Saturday, November 9, 2013

KEMURAHAN ALLAH TIADA TERBATAS



KEMURAHAN ALLAH TIADA TERBATAS

Nabi Ibrahim as adalah pribadi yang amat senang menerima tamu. Suatu hari seorang Majusi mengunjungi rumah Nabi Ibrahim as dan berharap diterima sebagai tamunya. Nabi Ibrahim as berkata kepadanya, “Kalau engkau menerima Islam (yakni menerima agama hanif-Ku) maka aku akan menerimamu sebagai tamuku.” Allah SWT berfirman kepada beliau : “Wahai Ibrahim ! Engkau mengatakan kepada orang Majusi itu, bahwa jika ia enggan menerima Islam, maka engkau tidak layak menjadi tamumu dan memakan makananmu, padahal selama 70 tahun ia dalam keadaan mengingkari-Ku (kufur kepada-Ku), dan Aku senantiasa memberinya rezeki dan makanan. Apa beratnya jika semalam saja engkau memberinya makan?”

Nabi Ibrahim as merasa amat menyesal dan bergegas mengejar orang Majusi itu. Setelah mencari ke sana ke mari akhirnya beliau menemukannya. Dengan penuh rasa hormat, beliau meminta orang Majusi itu untuk bersedia menjadi tamunya. Orang Majusi menanyakan kepada Nabi Ibrahim as, gerangan apa yang terjadi setelah kepergiannya. Beliau pun menceritakan wahyu yang diterima dari Allah SWT.

Orang Majusi berkata, “Apakah benar Allah SWT sedemikian murah hati kepadaku? Jika demikian jelaskanlah kepadaku Islam itu. Aku akan menerimanya.” Kemudian ia pun menerima dan memeluk Islam.



SIKAP AL-HASAN TERHADAP ORANG YANG MENYAKITINYA

    Suatu kali seorang laki-laki dari Syam yang diupah Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk mencaci maki keluarga Rasulullah SAW. Melihat Al-Hasan sedang menaiki untanya, laki-laki itu lalu mengutukinya.  Al-Hasan tidak membalas kutukan itu sedikit pun. Ketika laki-laki tersebut sudah puas menyampaikan kutukannya kepada beliau, Sayyidina Hasan menatap orang itu sambil tersenyum dan berkata, “Tuan, saya pikir Tuan orang baru di sini. Apakah Tuan tersesat? Kalau butuh pertolongan, mari saya tolong. Kalau butuh sesuatu, Tuan akan saya beri. Kalau Tuan butuh ditunjukkan suatu tempat, akan saya tunjukkan. Kalau Tuan butuh orang yang membawakan barang-barang Tuan, akan saya bawakan. Kalau Tuan lapar, mari makan bersama saya. Kalau Tuan butuh pakaian, nanti saya berikan. Kalau Tuan seorang miskin, akan saya bantu Tuan agar berkecukupan. Kalau Tuan terusir dari kampung halaman Tuan, mari saya carikan tempat tinggal. Kalau Tuan punya keperluan-keperluan, akan saya penuhi kebutuhan Tuan dan kalau Tuan berada dalam perjalanan serta tinggal di sini untuk beberapa waktu sebagai tamu saya, nanti Tuan akan saya beri bekal. Sebab, saya punya tempat tinggal yang nyaman, kedudukan yang terhormat dan harta yang amat banyak.

Ketika laki-laki tersebut mendengar ucapan Sayyidina Hasan itu, maka menangislah dia, lalu berkata : “Saya bersaksi bahwa Tuan adalah Khalifah Allah di muka bumi ini. Allah Mahatahu bahwa sebelum ini, Tuan dan ayah Tuan adalah orang-orang yang paling saya benci, dan sekarang Tuan dan ayah Tuan  adalah orang yang paling saya cintai di antara semua manusia  di dunia ini.” Sesudah itu Al-Hasan menjamunya hingga dia pulang kembali ke kampung halamannya.

    Disebutkan bahwa sekali waktu, beliau menemukan salah seekor kambingnya sudah patah kakinya. Lalu beliau bertanya kepada pembantunya, “Siapa yang melakukan ini?” “Saya”, jawab pembantunya itu.

“Mengapa engkau lakukan ini?” “Agar Tuan memperhatikan dan memberi sesuatu kepada saya.” Al-Hasan tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, mari ikut aku.” Kemudian beliau membebaskan budak tersebut dan memberinya uang dan barang-barang secukupnya.



HASIL BELAS KASIH



Alkisah, seseorang yang saleh memiliki seorang sahabat yang sudah meninggal dunia. Selang beberapa waktu, ia melihatnya dalam mimpi. Ia bertanya kepada temannya itu, “Apa yang dilakukan Tuhan kepadamu?” Temannya menjawab, “Aku diletakkan di sisi Tuhan dan diberi kabar gembira dengan ampunan. Lalu aku mendengar suara dari sisi Allah : Tahukah engkau mengapa Aku mengampunimu? Aku menjawab, ‘dikarenakan amal-amal baikku.’ Muncul jawaban : Bukan. Aku menjawab, ‘dikarenakan keikhlasanku dalam beribadah.’ Bukan. Aku menjawab, ‘dikarenakan amalan ini dan itu.’ Bukan, semua itu bukan perkara yang menyebabkan Aku mengampunimu, tegas suara itu.”

“Aku bertanya, ‘lalu apa yang menyebabkan Engkau mengampuniku?’ Terdengar jawaban : Apakah engkau masih ingat tatkala engkau tengah berjalan di salah satu lorong di kota Bagdagh, lalu ada seekor kucing kecil yang tengah kepanasan dan berlindung di bawah dinding, kemudian engkau mengambilnya dan meletakkannya di bawah bajumu dan engkau selamatkan dirinya dari kepanasan? Aku menjawab, ‘Benar.’ Kembali muncul jawaban : Karena engkau mengasihi kucing itu, maka Aku pun mengasihimu.”



SYARAT DIKABULKANNYA DOA




Imam Ja’far Shadiq berkata, “Seorang lelaki dari Bani Israil selama tiga tahun berdoa agar Allah mengaruniainya seorang anak lelaki. Namun doanya tidak terkabul. Tatkala menyadari bahwa Allah tidak mengabulkan doanya, ia berkata, ‘Ya Allah! Apakah aku jauh dari-Mu sehingga Engkau tidak mendengar suaraku, ataukah Engkau dekat tetapi tidak menjawab permintaanku?’”

Dalam mimpinya, seseorang mendatanginya dan berkata, “Sesungguhnya engkau memohon kepada Allah dengan lisan sia-sia dan hati yang kotor dan tidak bertakwa, serta niat yang tidak benar. Karena itu, tinggalkanlah pembicaraan yang tidak bermanfaat, dan sucikanlah hati dan niatmu, agar doamu dikabulkan.” Kemudian ia melaksanakan nasihat itu lalu memanjatkan doa. Dan Allah pun mengabulkan doanya serta mengaruniainya seorang anak lelaki.



SYAFAAT BAGI SIAPA?



Seorang ulama menceritakan bahwa seorang penyair bernama Hajib keliru dalam memahami syafaat. Ia melantunkan syair ini :

“Jika Hajib bertransaksi di hari kebangkitan dengan Ali (bin Abi Thalib)

Berbuat dosa sesukamu dan saya akan menjamin.”



Di malam hari, ia bermimpi berjumpa dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam keadaan marah dan berkata kepadanya, “Engkau tidak melantunkan syair yang bagus.”

“Bagaimanakah sebaiknya?” tanya Hajib.

Imam Ali menjawab, Perbaikilah syairmu menjadi ini :

“Hajib jika bertransaksi di hari kebangkitan dengan Ali

Malulah kepada Ali, sedikitlah berbuat dosa.”



Ya, harus terdapat keserasian antara pemberi syafaat dan penerima syafaat. Antara pemberi syafaat (syafi’) dan yang diberi syafaat (masyfu’) harus memiliki hubungan maknawi. Itu agar masyfu’ dapat memperoleh syafaat. Sebab syafaat adalah pertolongan yang diberikan kepada seorang yang memang patut mendapatkannya.

No comments:

Post a Comment