itu. Aku kembali mengelak dan bersikukuh tidak menyimpan barang itu dan tidak tahu barang itu ada dimana.
Pocongan itu dengan beringas mendorongku, matanya yang hitam legam dengan nanar memandangi seluruh penjuru rumahku, hidungnya yang growong dan penuh belatung seperti mengendus-endus sesuatu, setelah itu terbang menuju tumpukan dos-dos yang ada dibawah tangga lantai atas. Tanpa menggerakkan tanggannya sama sekali, dos-dos yang sangat berat itu seperti terhempas bergerak kesamping kanan dan kiri, akhirnya persis dipojokan gudang nampak bungkusan putih sebesar pisang ambon. Dengan gaya kinetis bungkusan itu terbang menuju kearah pocongan itu.
Setelah mendapat bungkusan yang dicarinya itu, pocongan itu hilang. Bersamaan dengan hilangnya pocongan itu aku terbangun. Tubuhku basah kuyup oleh keringat dingin. "mana….mana pocongan itu? Kurang ajar" kataku dengan nafas terengah-engah. "pocongan apa mas….mana..dimana" kata isteriku dengan panik. Aku kemudian menghela nafas panjang "aku cuma mimpi kok ma…" kataku menghibur dirinya. Takut suasana yang panas ini menjadi bertambah mencekam.
Setelah sholat subuh, seperti biasanya aku lalu ikut bersih-bersih rumah. Cuma kali ini sasarannya di gudang dekat tangga. Mumpung anak isteriku masih belum bangun, aku mulai membongkar satu demi satu dos-dos yang ada di gudang itu. Semua kutata ulang, dan kubersihkan satu demi satu. Benar, persis dipojokan gudang kutemukan bungkusan yang sangat kecil, sebesar pisang emas yang terbungkus kain putih. "ini….bungkusan ini yang bikin suasana rumahku jadi tidak betul" kataku sambil memasukkan dalam katong celana. Pelan dos-dos itu aku susun ulang, dan lantainya kebersihkan dari timbunan debu dan kotoran cicak maupun tikus. Setelah rapi, aku memutuskan segera mandi. Niatku pagi-pagi nanti sebelum berangkat ke kantor, aku mau kerumah gus Lutfi untuk menanyakan masalah bungkusan kain mori yang ketemukan digudang, serta menceritakan kejadian malam tadi dan mimpi yang menuntunku menemukan bungkusan mori putih itu.
Tepat pukul 08.00 aku sudah berada di rumah gus lutfi. Nampaknya kyai kharismatik bekas anggota DRPRD dua periode itu baru selesai sholat dhuha, wajahnya yang teduh dengan senyumnya yang khas langsung menyapaku " ada apa mas haji maktab?" katanya bercanda. Memang gus lufi selalu menjulukiku kaji maktab, karena waktu musim haji lima tahun yang lalu, aku termasuk salah satu jemaahnya yang paling malas berkunjung ke masjidil Haram, dan lebih suka sholat lima waktu di maktab. Setelah basa-basi sebentar, aku kemudian menerangkan maksud dan tujuannya menemui beliau.
Mendengar ceritaku, gus lutfi cukup lama termenung matanya dengan seksama melihat bungkusan mori putih itu, setelah menghela nafas panjang, Gus lutfi masuk ke ruang ibadahnya. Setelah keluar beliau membawa botol isi minyak wisik. "begini mas kaji, ini cuma sarana saja, yang penting mulai nanti malam mas kaji harus mendirikan sholat hajat khusus, empat rokaat , dua rokaat salam. Masing-masing setelah fatekah baca surat ikhlas 7 x, semua dijalani selama tujuh hari jangan sampai bolong, dan ini setiap bakdo maghrib dipercikkan di tiap-tiap pojokan rumah" katanya sambil menyerahkan botol itu, dan mengembalikan bungkusan mori putih itu kepadaku.
"maaf gus lutfi, sebetulnya ada kejadian apa to dengan rumah saya?" tanyaku ingin tahu. Gus lutfi menhela nafas panjang lagi, dengan nada dalam beliau berkata "…rumah sampean itu, dipasangi tanah kuburan yang terbungkus mori putih itu…., kuburannya orang yang meninggal di hari Selasa Kliwon atau Jumat Wage yang kebetulan meninggalnya karena dibunuh orang. Jadi bersamaan dengan khodamnya yang ingin membalas dendam, jadi siapa sih yang tidak jengkel bila rumahnya dirusak didodos untuk diambil tanahnya. Khodam jenazah itu juga punya rasa jengkel dan sakit hati. Jadi tidak aneh bila suasana rumah mas kaji ini jadi gerah, penuh rasa tidak nyaman, nggih…nopo nggih" katanya melucu. "lha terus tujuannya apa gus?" " ya jelas to mas kaji, nek sampean tidak kerasan…tentu sampean segera pengin pindah rumah, syukur-syukur rumah sampean nanti dijual dengan harga yang murah" katanya dengan nada arif. Aku jadi maklum. Setelah diwejang banyak-banyak, aku kemudian pamit. Gus lutfi mengantarkanku sampai didepan rumah.
Malamnya aku mulai menjalankan semua amanahnya, ditambah dengan wiridan semampuku. Pelan tapi pasti kondisi rumahku mulai membaik. Suasana panas berangsur dingin. Penampakan Pocong yang tiap hari muncul sudah tidak terdengar lagi gosipnya. Genap lima hari aku menjalani sholat malam seperti yang diwejangkan oleh Gus Lutfi, kejadian persis tempo hari terulang lagi, cuma kali ini pocong tersebut hanya bisa berada di luar pagar halaman, sepertinya setiap mau masuk dia terpental jauh, dan pada hari ke tujuh terdengar ledakan yang cukup keras, dan pocongan tersebut seperti terbakar habis. Paginya aku mendengar kabar, bahwa bu Pudji tetangga jauh yang tinggal di gang sebelah masuk rumah sakit karena tiba-tiba sakit keras.
Kata keluarga besarnya, bu pudji sakit mendadak persis ketika terjadi ledakan dan pocongan itu terbakar hebat. Informasi dari isteri yang membezuknya bersama ibu-ibu PKK, penyakit bu Pudji belum bisa didiagnose dokter. Belum sempat bu Pudji diobati dengan baik, menyusul berita lain bahwa Pak Pudji makaelar tanah dan rumah yang kekayaannya luar biasa di kompleks rumahku menyusul masuk rumah sakit. Kali ini menurut dokter karena serangan jantung. Keluarga Pak Pudji memang terkenal kayanya, bahkan rumahnya hampir merata disetiap gang, di gangku saja ada tiga rumah yang statusnya menjadi hak milik putra-putrinya.
Tepat pukul 15.30 bakda sholat ashar, pak achmadi seksi sosial mengetuk pagar rumahku, "…inalillahi wa ina ilaihi rojiun…" " siapa yang meninggal pak?" seruku sambil memintanya masuk. " mas djamrodji, putranya pak pudji yang kuliah di Jogja" katanya "jenazahnya akan tiba dikampung ini pukul 1 malam pak RT" sambil menyodorkan blanko untuk mengurus surat kematian di kelurahan. Malam itu kampungku jadi heboh, aku selaku ketua RT mewakili pak Pudji untuk menerima tamu dan mengurusi semuanya, maklum pak pudji dan bu pudi masih dirawat di rumah sakit, sementara mbak lia dan dik retno putrinya masih menunggu penerbangan terakhir menuju Surabaya. Dari informasi yang saya peroleh, kematian mas djamrodji cukup mendadak.
Sore itu mereka masih guyonan dengan teman-temannya, malam tepat ketika aku mengakhiri sholat malamku yang terakhir dari yang diwejangkan gus lutfi, tiba-tiba dari kamarnya engar jeritan kesakitan yang luar biasa keras. Teman-temannya masih mengira mas djamrodji guyonan dan menggoda teman-temannya. jadi dibiarkan saja, baru setelah habis dhuhur kamar mas djamrodji tetap tertutup rapat, teman-temannya mulai merasakan ada hal yang tidak beres. Benar, ketika pintu didobrak ramai-ramai mereka semua terkejut dan menjerit setelah melihat mas djamrodji sudah jadi mayat dengan kondisi yang mengerikan, matanya melotot, lidahnya terjulur sementara tubuhnya penuh dengan bekas cakaran.
Siangnya selepas jenazah dikuburkan, aku dihampiri gus lutfi dengan berbisik beliau berkata "gimana mas kaji, buntelan morinya mau diapakan " "terserah gus lutfi saja" jawabku takzim. Gus lufi lalu memintaku datang ke masjid sehabis sholat isya, dan meminta buntelan itu untuk dijaga dengan baik. Malamnya sehabis sholat isya, gus lufi mengumpulkan beberapa bapak-bapak yang merupakan jamaah tetap masjid dilingkunganku. Dengan mengucap Bismillah gus lufi lalu membuka bungkusan mori itu. Ternyata isinya memang tanah, lalu gus lufi membawanya ke serambi masjid.
Dengan alas Koran tanah tersebut beserta kain morinya lalu dibakar. Pelan tapi pasti api itu mulai membakar kertas Koran tersebut, selanjutnya morinya ikut terbakar dan akhirnya tanah kuburan itupun tidak luput dari jamahan api. Kami semua kaget, karena ketika api itu menyentuh tanah kuburan itu, terdengar suara berdesis persis bubuk mercon yang terbakar, ngobros seperti bubuk mesiu, Makin lama makin besar apinya.
Semua mundur sambil terus menyebut nama Allah SWT. Bersamaan dengan suara ngobros itu terdengar ledakan yang cukup keras dari rumah pak pudji yang jaraknya hanya 10 rumah dari masjid kami itu. "Astaghfirullahaladzim….Allah hu Akbar…..! " teriak kami hampir berbarengan. Pagi-pagi buta, kembali rumahku diketuk pak Achmadi, kali ini membawa berita yang cukup mengejutkan, pak pudji meninggal dunia "…inalillahi wa ina lillahi rojiun…" hanya itu yang terucap dibibirku. Aku tidak bisa menghubungkan rangkaian kejadian yang ada, karena semua menjadi rahasia Allah SWT.
No comments:
Post a Comment