AMANAH SEORANG SAHABAT
Diceritakan bahwa ada dua orang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah SAW berteman baik saling ziarah menziarahi antara satu dengan lainnya. Mereka adalah Sha’b Jastamah dan Auf bin Malik. “Wahai saudaraku, siapa di antara kita yang pergi (meninggal dunia) terlebih dahulu, hendaknya saling kunjung mengunjungi.” kata Sha’b kepada Auf disuatu hari.
“Betul begitu?” tanya Auf.
“Betul.” jawab Sha’b.
Ditakdirkan Allah, Sha’b meninggal dunia terlebih dahulu. Pada suatu malam Auf bermimpi melihat Sha’b datang mengunjunginya.
“Engkau wahai saudaraku?” tanya Auf.
“Benar” jawab Sha’b.
“Bagaimana keadaan dirimu?”
“Aku mendapatkan kesempurnaan setelah mendapat musibah.”
Apabila Auf melihat pada leher Sha’b, dia melihat ada tanda hitam disitu.
“Apa gerangan tanda hitam di lehermu itu?” tanya Auf.
“Ini adalah akibat sepuluh dinar yang aku pinjam dari seseorang Yahudi, maka tolong jelaskan hutang tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak satupun kejadian yang terjadi di dalam keluargaku, semua terjadi pula setelah kematianku. Bahkan terhadap kucing yang matipun dipertanggungjawabkan juga. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa anak perempuanku yang mati enam hari yang lalu, perlu engaku beri pelajaran yang baik dan pengertian baginya.”
Perbincangan diantara kedua lelaki yang bersahabat itu terhenti karena Auf terjaga dari tidurnya. Dia menyadari bahwa semua yang dimimpikannya itu merupakan pelajaran dan peringatan baginya. Pada pagi harinya dia segera pergi ke rumah keluarga Sha’b.
“Selamat datang wahai Auf. Kami sangat gembira dengan kedatanganmu.” kata keluarga Sha’b. “Beginilah semestinya kita bersaudara. Mengapa anda datang setelah Sha’b tidak ada dunia?” Auf menerangkan maksud kedatangannya yaitu untuk memberitahukan semua mimpinya malam tadi. Keluarga Sha’b paham akan semuanya dan percaya bahwa mimpinya itu benar. Mereka pun mengumpulkan sepuluh dinar dari uang simpanan Sha’b sendiri lalu diberikan kepada Auf agar dibayarkan kepada si Yahudi. Auf segera pergi ke rumah si Yahudi untuk menjelaskan hutang Sha’b.
“Adakah Sha’b mempunyai tanggungan sesuatu kepadamu?” tanya Auf.
“Rahmat Allah ke atas Sha’b sahabat Rasulullah SAW. Benar, aku telah memberinya pinjaman sebanyak sepuluh dinar.” jawab si Yahudi.
Setelah Auf menyerahkan sepuluh dinar, si Yahudi berkata: “Demi Allah dinar ini serupa benar dengan dinarku yang dipinjamnya dulu”
Dengan demikian, Auf telah melaksanakan amanah dan pesan saudara seagamanya yang telah meninggal dunia.
Diceritakan bahwa ada dua orang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah SAW berteman baik saling ziarah menziarahi antara satu dengan lainnya. Mereka adalah Sha’b Jastamah dan Auf bin Malik. “Wahai saudaraku, siapa di antara kita yang pergi (meninggal dunia) terlebih dahulu, hendaknya saling kunjung mengunjungi.” kata Sha’b kepada Auf disuatu hari.
“Betul begitu?” tanya Auf.
“Betul.” jawab Sha’b.
Ditakdirkan Allah, Sha’b meninggal dunia terlebih dahulu. Pada suatu malam Auf bermimpi melihat Sha’b datang mengunjunginya.
“Engkau wahai saudaraku?” tanya Auf.
“Benar” jawab Sha’b.
“Bagaimana keadaan dirimu?”
“Aku mendapatkan kesempurnaan setelah mendapat musibah.”
Apabila Auf melihat pada leher Sha’b, dia melihat ada tanda hitam disitu.
“Apa gerangan tanda hitam di lehermu itu?” tanya Auf.
“Ini adalah akibat sepuluh dinar yang aku pinjam dari seseorang Yahudi, maka tolong jelaskan hutang tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak satupun kejadian yang terjadi di dalam keluargaku, semua terjadi pula setelah kematianku. Bahkan terhadap kucing yang matipun dipertanggungjawabkan juga. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa anak perempuanku yang mati enam hari yang lalu, perlu engaku beri pelajaran yang baik dan pengertian baginya.”
Perbincangan diantara kedua lelaki yang bersahabat itu terhenti karena Auf terjaga dari tidurnya. Dia menyadari bahwa semua yang dimimpikannya itu merupakan pelajaran dan peringatan baginya. Pada pagi harinya dia segera pergi ke rumah keluarga Sha’b.
“Selamat datang wahai Auf. Kami sangat gembira dengan kedatanganmu.” kata keluarga Sha’b. “Beginilah semestinya kita bersaudara. Mengapa anda datang setelah Sha’b tidak ada dunia?” Auf menerangkan maksud kedatangannya yaitu untuk memberitahukan semua mimpinya malam tadi. Keluarga Sha’b paham akan semuanya dan percaya bahwa mimpinya itu benar. Mereka pun mengumpulkan sepuluh dinar dari uang simpanan Sha’b sendiri lalu diberikan kepada Auf agar dibayarkan kepada si Yahudi. Auf segera pergi ke rumah si Yahudi untuk menjelaskan hutang Sha’b.
“Adakah Sha’b mempunyai tanggungan sesuatu kepadamu?” tanya Auf.
“Rahmat Allah ke atas Sha’b sahabat Rasulullah SAW. Benar, aku telah memberinya pinjaman sebanyak sepuluh dinar.” jawab si Yahudi.
Setelah Auf menyerahkan sepuluh dinar, si Yahudi berkata: “Demi Allah dinar ini serupa benar dengan dinarku yang dipinjamnya dulu”
Dengan demikian, Auf telah melaksanakan amanah dan pesan saudara seagamanya yang telah meninggal dunia.
DERAJAT BAGI YANG MEMULIAKAN LANSIA
Ali bin Abi Thalib sedang berjalan tergesa-gesa menuju mesjid. Ia tak ingin melewatkan shalat subuh hari itu dimana Nabi SAW sendiri yang menjadi imamnya. Ditengah jalan Ali terpaksa memperlambat langkahnya. Di depannya jalan seorang laki-laki tua tertatih-tatih. Ali tidak mau mendahului lelaki tua itu karena rasa hormatnya. Walhasil Ali-pun menjadi terlambat tiba di mesjid. Tiba di mesjid, ternyata lelaki tua itu tidak masuk kedalamnya. Ia terus saja berjalan tanpa menghiraukan bahwa ia sedang berada di depan sebuah mesjid pada saat dimana waktu shalat subuh sedang tiba.
“Barangkali lelaki tua itu adalah seorang yang kafir, atau yang pasti ia bukanlah orang Islam”, Begitu pikir Ali dalam hatinya. Sewaktu Ali masuk ke dalam mesjid dilihatnya Nabi SAW sedang ruku’. Ini berarti, bahwa masih tersedia waktu bagi Ali untuk sholat dengan diimami Nabi SAW sebagaimana yang diniatkan sebelumnya.
Usai shalat para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW. “Ada gerangan apa ya Rasulullah SAW, sehingga engkau lebih memperlama masa ruku’ waktu shalat tadi? padahal, sebelumnya hal yang seperti ini belum pernah engkau lakukan?” Mendengar pertanyaan para sahabat itu, Nabi SAW segera menjawab : “saat ruku’ tadi, yaitu usai mengucapkan Subhana Rabbiyal ‘Adzimi, Aku bermaksud segera mengangkat kepalaku. Tetapi, tiba-tiba pada saat yang sama, Jibril datang. Ia menggelar sayapnya di punggungku sehingga membuat aku terus saja ruku’. Jibril membuat demikian lama sekali, selama yang kalian rasakan. Baru setelah Jibril mengangkat sayapnya, aku dapat berdiri mengangkat kepalaku”. “Mengapa bisa terjadi begitu ya Rasulullah SAW?” seorang diantara sahabat terus bertanya. “Aku tak sempat menanyakan hal itu”. Ternyata Jibril kembali menemui Nabi SAW. Ia memberikan penjelasan mengenai sebab ruku’ menjadi panjang saat shalat subuh itu.”
“Wahai Muhammad, tadi itu, Ali sedang tergesa-gesa untuk bisa mengejar shalat berjamaah. Tapi ditengah perjalanan ia bertemu dengan seorang lelaki tua Nasrani yang membuat jalannya menjadi terlambat sampai kesini. Ali tidak tahu kalau orang itu adalah Nasrani, dan ia biarkan orang tua itu untuk tetap terus berjalan di depannya. Ali tidak mau mendahuluinya. Allah SWT kemudian menyuruhku supaya engkau tetap ruku’ sehingga memungkinkan Ali untuk dapat menyusul shalat subuh berjama’ah. Perintah Allah SWT seperti seperti itu kepadaku bukan hal yang mengherankan bagiku, yang mengherankan adalah perintah Allah SWT kepada Mikail agar ia menahan perputaran matahari dengan sayapnya. Ini tentunya karena perbuatan Ali tadi”. Demikian penjelasan Jibril.
Setelah memperoleh keterangan dari malaikat Jibril, Nabi SAW pun kemudian bersabda, “Inilah derajat orang yang memuliakan orang tua (lansia), meskipun lansia itu adalah Nasrani”
70 KALI MEMOHON
Ada seorang kakek yang tinggal di India. Umurnya sudah lebih dari 70 tahun. Sepanjang hidupnya selama 70 tahun itu, ia gunakan untuk menyembah berhala dari batu. Setiap hari ia begitu taat menyembah tuhannya itu. Suatu ketika, kakek ini punya suatu keinginan. Ia pun kemudian mendatangi tuhannya seraya memohon agar doanya dapat dikabulkan. “Oh, tuhanku Latta. Oh tuhanku Uzza. Tujuh puluh tahun aku terus menyembahmu. Selama itu, tak ada sesuatupun yang aku mohonkan kepadamu. Sekarang, aku ada permohonan kepadamu. Mohon, kabulkanlah permohonanku ini.” Kakek itu memohon sambil merengek-rengek kepada Latta dan Uzza kiranya doanya dapat dikabulkan. Demikian seterusnya dia lakukan. Setelah sampai tujuh puluh kali doa itu ia panjatkan, tak ada sedikitpun pengabulan dari berhala tuhannya yang ia peroleh. Maka kakek itu sedih sekali dan akhirnya putus asa.
Dalam keputusasaannya itu, ternyata Allah SWT memberi hidayah kepada kakek. Hati sang kakek ia lapangkan segera sadar akan kekeliruannya selama ini. Gantilah kakek itu berdoa kepada Allah SWT. “Ya Allah SWT, baru sekarang aku menghadap-Mu. Aku memohon sesuatu kepada-Mu. Kabulkanlah, ya Allah SWT, permohonanku ini.” Selesai kakek itu bermunajat kepada Allah SWT, maka sesaat kemudian ia mendengar jawaban dari Allah SWT. “Wahai hamba-Ku, mintalah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu” Waktu para malaikat mendengar jawaban yang diberikan Allah SWT kepada sang kakek, maka gemparlah para malaikat. “Ya Allah SWT, tujuh puluh tahun lamanya orang itu musyrik dan menyembah berhala. Dan tujuh puluh kali pula ia telah memohon kepada berhalanya agar dikabulkan permohonannya, namun itu tidak terjadi. Sekarang, ia baru sekali saja berdoa kepada-Mu, mengapa Engkau kabulkan permohonannya itu?”. Mendengar pertanyaan para malaikat, maka Allah SWT segera memberi penjelasan. “Wahai para malaikat, jika berhala yang benda mati itu tidak bisa mengabulkan permohonannya dan Aku-pun juga tidak, lalu dimana letak perbedaannya antara Aku dan berhala itu?”.
No comments:
Post a Comment