Saturday, November 9, 2013

DIA YANG INGIN MELIHAT TUHAN



DIA YANG INGIN MELIHAT TUHAN
Seribu dua ratus tahun yang lalu, seseorang menyeruak di tengah perkuliahan Ja’far Ash-Shadiq, cucu nabi yang keluasan ilmunya menjadi rujukan semua pendiri mazhab dalam Islam. Dia mengacung-acungkan tangan, meminta diberi kesempatan bertanya lebih dulu. “Jelaskan padaku tentang Tuhanmu,” katanya, “sampai seolah-olah aku melihat-Nya.”

Ash-Shadiq tersenyum dan balik bertanya : “Pernahkah kau berlayar di laut bebas?” Dia mengiyakan. Layaknya seorang dokter yang sedang mendiagnosa, Ash-Shadiq kembali bertanya: “Pernahkah kapalmu diterjang ombak dahsyat sehingga kau kehilangan harapan dan merasa bahwa ajalmu telah menyeringai di depanmu?” penanya itu kembali mengiyakan.

Lalu, Ash-Shadiq mengakhiri diagnosanya: “Nah, kalau kau telah kehilangan harapan pada semua sarana (penyelamatan) yang kau lihat atau yang kau pikirkan, lalu kepada siapa kau gantungkan harapanmu di detik-detik terakhir itu?”


HUD-HUD AIRWAYS

Fariuddin Attar (1114-1220) adalah salah seorang penyair sufi yang paling berpengaruh di Persia. Dia pernah belajar ilmu kedokteran, bahasa Arab, dan teosofi di sebuah perguruan tinggi di Masyhad, Iran.  Puluhan buku dan ribuan bait syair telah dia goreskan. Dia termasuk sufi yang percaya bahwa fitrah adalah pencitraan Allah dalam diri manusia.

Dalam karya utamanya, Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung), Attar mengumpamakan macam-macam watak manusia dengan beragam jenis burung, semua burung ini sama-sama bertujuan mencari raja sejati (Tuhan) yang bernama Simurgh. Perjalanan mereka harus melewati tujuh lembah yang melambangkan tujuh macam keadaan yang pasti dilalui oleh manusia: pencarian, cinta, pemahaman, pelepasan dan kemerdekaan, kesatuan, ketakjuban, dan terakhir kematian.

Di lembah pertama, semua burung menemui seratus kesulitan yang menindih, mereka harus menemui banyak ujian saat mencoba melepaskan diri dari apa yang mereka kira sebagai berharga dan mengubah keadaan mereka. Begitu berhasil, mereka dipenuhi dengan kerinduan yang meluap-luap.

Di lembah kedua, burung-burung itu meninggalkan nalar demi cinta dan dengan kesiapan mengorbankan seribu hati, melanjutkan pencarian mereka untuk menemukan Simurgh. Saat memasuki lembah ketiga, semua pengetahuan duniawi yang pernah mereka miliki kini tak lagi berguna. Ada pemahaman baru yang sama sekali berbeda sehingga mereka tertimpa kebingungan untuk membedakan baik dan buruk. Sesuatu yang sebelumnya dianggap baik, seperti harta benda dan tahta, kini terlihat begitu menjijikkan.

Lembah keempat adalah lembah pelepasan diri dan kemerdekaan, yakni kemerdekaan dari hasrat untuk memiliki dan keinginan untuk menemukan. Tiba-tiba burung-burung itu merasa seperti lolos dari kurungan kecil dan membesar seluas alam semesta. Dalam keadaan baru itu, dunia fisik terlihat kecil seperti percikan api dan gajah tak bisa dibedakan dari semut.

Ketika memasuki lembah kelima, barulah burung-burung itu menyadari bahwa kesatuan dan keberagaman sama saja. Dan, yang lebih penting, mereka menyadari bahwa Allah berada di atas kesatuan, keberagaman, dan keabadian. Memasuki lembah keenam, burung-burung itu langsung pingsan menyaksikan keindahan Allah. Mengalami keindahan mutlak secara langsung membuat mereka mendadak bodoh, tak mengerti apa-apa, dan tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, mereka tidak lagi menyadari keberadaan diri mereka masing-masing. Inilah lembah kematian yang mereka masuki, yakni keadaan tak mengenali diri sendiri dan sirna dalam keindahan mutlak Sang Ilahi.

Di akhir perjalanan, rupanya hanya tersisa tiga puluh burung yang sampai di singgasana Simurgh. Akan tetapi, tak ada Simurgh di sana. Pengurus kerajaan membiarkan burung-burung itu cukup lama sampai mereka sendiri akhirnya menyadari bahwa mereka itulah Si(tiga puluh) Murgh (burung).

Perumpamaan Attar ini sebenarnya menunjukkan bahwa fitrah manusia sebenarnya adalah cap jari Allah. Jika mereka cukup sungguh-sungguh mencari dan mengarungi berbagai kesulitan dan tantangan hidup, di ujung perjalanan itu mereka akan menyadari bahwa Allah selalu bersama mereka, bahkan hadir di dalam fitrah mereka.

KABAR DARI DASAR NERAKA

Suatu hari, Rasulullah SAW, sedang duduk termenung seorang diri. Kemudian, Jibril menemuinya dengan wajah yang sedih dan murung. Rasul SAW bertanya mengapa ia tampak begitu sedih. Jibril menjawab, “Wahai Muhammad, bagaimana mungkin aku tidak murung karena hari ini aku melihat alat-alat penyembur api neraka telah dipersiapkan.” Rasul bertanya, “Apakah alat-alat penyembur api neraka itu?”

Jibril menjawab bahwa Allah memerintahkan neraka untuk membakar alat-alat itu selama seribu tahun hingga merah membara. Setelah itu, Allah memerintahkannya untuk membakarnya lagi selama seribu tahun hingga memutih panas. Lalu, Allah memerintahkannya untuk membakarnya selama seribu tahun lagi hingga menjadi hitam legam. Jika secuil alat yang menghitam legam itu diteteskan ke dunia, panasnya akan dapat melelehkan seluruh partikel di dalamnya. Jika setetes dari zaqqum (sebuah pohon di neraka yang disebutkan dalam Al-Quran) dan dhar’i (suatu benda di neraka yang lebih pahit daripada pohon gaharu, lebih busuk daripada bangkai, dan lebih panas dari pada api, yang akan menjadi makanan penduduk neraka) menetes di sumber air bumi, setiap orang akan mati karena busuk dan pahitnya. Setelah itu Rasul SAW, menangis dan Jibril ikut menangis dengan beliau. Melihat itu, Allah mengutus malaikat lain untuk menemui mereka dan berkata bahwa Allah mengirimkan salam bagi keduanya bersama pesan bahwa DIA menghindarkan keduanya dari melakukan perbuatan dosa dan hukuman yang menyertainya.

MENAHAN LAPAR SEMALAMAN KARENA MENGHORMATI TAMU


Seorang telah datang menemui Rasulullah SAW dan telah menceritakan kepada Baginda SAW tentang kelaparan yang dialami olehnya. Kebetulan pada ketika itu Baginda SAW tidak mempunyai suatu apa makanan pun pada diri Baginda SAW maupun di rumahnya sendiri untuk diberikan kepada orang itu. Baginda SAW kemudian bertanya kepada para sahabat, “Adakah seseorang di antara kamu yang sanggup melayani orang ini sebagai tamunya pada malam ini bagi aku?” Seorang dari kaum Anshar telah menyahut, “Wahai Rasulullah SAW , saya sanggup melakukan seperti kehendak tuan itu.”

Orang Anshar itu pun telah membawa orang tadi ke rumahnya dan menerangkan pula kepada isterinya seraya berkata, “Lihatlah bahwa orang ini ialah tamu Rasulullah SAW Kita mesti melayaninya dengan sebaik-baik layanan mengikut segala kesanggupan yang ada pada diri kita dan semasa melakukan demikian janganlah kita tinggalkan sesuatu makanan pun yang ada di rumah kita.” Lalu isterinya menjawab, “Demi Allah! Sebenarnya aku tidak ada menyimpan sebarang makanan pun, yang ada cuma sedikit, itu hanya mencukupi untuk makanan anak-anak kita di rumah ini ?”

Orang Anshar itu pun berkata, “Kalau begitu engkau tidurkanlah mereka dahulu (anak-anaknya) tanpa memberi makanan kepada mereka. Apabila saya duduk berbincang-bincang dengan tamu ini di samping jamuan makan yang sedikit ini, dan apabila kami mulai makan engkau padamkanlah lampu itu, sambil berpura-pura hendak membetulkannya kembali supaya tamu itu tidak akan ketahui bahwa saya tidak makan bersama-samanya.” Rancangan itu telah berjalan dengan lancarnya dan seluruh keluarga tersebut termasuk kanak-kanak itu sendiri terpaksa menahan lapar semata-mata untuk membolehkan tamu itu makan sehingga merasa kenyang. Al-Quran mengabadikan  peristiwa itu, Allah SWT telah berfirman, “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka berada dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr : 9)

CAHAYA IMAN DI HATI ANAK

Sahl Syusytari adalah seorang arif besar. Beliau wafat di usia 80 tahun (pada tahun 283 Hijriah). Beliau pernah bercerita, “Pada suatu waktu, ketika masih berusia tiga tahun, saya melihat paman saya, Muhammad bin Siwar, bangun dari tempat tidur dan sibuk menunaikan shalat malam. Suatu hari ia berkata kepada saya, ‘Anakku! Apakah engkau tidak berzikir kepada Allah yang menciptakanmu? ’Saya menjawab, ‘Bagaimana saya berzikir kepada-Nya?’ Ia berkata, ‘Sewaktu malam tiba, dan engkau sudah berada di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur, ucapkanlah kalimat ini dari lubuk hatimu; Allah ada bersamaku, melihatku, dan aku berada di rumah-Nya.”

“Beberapa malam saya mengucapkan kata-kata itu dalam lubuk hati. Lalu ia mengatakan kepada saya,  ‘Ucapkanlah kalimat itu setiap malam sebanyak tujuh kali’. Saya pun melakukannya. Rasa manis zikir itu meresap ke lubuk hati saya. Setelah setahun ia berkata kepada saya, ‘Selama hayat masih dikandung badan, ucapkanlah selalu dalam lubuk hatimu,  kalimat yang kuajarkan kepadamu. Karena kalimat itu akan menyelamatkanmu dalam dua kehidupan.” “Dengan begitu, cahaya iman dan tauhid telah menerangi hati saya sejak saya masih kanak-kanak.”

No comments:

Post a Comment