Joger, Sukses dengan Dispromotion
Joseph Theodorus Wulianadi , pemilik Joger memproduksi sebuah jam yang berjalan mundur, yang justru diproduksinya untuk orang-orang yang berpikir maju. Joger juga jogertelah memiliki sebuah VCD yang isinya mengajak siapa saja untuk berpikir merdeka. Pasalnya, dasar dari terbentuknya jiwa yang inovatif dan kreatif itu adalah kemerdekaan, tanpa kemerdekaan tak akan ada keberanian.
Ketika Joger didirikan, banyak entrepreneur yang dilibatkan. Jadi bukan hanya Joseph saja yang menjadi entrepreneur, namun semua karyawannya juga entrepreneur. Di saat yang sama, Joseph juga membuat mereka sebagai pemilik Joger juga. Di Joger tidak ada sentralisasi, cuma memang kebetulan untuk masalah disain tim kreatifnya terdiri dari lima orang, dan untungnya kelimanya ada dalam diri saya, sehingga di Joger tidak pernah terjadi keributan. Hal ini saya lakukan karena pernah Joger memiliki banyak ahli, namun belakangan mereka jauh lebih banyak berdebat ketimbang bekerja.
Banyak yang tidak setuju dengan istilah dispromotion. Meski begitu, Joseph semakin berani memakai konsep itu. Bahkan, dia membuat sendiri gelarnya yaitu BAA dan BSS kepanjangan dari Bukan Apa-Apa dan Bukan Siapa-Siapa.
Di Joger ternyata Joseph lebih berani membuat istilah-istilah baru, yang akhirnya diterima. Seperti kata dispromotion yang pada awalnya ditolak akhirnya diterima. Dispromotion itu adalah konsep berpromosi yang tidak bermaksud untuk menaikkan jumlah omzet, karena saat ini jika ada orang yang ingin membeli kaos Joger dalam jumlah banyak selalu ditolak.
Akar persoalan itu bisa saja menjadi masalah yang perlu dipecahkan atau menjadi menghancurkan. Contoh belum lama ini saya membaca 7.000 karyawan pabrik sandal di PHK kemudian ada salah seorang diantara mereka yang menemui dan meminta Joger menolong mereka dalam memasarkan sandal itu. Joger mau saja membantu namun Joger tidak akan menjual sandal yang “biasa-biasa saja”, sandal itu harus lain dari yang lain.
Kemudian kami melihat ada peluang untuk menjual sandal dalam jumlah yang besar. Strategi penjualan yang kami terapkan adalah hanya menjual sandal sebelah kiri saja, dan jika membeli sebelah kiri akan mendapatkan bonus sebelah kanan. Harganya pun kami bagi dua, jadi masing-masing seharga Rp. 16.500. Ternyata menjual sandal yang biasa dengan cara yang berbeda ini sudah menimbulkan suatu permintaan baru. Bahkan, saat ini pabrik sudah kewalahan.
Sekarang ada kekosongan di Bali karena orang merasa wajib membeli yang begini karena hal ini telah menjadi cerita. Kini orang kalau ke Bali khusus ke Joger karena orang tahu kita adalah tempat yang selalu hadir dengan ide-ide baru.
Kalau kini Joger menjadi besar bukan karena keinginan kami, namun lebih banyak karena keinginan masyarakat. Dan semenjak 1987 Joger tidak lagi berorientasi kepada keuntungan tetapi berorientasi kepada kebahagiaan.
No comments:
Post a Comment