Tony Djumadi, Sukses dengan Bisnis Kemasan
Merintis bisnis saat krismon 1997 sempat membuatnya limbung. Toh berkat kegigihannya, bisnis yang dirintisnya tumbuh berkembang. Produknya diekspor ke sejumlah negara.
Haruskah berbisnis sejak usia muda? Kalau itu ditanyakan pada Tony Djumadi, jawabannya: tidak. Dia sukses berbisnis justru di masa pensiun. Produk disposable packaging buatannya digunakan sejumlah perusahaan dan merek terkenal. Bagaimana ceritanya?
Perkongsian bisnis Tony dan kawannya diwujudkan dengan mendirikan PT Pola Paperindo Jayatama (PPJ) tahun 1997. Keduanya penuh semangat. Malang, ketika Tony asyik mengurusi pemesanan mesin dan bahan baku, cobaan menerkam. “Ketika krisis menerpa tahun 1997 teman saya telepon dan mengatakan kondisinya hancur berantakan. ‘Bagaimana ini’?” ujar Tony menirukan ucapan relasinya yang galau. Sementara Tony di Australia, mitranya berada di Jakarta. Akhirnya, kolega bisnisnya itu mundur. Tinggallah Tony menjadi pemegang saham tunggal.
Setelah berdiskusi dengan anak-anaknya, Tony kembali ke Indonesia dan menjalankan PPJ. Di tengah badai krisis, dia yakin prospek bisnis disposable packaging karena sudah melakukan survei lebih dulu sebelum PPJ dibesut. Hasil survei menunjukkan: gaya hidup masyarakat yang kian praktis menuntut konsumsi makanan dan minuman yang dikemas dalam kertas, baik berupa cup, boks, piring ataupun food container. Bahan kertas juga lebih aman, baik untuk kesehatan dan ramah lingkungan.
Bak koin dengan dua sisi, krismon pun dinilai Tony memiliki sisi negatif dan positif. Di satu sisi, daya beli konsumen turun. Namun di sisi lain, peluang terbuka karena banyak pemain disposable packaging yang berguguran. Waktu itu yang tersisa dua-tiga pemain asing dan empat-lima pemain lokal. Jumlah kompetitor yang menyusut itu memberi dorongan positif Tony agar lebih optimistis membesarkan PPJ.
Toh optimismenya mendapat ujian tak ringan. Dengan segala keterbatasan, PPJ mulai memproduksi kemasan kertas berbentuk cup. Namanya juga pabrik, meski kondisi sulit, jumlah karyawannya terbilang banyak, karena kala itu PPJ mempekerjakan 60-75 orang. “Tapi, order sangat susah. Waktu krisis kami benar-benar drop, malah sampai pernah karyawan kerja seminggu hanya dua-tiga hari,” cerita pria kelahiran Malaysia 26 Januari 1947 itu dengan nada pilu. Pabriknya pun cuma sempat jalan dua-tiga hari seminggu. Karyawan masuk bergiliran: shift satu datang, shift dua istirahat, beberapa hari kemudian baru masuk.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah susah cari order, dia pun kelabakan mendapatkan pinjaman bank buat modal kerja. “Mau impor saja, kami buka L/C di luar negeri nggak mau terima meski dari bank BUMN. Jadi, harus berliku-liku. Lari ke Singapura, minta bank Singapura buka, ternyata di sana juga ditolak. Pokoknya banyak sekali kendalanya,” Tony mengisahkan pengalaman pahitnya.
Bagaimana solusinya? Dalam kondisi terimpit, Tony lebih fokus melayani pelanggan. Dengan telaten, pihaknya mendatangi satu per satu pelanggan untuk bicara dari hati ke hati. Kepada pelanggan, dia menanyakan apa saja masalah yang dihadapi mereka. Ada yang mengutarakan kendala harga, masalah teknis, dan desain kemasan. Rupanya, salah seorang pelanggan berterus terang kalau sedang menjalankan program paket hemat (pahe) dengan harga Rp 5 ribu. Pelanggan bertanya bagaimana caranya dengan produk seharga Rp 5 ribu, tetapi tetap bisa menggunakan paper cup. “Oke, kami tahan dulu, sementara rugi nggak apa. Banyaklah kompromi yang kami lakukan saat itu demi menjaga hubungan baik dengan pelanggan,” papar peraih gelar MBA bidang finance dari Indonesian European University itu.
Pengorbanan Tony tidak sia-sia. Seiring berjalannya waktu, dia rajin membangun citra perusahaannya. Dan ketika iklim ekonomi serta dunia usaha berangsur membaik, kondisi bisnis para pelanggan pun pulih. Di luar dugaan, ternyata banyak pelanggan yang loyal. Mereka simpati dengan cara kerja PPJ dan tetap menjalin kerja sama hingga sekarang. Setidaknya hal itu terungkap dari pernyataan Janeley Watson. “Kami sudah lebih dari 10 tahun menjadi klien PPJ. Sejauh ini hanya produk PPJ yang kami gunakan,” ujar Manajer Key Account Nasional PT Coca-Cola Bottling Indonesia itu.
Tony juga proaktif melakukan pengembangan produk. Mantan Manajer Penjualan Nasional PT Guiness Indonesia ini sadar bahwa makin lama kompetitor lokal dan asing kian meningkat. Mereka sama-sama menawarkan rentang produk yang lengkap. Untuk menyiasati, dia tidak alpa getol mengamati perkembangan industri disposable packaging di mancanegara. Makanya, dia bertekad menjadikan PPJ one stop shopping kebutuhan kemasan makanan dan minuman yang terbuat dari kertas impor. Lalu, diluncurkanlah beberapa varian kemasan baru dari kertas.
Jika dulu hanya punya paper cup untuk soft drink, tahun ketiga PPJ sudah masuk ke paper cup untuk es krim, kopi, teh, susu, sampai noodle cup. Karena awalnya hanya menjual produk paper cup, maka merek yang digunakan adalah Polacup. Namun seiring penambahan jumlah rentang produk, selanjutnya merek yang dipakai berubah menjadi Pola, sesuai dengan nama depan perusahaan.
Varian produk yang bertambah makin klop dengan komitmen menjaga mutu. Itulah sebabnya bahan baku kertas yang dipakai selalu kualitas impor. Kertas yang digunakan adalah yang berserat panjang dan itu hanya ada di Amerika Serikat, Eropa serta Kanada. Namun, strategi ini dilematis juga. Sebab, dengan mengandalkan bahan baku impor, Tony dihadapkan pada kendala pasokan yang tidak stabil. Sering jika memesan material sekarang, kiriman baru tiba 6 bulan kemudian. Padahal, pelanggan acap mengorder secara tiba-tiba.
Konsistensi PPJ dalam menghasilkan produk disposable packaging yang bermutu, tidak saja membuat pelanggan makin lengket, melainkan juga mampu menggaet pelanggan baru. Buktinya jumlah klien terus meningkat dari perusahaan bonafide dan multinasional. Kini, sektor bisnis pelanggan PPJ cukup beragam. Mulai dari perusahaan yang bergerak di bidang food & beverage, fastfood, bakery, airlines, sekolah, sampai hotel. Beberapa merek yang mengunakan produk Pola di antaranya Church’s Texas Chicken, A&W, McDonald’s, Secret Recipe, Pizza Hut, Starbucks Coffee, The Coffee Bean & Tea Leaves, Coca-Cola, New Zealand Singapore Airlines, Air Asia, Nestle, Conoco Philips dan CNOOC.
Meski basis pelanggannya lumayan kuat, Tony pantang berperang harga dalam bersaing. “Kami jarang main di pricing, karena sebagai market leader nggak bisa hanya cheap, cheap dan cheap,” tuturnya. Persaingan terletak pada layanan, citra dan jaringan distribusi. Dengan menjaga tiga hal itu, Tony percaya konsumen akan datang sendiri. Sebagai gambaran, harga satu lunch box PPJ sama dengan tiga kali lunch box yang terbuat dari styrofoam. Cukup mahal memang. Pengguna jasanya pun memiliki motivasi sendiri dalam menggunakan produk disposable packaging. Entah itu pertimbangan prestise, kualitas, layanan atau hal lainnya.
Setelah sukses menaklukkan pasar dalam negeri, sejak tahun 2000 PPJ melakukan penetrasi ke pasar luar negeri. Karena itu, produknya diekspor ke Australia, Selandia Baru, Singapura, Taiwan dan Inggris. Sayangnya, ketika produk murah dari Cina mulai masuk lima tahun kemudian, permintaan ekspor PPJ melandai. “Dulu rasio ekspor kami hampir 40%. Tapi, sejak tahun 2005 dengan serbuan produk Cina di pasar dunia, ekspor kami turun,” papar ayah Betty dan Catherine itu.
Sekarang PPJ hanya mengekspor ke Australia dan Eropa. Kendati demikian, Tony lega karena belakangan, pelanggan lama mulai datang kembali. Dia menduga mungkin karena merasa tidak puas dengan layanan dan kualitas dari produk-produk Cina. Namun, dengan keterbatasan kapasitas produksinya, PPJ membatasi maksimum hanya 25% dari produksinya yang diekspor. “Karena terlalu banyak ekspor belum tentu menguntungkan. Apalagi pasar domestik merupakan andalan yang harus dijaga,” imbuh Ketua Yayasan Lions Indonesia yang hobi membaca ini.
Dengan jangkauan pasar yang melebar, berapa omset PPJ? Sayang, tampaknya Tony alergi bicara angka-angka. Dia cuma mengaku, dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan PPJ mencapai dua digit. Yang jelas, PPJ tetap konsisten menggeluti dunia disposable packaging. “Makanya tahun 2010 akan ada mesin baru lagi yang masuk,” ucap pengusaha yang kini mempekerjakan 150 karyawan tetap dan 100 pegawai kontrak itu sembari tertawa. Maklum, dua pabrik PPJ di Cengkareng seluas 1.500 m2 sekarang sudah full capacity.
Para pelanggan optimistis masa depan PPJ prospektif. Pasalnya, “PPJ mempunyai tiga keunggulan. Pertama, memiliki mesin forming yang cukup baik, sehingga hasil forming-nya pun sempurna, produk jadinya jarang yang bocor atau rusak. Kedua, lokasi pabrik dan gudangnya masih di Jakarta, sehingga pengiriman barang lebih cepat. Delivery lebih cepat dan mudah. Ketiga, harga yang ditawarkan cukup kompetitif,” papar Temmy Karjadi, Manajer Pengembangan Bisnis Popeyes Lousiana Kitchen & Sate Khas Senayan. Dengan ketiga kekuatan itu, dia yakin PPJ akan memimpin pasar. Tiap bulan kedua resto yang menjadi pelanggan sejak tahun 2001 itu dipasok PPJ berupa paper cup berbagai ukuran, cup sup, dan cup es krim dengan jumlah 50-8.000 pieces.
Pendapat Janeley menguatkan soal kompetensi PPJ. “Yang pasti PPJ reliable, kualitas sesuai dengan standar kami dan timnya juga kooperatif,” katanya memuji. Arti kooperatif di sini, menurut Janeley, umpan baliknya cepat. Sebab, kadang-kadang Coca-Cola mengorder di luar kebiasaan, minta cepat dan deadline-nya juga mepet. “PPJ itu willing to help walaupun mereka sedang penuh atau antre. Untuk support itu kami dapatkan dari PPJ,” tambahnya seraya mengaku jumlah pesanan saban bulan tidak sama, tergantung kebutuhan.
Jadi, siapa takut bisnis di usia paruh baya? (SWA)
No comments:
Post a Comment