Saturday, November 9, 2013

Sebuah Kejujuran



Sebuah Kejujuran


Suatu hari seorang pemuda datang menjumpai Imam Ja’far Ash-Shadiq dan berkata : “Wahai Imam ! aku ingin bekerja, namun sayangnya aku tak punya modal.” Imam berkata: “Jagalah kejujuran, pasti Tuhan Menolongmu.” Setelah itu pemuda itu minta diri. Di tengah jalan pemuda itu menemukan dompet yang berisi uang 700 dinar. Pemuda itu harus melaksanakan nasehat Imam. Maka pemuda itu pun mengumumkan kepada semua masyarakat bahwa barang siapa yang kehilangan barang hendaknya datang menjumpainya.

Dengan suara keras pemuda itu pun berteriak, “Barangsiapa kehilangan barang hendaknya dia menyebutkan ciri-ciri barang itu!” Seseorang menyebutkan persis dengan ciri barang yang hilang itu. Maka dompet itu pun diberikan kepadanya dan si pemilik memberikan 70 dinar sebagai balasan atas kejujurannya.

Pemuda itu kembali menjumpai Imam dan menceritakan kejadian itu, Imam berkata          “Tujuh puluh dinar dari jalan halal jauh lebih baik dari 7000 dinar dari jalan haram, dan Tuhan telah memberikan rezeki itu kepadamu.” Kemudian pemuda itu menjadikan uang itu sebagai modal dagang dan di kemudian harinya dia menjadi kaya raya.

Sikap Muallaf di Tengah Keluarga Kristiani

Zakariya putra Ibrahim mengatakan : Aku adalah seorang pemeluk Kristen yang masuk Islam. Untuk menunaikan manasik haji, aku berangkat ke Mekkah. Di kota suci ini, aku bertemu dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dalam pertemuanku dengan beliau, terjadi dialog dan perbincangan antara diriku dengan beliau.

Imam bertanya kepadaku apa yang telah aku lihat dalam Islam yang membuatku tertarik kepada Islam. Dalam jawabanku, aku nyatakan bahwa ayat berikut inilah yang membuatku masuk Islam.

“Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Quran) dengan perintah kami, sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah kitab (Al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.” (QS.Al-Syura [42]:52)

Ayat tersebut telah menyadarkanku bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan orang yang tak pernah sekolah dan belajar serta buta huruf, tidak mungkin mengeluarkan ucapan seindah ini kecuali semua itu adalah wahyu dari Tuhan semesta alam.

Beliau berkata, “Sesungguhnya Tuhan telah memberi petunjuk kepadamu.” Selanjutnya beliau berkata, “Tanyakanlah kepadaku tentang apa saja yang ingin engkau ketahui?”

“Ayah dan Ibuku, keduanya beragama Kristen, sementara ibuku buta, pertanyaanku bolehkah aku yang beragama Islam ini hidup bersama mereka dan makan dengan piring dan wadah mereka?, tanyaku.

Imam kembali bertanya, “Adakah kedua orang tuamu memakan daging babi? “sama sekali tidak,” jawabku.

Beliau berkata, “Kalau begitu tidak ada masalah.”

Ketika itu beliau menganjurkanku agar bersikap sayang kepada ibuku dan bila dia meninggal nanti hendaknya aku sendiri yang mengkafani dan menguburkannya, selain itu aku dilarang menceritakan pertemuan ini sampai berjumpa beliau di Mina.

Di Mina aku menemani beliau, beliau dikelilingi oleh muslimin dan mereka yang antri untuk bertanya. Tatkala aku sampai ke Kufah, aku sangat mengasihi ibuku. Aku suapi dia dan pakaian serta kepalanya aku yang bersihkan. Suatu hari ibuku berkata kepadaku, “Putraku! Ketika engkau beragama Kristen, engkau tidak sebaik ini denganku. Sekarang mengapa engkau jadi sebaik ini?”

Aku menjawab, ”Ibu, aku telah memeluk Islam dan seorang dari keturunan Rasul telah menganjurkanku untuk berbuat baik terhadap ibu.”

Ibuku berkata, “Adakah dia itu seorang Nabi ?”

Dia adalah putra Rasul SAW.”kataku

Ibuku berkata, “Tentunya dia sendiri juga Nabi. Karena anjuran-anjuran seperti ini (menghormati wanita) adalah tauladan para Nabi.”

“Tidak ibu! Setelah Nabi Muhammad tidak akan datang nabi baru, dia hanyalah putra Nabi,” jawabku lagi. “ Agamamu adalah agama terbaik, jelaskanlah kepadaku.” Pinta ibuku.

Maka akupun mengajarkan syahadatain kepada ibuku dan dia pun memeluk Islam dan belajar cara shalat serta sekaligus mengerjakan shalat dhuhur, ashar, maghrib dan isya’ hari itu juga. Tidak lama kemudian, ibuku jatuh sakit dan menjelang ajalnya ia berkata kepadaku, “Wahai pelita hatiku! Ulangilah apa yang telah engkau ajarkan kepadaku tentang Islam!”

Kemudian aku mengajarkan kalimat syahadat kepadanya dan setelah mengucapkan syahadat, beliau pun meninggal dunia. Pagi harinya, aku memandikan dan menshalati serta menguburkan jenazahnya dengan cara Islam.”

Hasan Basri dan Anas bin Malik

Abu Muslim bercerita : Suatu hari, aku bersama Hasan Basri dan Anas bin Malik bertamu kerumah janda Rasul SAW yang bernama Ummu Salamah. Sementara Anas menanti di luar pintu, kami berdua masuk dan member salam. Setelah aku dan Hasan basri dipersilahkan duduk. Ummu Salamah bertanya kepada Hasan Basri, “Siapakah engkau anakku ?”

Hasan berkata, “Namaku Hasan Basri.” Ummu Salamah kembali bertanya, “ Ada keperluan apa engkau datang kemari?” Hasan Basri menjawab, “Aku datang untuk mendengar hadis yang pernah engkau dengar dari Rasul SAW tentang keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib.”

Ummu Salamah berkata, “Demi Tuhan, aku akan nukilkan kepada kalian sebuah hadis yang aku dengar langsung dari Rasul SAW dengan dua telingaku. Sekiranya aku berdusta, mataku buta dan mulutku bisu. Suatu hari Rasul SAW berkata kepada menantunya, yaitu Ali bin Abi Thalib demikian : “Wahai Ali ! Barangsiapa mengingkari wilayahmu (kepemimpinan), maka pada hari kiamat di hadirat Tuhan, dia dianggap sebagai orang musyrik atau penyembah berhala.”

Ketika mendengar itu, Hasan Basri tersentak kaget, “Allahu Akbar!  Aku bersaksi bahwa Ali bin Abi Thalib pemimpinku dan pemimpin semua mukminin.”

Tatkala kami keluar dari rumah janda Rasul SAW itu. Anas bin Malik bertanya kepada Hasan Basri, “Mengapa engkau bertakbir ?”

Hasan Basri membacakan hadis yang baru saja didengarnya dari Ummu Salamah sambil berkata,”Aku kagum dengan keagungan Ali dan sebab itulah aku bertakbir.” Anas bin Malik pembantu Rasul SAW menimpali, “Hadis yang engkau bacakan itu sudah aku dengar langsung dari Rasul SAW tiga atau empat kali.”


DRAMA DI SUDUT KA’BAH

Dulu 1.400 tahun silam, ada drama kemanusiaan yang terjadi di sudut Ka’bah. Sayyid Ibn’ Thawus meriwayatkannya : “Malam sudah larut dan subuh hampir menjelang. Angin gurun pasir berembus menusuk tulang. Bukit-bukit batu, hamparan tanah yang tak berujung, dan pepohonan kurma tertunduk kaku dalam rangkaian siluet. Aku sedang mengaji sendiri di Masjidil Haram ketika aku menyaksikan pemuda yang telah berjam-jam mengitari Ka’bah. Tak henti-hentinya dia menangis, sesekali diiringi jeritan tasbih dan shalawat kepada Nabi dan keluarganya. Tak seorang pun mengamatinya. Tiba-tiba wajahnya menatap langit yang sunyi sambil berdoa: “Tuhanku, kini gemintang di langit-Mu sudah beringsut dan mata hamba-hamba-Mu sudah terpejam. Namun, pintu-Mu terbuka lebar bagi mereka yang memohon. Aku datang kepada-Mu agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku.”

Hatiku terdorong untuk menghampirinya. Kini, aku mendengar rangkaian munajatnya dengan lebih jernih.

“Demi keagungan dan kemuliaan-Mu, aku tidak bermaksud menentang-Mu dengan kemaksiatanku. Bukan pula aku meragukan (janji)-Mu, meremehkan azab (akhirat)-Mu, atau menantang siksa-Mu. Semua itu sungguh karena tipuan nafsuku. Berilah aku pertolongan dengan ampunan-Mu yang memberi ketentraman. Siapakah yang dapat menyelematkanku dari siksa-Mu? Dengan tali apa aku harus berpegang bila Engkau putuskan tali-Mu? Duhai, alangkah buruk nasibku kelak saat aku berdiri di hadapan-Mu dengan umur panjang yang hanya berisi tumpukan dosa yang menghadang jika Kau tak memberiku kesempatan bertobat kepada-Mu. Aku sangat malu pada-Mu oh Tuhanku!’.

Tangis pemuda itu semakin memecah keheningan malam mengiringi lantunan bait-bait syair ini : “Apakah Engkau akan membakarku dengan api neraka, Wahai Puncak segala harapan / Lalu, apalagi sumber harapanku/ dan siapa lagi yang mau menjadi kekasihku?, aku datang (kepada-Mu) dengan amal yang buruk dan timbun dosa, di persada ini tak ada yang begitu berdosa seperti diriku.”

Kembali dia menangis tersedu-sedu, bersimpuh dengan kepala menatap tirai Ka’bah dan berteriak, “Mahasuci Engkau, Tuhanku! Engkau dimaksiati seakan-akan Engkau tidak terlihat. Sedangkan Engkau menyayangi mahluk-Mu dengan perbuatan baik seakan-akan Engkau tidak pernah dimaksiati, seakan-akan Engkau-lah yang membutuhkan mereka. Padahal, Engkau, wahai junjunganku, sama sekali tidak butuh pada mereka.”

Pemuda itu lalu merapatkan dahinya di tanah dalam zikir dan munajat yang tidak berhenti. Pada saat itu, aku mendekatinya dan mengangkat kepalanya untuk aku rebahkan di pangkuanku. Sadarlah aku bahwa pemuda itu tak lain adalah Ali Zainal Abidin, putra Husein cucu Nabi.

Aku tak kuasa menahan tangis. Air mataku bercucuran deras hingga membasahi pipinya. Kemudian, dia menatapku dan bertanya, “Siapakah kau?”. Aku Thawus, wahai putra Rasul. Duhai, apakah gerangan yang membuat Tuan demikian bersedih dan menangis seperti ini ? padahal, akulah orang yang banyak maksiat dan dosa sedangkan Tuan, ayah Tuan adalah Husein, Ibu Tuan adalah Fathimah Az-Zahra, dan kakek Tuan adalah Rasulullah SAW.”

Beliau menatapku lemah dan berkata, “Sudahlah Thawus, sudahlah. Jangan kau berbicara tentang Ayah, Ibu, dan Kakekku. Sebab, Allah menciptakan surga untuk orang-orang yang taat dan berbuat baik, sekalipun dia orang-orang negro Ethiopia, dan menciptakan neraka bagi mereka yang bermaksiat, sekalipun dia bangsawan Quraisy. Tidakkah kau pernah mendengar Firman Allah yang berbunyi, “Apabila sangkakala ditiup, tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak pula mereka saling bertanya.” (QS. Al-Mu’minun (23):101). “Demi Allah, kelak tidak bermanfaat bagimu, kecuali kau datang dengan membawa amal saleh.”

No comments:

Post a Comment