Saturday, November 9, 2013

Tujuh Senjata Umat Muhammad



Tujuh Senjata Umat Muhammad


Pada suatu hari, iblis berdiri di salah satu sudut Masjidil Haram. Ketika itu, Rasulullah SAW sibuk melakukan thawaf. Setelah selesai thawaf, beliau melihat iblis.

“Hai terkutuk, mengapa engkau kurus kering dan menderita?” Tanya Rasul.

“Umatmu telah membuat diriku menderita dan tersiksa,” jawab Iblis.

“Apa yang dilakukan oleh umatku?” Wahai Rasulullah ada beberapa amal terpuji mereka yang tak dapat kulenyapkan.”

“Amal apa yang telah membuatmu menderita?”

Pertama, tatkala bertemu, mereka saling memberi salam, sedangkan salam salah satu nama Allah. (dengan demikian siapa mengucapkan salam, Allah SWT akan menjauhkannya dari bencana. Barang siapa menjawab salam, Allah SWT akan mencurahkan rahmat atasnya.

Kedua, tatkala bertemu, mereka berjabat tangan dan perbuatan ini memiliki pahala besar. Selama mereka belum melepas tangan, rahmat Allah SWT senantiasa meliputi mereka berdua.

Ketiga, tatkala hendak makan dan memulai pekerjaan, mereka membaca Bismillah. Bacaan itu menghalangiku menikmati makanan dan menjauhkanku dari perbuatannya.

Keempat, setiap kali berbicara, mereka mengucapkan Insya Allah dan ridha akan ketetapan Allah sehingga aku tidak dapat merusakkan pekerjaan mereka.

Kelima, seharian aku berusaha mendorong mereka berbuat maksiat. Saat malam mereka bertaubat dan memohon ampun kepada Allah dan Allah pun mengampuninya. Itulah penyebab jerih payahku menjadi sia-sia.

Keenam, dan lebih dari semua itu, tatkala mendengar namamu disebut, mereka dengan lantang membaca shalawat untukmu. Aku mengetahui seberapa besar pahala shalawat. Karenanya, aku melarikan diri kecewa. Aku tidak mampu menyaksikan besarnya pahala yang mereka terima.

Ketujuh, tatkala melihat keluargamu, mereka menyayangi dan mencintainya dan ini merupakan sebaik- baik perbuatan.

Rasulullah SAW menghadap kepada para Sahabat seraya bersabda, “Barangsiapa mengamalkan satu dari perbuatan ini, ia akan menjadi penghuni surga.”

Menghormati Al-Quran

Dalam kitab Gulzhor Akhbari, bab ke – 15, dinukil sebuah kisah dari Abul Fa’harawi :

Saya pernah membaca Al-Quran dalam sebuah pertemuan di istana kerajaan. Saat saya sedang membaca Al-Quran, raja itu sama sekali tak memperhatikan ayat-ayat suci itu. Bahkan dia terus berbincang dengan para hadirin lainnya. Malamnya, saya bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Dengan raut wajah yang berubah, Beliau berkata kepada saya, “Mengapa engkau membacakan Al-Quran kepada orang-orang yang sedang berbincang-bincang dan tidak mendengarkannya. Setelah ini, engkau tidak akan dapat berbicara lagi sampai masa yang dikehendaki Allah SWT.”

Ketika terbangun dari tidur, alangkah kagetnya saya, karena saya telah menjadi bisu. Akan tetapi dari potongan terakhir ucapan Rasulullah SAW : Saya masih berharap, kelak lisan saya akan kembali terbuka. Setelah empat hari berlalu, di tempat yang sama ketika saya bermimpi bertemu Rasulullah SAW, saya kembali bertemu beliau. Dalam mimpi saya itu, beliau berkata, “Apakah engkau telah bertaubat?” Saya menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa bertaubat, maka Allah pasti akan menerimanya.” Kemudian, Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya, “Wahai mulut, terbukalah!” sembari mengusap mulut saya dengan tangan beliau. “Kapan saja engkau ingin membacakan Al-Quran kepada suatu kaum, bersabarlah hingga mereka mau memasang telinga mereka untuk mendengarkan firman Allah SWT itu.”

Sewaktu terbangun dari tidur, saya telah mendapati mulut saya dapat berbicara kembali.

Pentingnya Pengajaran Al-Qur’an

Abdurrahman Salami pernah mengajarkan surat Al-Fatihah kepada salah seorang putra Imam Husain. Ketika putra Imam Husain itu meperlihatkan kemampuannya dalam membaca surah Al-Fatihah kepada ayahnya, alangkah senangnya hati sang ayah. Sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, Imam Husain lalu memberikan 1000 dinar dan 1000 potong baju kepada si pengajar itu, bahkan beliau memenuhi kantungnya dengan batu-batu permata.

Sebagian orang mengkritik sikap Imam Husain itu; mengajari sebuah surat saja tak harus dibalas dengan pemberian yang begitu banyak dan dorongan seperti itu.

Imam Husain berkata, “Semua pemberian saya itu bagaimana mungkin disamakan nilainya dengan pengajaran Al-Quran yang diberikannya kepada putra saya.” Artinya, nilai Al-Quran lebih tinggi dari pemberian itu.

ADAB DALAM MAJELIS AL-QUR’AN

Salah seorang ulama Ishfahan menuturkan :

Kami bersama beberapa orang pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, ketika di Madinah, salah seorang di antara kami meninggal dunia. Setelah memakamkannya, kami menyelenggarakan majlis tarhim, dan mengundang salah seorang qari (pembaca Quran) dari kalangan Ahlussunnah ke majelis itu untuk membaca Al-Quran.

Qari itu pun tiba lalu duduk. Akan tetapi, dia tak mau membaca Al-Quran. Saya kemudian berkata kepadanya, “Bacalah!” Dia menjawab, “Dari tadi kalian terus berbincang-bincang. Selama kalian tak diam, saya tak akan membaca Al-Quran.”

Akhirnya,kami pun diam. Namun, dia belum juga mulai membaca Al-Quran, malah kembali menegur kami seraya berkata, “Cara duduk kalian tak sesuai dengan majelis Al-Quran.

Lalu kami pun duduk di atas kedua lutut kami akan tetapi, lagi-lagi dia belum juga mulai membaca Al-Quran. Kami lalu menegurnya dengan berkata “Mulailah membaca!”

Dia berkata, “Majelis ini belum siap dibacakan Al-Quran, karena sebagian kalian masih memegang rokok dan segelas teh.” Setelah kami menyingkirkan rokok dan gelas berisi teh itu,barulah dia membaca Al-Quran. Selesai membaca Al-Quran, dia mohon diri untuk pulang, Adapun ayat suci yang telah dibacanya adalah : Dan apabila Al-Quran dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah (Al-A’raf : 204)

MENDAHULUKAN IBADAH

Abu Manshur Samani adalah menteri Raja Thaghran. Dia memiliki kebiasaan membaca doa shalat subuh hingga terbitnya matahari, setelah matahari terbit, barulah dia datang menghadap raja. Pada suatu pagi, raja mengirim utusan untuk memanggil Abu Manshur karena suatu urusan penting. Mereka datang dan menyampaikan pesan raja pada Abu Manshur. Namun Abu Manshur mengacuhkan mereka dan terus membaca doa serta wirid. Mereka pun kembali kepada raja dan menceritakan sikap Abu Manshur yang acuh.

Usai membaca doa dan wirid, Abu manshur datang menghadap raja, dengan nada marah raja berkata, “Apa yang terjadi denganmu? Mengapa engkau mengabaikan perintahku dan datang terlambat?” Sang Menteri berkata, “Saya adalah hamba Allah SWT dan pegawai anda. Selama ibadah saya kepada Allah SWT belum selesai maka saya tidak bisa bekerja pada tuan.”

Munajat Daud Kepada Allah

Nabi Daud as dalam munajatnya kepada Allah menginginkan agar Dia memberinya teman di surga. Kemudian terdengar seruan, “Esok hari keluarlah dari gerbang kota. Orang yang pertama kali engkau jumpai, ia adalah temanmu di surga.” Keesokan harinya, Nabi Daud beserta putranya, Sulaiman, keluar dari gerbang kota. Ia melihat seorang pria tua membawa seikat kayu bakar dari gunung untuk dijual. Pria tua itu, bernama Matta, berhenti di sisi gerbang kota seraya berteriak menawarkan kayu bakar, “Siapa yang ingin membeli kayu bakar?”

Seseorang datang dan membeli kayu bakar tersebut. Nabi Daud datang menghampirinya, memberi salam, dan berkata “Apakah hari ini engkau bersedia menerima diriku sebagai tamumu?”

“Tamu adalah kekasih Allah, Silahkan.”

Pria tua membeli sejumlah gandum dari uang penjualan kayu bakarnya. Tatkala mereka tiba di rumah, pria tua segera menggiling gandum untuk membuat tiga keping roti. Mereka mulai menikmati hidangan yang ada. Pria tua senantiasa mengucapkan Bismillah setiap kali hendak memakan roti. Setelah selesai makan, ia mengucapkan al-Hamdulillah.

Setelah mereka selesai menikmati makan siang sederhana, pria tua mengangkat tangan ke langit berdoa sambil menangis, “Ya Allah, kayu bakar yang kujual, Engkau yang menanam pohonnya, kemudian Engkau mengeringkannya, Engkau memberiku kekuatan menebang kayu bakar, Engkau mengirim pembeli yang membeli kayu bakar, dan terigu yang kami makan adalah Engkau yang menumbuhkan benihnya. Engkau memberiku kemampuan menggilingnya menjadi terigu dan memasaknya menjadi roti; apa yang mampu aku lakukan dalam menghadapi kenikmatan ini?”

Nabi Daud memandang ke arah putranya dengan pandangan penuh makna. Inilah, pikir Nabi Daud, yang menyebabkan pria tua disatukan dengan para Nabi.

No comments:

Post a Comment